Kamis, 24 Oktober 2013

Imam Sya'roni

adalah nama tenar dari Abdul Wahab al-Sya’roni. Pengarang kitab al-Mizan al-Kubro ini berasal dari salah satu keluarga besar Bani Alawiyyah (keturunan Nabi SAW). Tetapi, di saat terjadi ketegangan antara keturunan Bani Alawiyah dengan Bani Umawiyah, keluarga besar Bani Alawiyah yang merupakan keluarga besar Imam al-Sya’roni, berpindah ke Maghrib (Maroko); yang pada akhirnya Bani Alawiyah mampu mendirikan sebuah kerajaan di sana. Dengan demikian, Imam al-Sya’roni mempunyai silsilah keturunan dari Muhammad bin al-Hanafiah bin Ali bin Abi Thalib.Menurut riwayat yang shahih, tokoh kita ini dilahirkan pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H, di sebuah pedesaan yang bernama Qalqasyandah (daerah selatan Mesir). Desa tersebut merupakan pedesaan kakeknya dari jalur ibu. Tapi, setelah empat puluh hari dari hari kelahiranya, al-Sya’roni dibawa oleh sang ibu untuk pindah dari desa kelahiranya, menuju desa asal ayahandanya yaitu desa Abu Sya'roh di propinsi Manufiyyah, yang lambat laun dari desa tersebut Imam Sya’roni mendapatkan sebuah gelar; yaitu al-Sya’roni.
I
mam Sya'roni dan dunia ibadah

Pada usia yang masih sangat belia, al-Sya’roni telah ditinggal mati oleh ayahnya. Setelah itu Sya'roni kecil dirawat oleh seorang paman yang shalih dan ahli ibadah. Sang paman yang shalih selalu membimbing kemenakannya untuk selalu hidup dalam keshalihan dan ketaatan kepada Tuhan. Dari hasil didikan seorang paman yang taat ini, bukan sesuatu yang mengherankan jika Imam Sya’roni semenjak kecilnya, merupakan seorang anak yang terkenal akan ibadah dan pengabdianya kepada Allah. Semenjak usia delapan tahun, dia telah terbiasa melakukan shalat malam, dengan menenggelamkan diri dalam dzikir-dzikir yang mengagumkan. Keyatiman yang ia alami, tidak menjadikan dirinya berkembang sebagai anak yang hidup dalam keputusasaan dengan tanpa harapan. Semenjak kecil, ia telah menyakini dalam hatinya yang paling dalam, bahwa Allah telah menjaganya dari sifat keberagamaan yang lemah, sebagaimana Allah selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela dan hina. Bahkan dalam hatinya, dia juga percaya bahwa Allah telah memberikan kepada dirinya kecerdasan yang bisa dijadikan pisau dalam memahami semua keilmuan dengan benar, yang sekaligus mampu memahami semua kerumitan- kerumitan yang ada.

Imam Sya'roni dan dunia kelimuan

Dalam sejarah hidupnya, kecintaan Imam Sya’roni terhadap ilmu-ilmu agama, telah menjadikan dirinya melakukan perjalananan dari desa asalnya menuju Kairo. Ketika berada di Kairo, dia yang semenjak kecil dididik dengan keshalihan dan ketaatan, selalu menghabiskan waktu-waktu yang ia miliki dengan beribadah dan menelaah semua keilmuan. Dia telah menjadi semakin alim dan bertakwa. Waktu-waktunya hanya ia habiskan untuk beribadah dan belajar, di dalam sebuah masjid. Semenjak berada di Kairo, dia telah berhasil bertemu dengan para ulama-ulama besar; seperti Jalaluddin al-Syuyuthi, Zakaria al-Anshori, Nashirudin al-Laqoni dan al-Romli, yang guru-gurunya ini selalu ia kenang dalam beberapa tulisan kitabnya. Di Kairo, Imam agung ini mempelajari semua keilmuan yang ada pada zamanya. Dia selalu mempelajari semua keilmuan dengan semangat belajar yang luar biasa. Dia merupakan simbol dari seorang murid yang teladan dan rajin pada zamanya. Dia selalu mencari sebuah kebenaran di manapun ia berada. Dalam pandangannya, semua imam adalah figur yang telah mendapatkan sebuah petunjuk dari Allah. Dia tidak melakukan sikap fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu mazhab, dan tidak tergesa-gesa dalam menilai sebuah ijtihad dari salah satu mazhab tertentu, kecuali setelah melakukan pengkajian yang matang dan mendetail. Dan, setelah ia menguasai beberapa disiplin ilmu yang ada pada zamanya, dia tidak berubah menjadi seorang yang sombong dan angkuh, tapi tetap menjadi seorang yang tawadhu’ dan rendah hati. As-Sya'roni sebagaimana ahli sufi lainnya, selalu menghindari perdebatan yang tidak ada gunanya di saat menuntut ilmu. Dia memahami betul bahwa berdebat hanya akan menjauhkan dirnya dari cahaya Tuhan.

As-Syaroni dan Ali al-Khowwas

Pertemuan antara al-Sya’roni dan al Khowwas, merupakan salah satu bukti betapa pentingnya seorang Syaikh dalam dunia para sufi. Al-Khowwas adalah seorang laki-laki yang telah diberikan Allah sebuah mauhibah dan keistimewaan, dalam menjalani badai kehidupan. Dia merupakan salah satu anugrah, yang pernah diberikan Allah kepada umat manusia dalam menuju sebuah hakikat. Al-Khowwas merupakan simbol kebenaran atas keberadaan ilmu Laduni dalam dunia sufi. Semenjak kecil Dia adalah seorang yang ummi(buta huruf), yang dalam setiap perkataannya selalu diwarnai dengan ayat-ayat Alquran dan Hadits. Dia mampu mengambil sebuah istimbat dari dalil-dalil tersebut, dengan sangat menakjubkan dan mengherankan. Pertemuannya dengan al-Sya’roni, merupakan sebuah bukti dari keistimewaan seorang wali dengan ilmu laduninya, dengan seorang alim yang belum mencapai derajat tersebut. Al-Khowwas adalah seorang ummi, sedang al-Sya’roni adalah seorang yang alim. Tapi, itu semua hanya dalam penampakan lahir belaka. Pada hakikatnya al-Khowwas adalah seorang alim sedang al-Sya’roni adalah seorang ummi. Ilmu al-Khowwas adalah ilmu mauhibah yang langsung diterima dari Allah, sedang ilmu al-Sya’roni adalah ilmu yang bersumber dari kitab-kitab bacaan yang hakikat ilmu tersebut menurut orang sufi bukan merupakan ilmu yang dimiliki secara hakiki, melainkan ilmu yang didapat melalui bacaan terhadap kitab. Al-Khowwas adalah seorang yang telah mengantarkan al-Sya’roni menuju dunia sufi yang sesunggungya. Dia telah mengantarkan al-Sya’roni mencapai derajat kewalian, dan mengajarkan tata cara mencapai sebuah ilmu laduni. Dalam beberapa kesempatan Al-Sya’roni mengisahkan bagaimana al-Khowwas telah memberikan pengajaran kepada dirinya dalam mencapai derajat tersebut. Yang pertama ia lakukan adalah menjual semua kitab yang ia miliki, dan menghabiskan semua hasil penjualan kepada fakir miskin. Pada awalnya, al-Sya’roni merasa berat menjalankan perintah sang guru, bahkan setelah melakukan semua perintah tersebut, al-Sya’roni merasa tidak enak hati dan terus memikirkan kitab-kitab yang telah ia jual. Ia merasa telah kehilangan semua ilmu yang selama ini ia tekuni. Tetapi, ketika al-Khowwas mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan kepada al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah. Setelah mampu menanggulangi cobaan pertama ini, al-Khowwas menyuruhnya menghindari keramaian manusia (uzlah), hingga pada akhirnya al-Sya’roni merasa dirinya paling baik dibandingkan dengan yang lainya. Al-Khowwas kemudian menganjurkan kepada al-Sya’roni untuk terus melakukan mujahadah hingga ia akan merasakan bahwa dirinya lebih hina dari pada orang yang paling hina sekalipun.Setelah masa-masa tersebut, al-Khowas menyuruh al-Sya’roni untuk berbaur kembali dengan masyarakat ramai, dengan bersabar atas apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Al-Sya’roni ketika menjalankan hal tersebut merasakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tinggai derajatnya jika dibandingkan dengan orang lainya. Tetapi, seperti biasanya, al-Khowwas kemudian memerintahkan kepada dirinya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Al-Khowwas menyuruh al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah dalam semua waktu-waktunya. Ia tidak boleh memikirkan hal lain selain sang pencipta. Sehingga ia harus menjalani masa-masa itu selama berbulan-bulan. Dan bukan hanya itu saja, al-Khowwas kemudian menyuruh dirinya untuk menghindar dari nafsu makan. Makan hanya dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup belaka, sehingga al-Sya’roni ketika itu merasakan dirinya telah terbang ke atas.Mujahadah yang telah diajarkan al-Khowwas kepada al-Sya’roni telah menjadikan dirinya memiliki keilmuan yang tidak ia duga sebelumnya. Ia merasakan, bahwa ilmu yang telah ia miliki, mendapatkan pesaing dari ilmu mauhibah yang baru ia dapat. Ilmu yang baru ia dapat telah memberi penyempurnaan terhadap ilmu yang selama ini ia miliki. Hati al-Sya’roni telah dibuka oleh Allah, dan diberikan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh seorang sufi saja. Tetapi, walaupun al-Sya’roni telah mendapatkan ilmu laduni dari Allah, al-Khowwas yang dalam hal ini berperan sebagai guru al-Sya’roni, membimbing kepada dirinya untuk terus melakukan berbagai macam mujahadah dalam rangka membersihkan hatinya dari belenggu duniawi. Sehingga pada akhirnya al-Sya’roni mampu mendapatkan berbagai macam ilham dan karomah yang telah diberikan langsung oleh Allah kepada dirinya.

Karomah Imam Sya'roni

Suatu ketika antara Syaekh Abd al-Wahhab dengan Syekh Nasiruddin al-Laqqani, terjadi kesalahkepahaman karena ada aduan dari sebagian orang yang hasud pada Syaekh Abd al-Wahhab. Dia mengadu pada Syekh Nasir bahwa Syekh Sya'roni dalam majlis pengajiannya mencampur santri laki-laki dengan santri perempuan. Ketika Syekh Sya'roni mengetahui bahwa Syekh Nasir terkena tipuan orang ini, maka beliau sowan ke Syekh Nasir untuk meminjam kitab "Al-Mudawwanah". Syaekh Nasir dalam kesempatan itu mengatakan : " Aku harap engkau tidak melakukan pelanggaran lagi, dan engkau kembali pada Syariat yang benar ! ". Syaekh Sya'roni menjawab : " InsyaAllah itu akan terjadi ". Setelah itu, Syaekh Nasir menyuruh pembantunya untuk mengeluarkan kitab "Al-Mudawwanah" dari lemari, dan menyuruhnya mengantarkannya ke rumah Syekh Sya'roni. Beberapa saat setelah sampai di rumah Syekh Sya'roni, pembantu itu mohon diri untuk pulang. Namun Syekh Sya'roni menahan dan meminta agar ia mau menginap barang satu malam.Keduanya mengisi malam itu dengan bercengkerama sampai larut malam. Ketika malam telah melampaui sepertiganya, Syekh Sya'roni masuk ke kamar kholwatnya. Kira-kira seperempat jam, beliau keluar untuk membangunkan pembantu itu agar sholat tahajjud. Lalu dia bangun, berwudlu dan sholat bersama Syekh Sya'roni sampai menjelang subuh. Selesai solat Subuh mereka berdua membaca Qur'an bersama, lalu mengamalkan wirid masing masing sampai matahari terbit. Menginjak matahari setinggi tombak Syekh Sya'roni mengajaknya untuk ke kamar dan makan pagi bersama. "Tolong kembalikan kitab al-Mudawwanah ini pada Syekh Nasir dan sampaikan rasa terima kasih saya" ucap Syekh Sya'roni setelah acara makan pagi selesai. Khodim Syekh Nasir ini heran dan bertanya-tanya dalam hatinya : " Apa maksud Syakh Sya'roni ini, meminjam kitab hanya satu malam saja? Apa yang telah dilakukannya dengan kitab ini? ". Ketika dia sampai pada gurunya dan mengembalikan kitab tersebut Syekh Nasir tambah marah pada Syekh Sya'roni. Di tengah rasa marah ini Syekh Nasir ditanya tentang suatu masalah yang mengharuskannya untuk membaca kitab Al-Mudawwanah. Ketika membukanya ia kaget karena di situ ada catatan-catatan tangan Syekh Sya'roni. Demikian lembar demi lembar selalu ada catatan tangan Syekh Sya'roni. Karena heran dengan kenyataan ini Syekh Nasir bertanya pada muridnya tadi : "Apa yang dilakukan Syekh Sya'roni dengan kitab ini ?". Diapun menjawab: " Demi Allah… dia tidak berpisah dariku kecuali hanya dua puluh menit, beliau tidak meninggalkan wiridan dan tahajjudnya ". Demi mendengar keterang muridnya ini, Syekh Nasir lalu pergi menghadap Syekh Sya'roni dengan tanpa memaakai alas kaki dan tutup kepala. Ketika sampai di hadapan Syekh Sya'roni Syekh Nasir berkata : " Sekarang aku bertaubat. Aku tidak akan berani lancang pada golongan ahli Tasawwuf ". Syaekh Sya'roni lalu berkata : "Maukah tuan aku tunjukkan kitab ringkasan kitab Al-Mudawwanah, yang aku lakukan malam itu ? kalau memang ada yang menerimanya itu semata-mata anugerah Allah, dan barokah Izin Nabi SAW. Kalau tidak ada yang menerimanya maka aku akan menghapusnya dengan air ". Lalu Syaekh Nasir memberikan kata pengantar, dan memuji kitab Syekh Sya'roni ini.Di antara karomah Imam Sya'roni adalah suatu ketika ia tidur di rumah kawannya di sebuah ruang terpencil yang banyak jinnya. Pada petang harinya kawannya ini menyalakan lampu di ruangan itu, menutup pintu lalu meninggalkan Syekh Sya'roni sendirian. Lalu datanglah sekelompok jin. Mereka mematikan lampu dan mengitari Syekh kita ini hendak mengganggunya. Tahu akan apa yang terjadi Syekh Sya'roni berkata : " Demi keagungan Allah…. Kalau saja aku mau menangkap salah satu di antara mereka, niscaya tidak akan ada satupun yang mampu melepaskannya". Lalu Imam Sya'roni tertidur dengan tenang seperti tidak ada apa-apa.Di antara karomahnya adalah, suatu ketika Imam Sya'roni berkata : "Aku diberi anugrah oleh Allah berupa pengetahuan apakah seorang wali sedang berada dalam kuburnya atau tidak. Karena memang para wali dalam kuburnya mempunyai aktifitas tersendiri. Mereka selalu datang dan pergi. Keistimewaan ini juga di miliki oleh Syekh Ali al-Khowwas guru Syaekh Sya'roni. Sang guru ini kalau melihat seseorang mau ziaroh ke makam seorang wali kadang-kadang mengatakan : " Cepatlah pergi kesana, karena sebentar lagi sang wali mau pergi untuk keperluan ! ". Suatu ketika Syekh Sya'roni ziarah ke makam Syekh Umar Ibn al-Faridl, tapi tidak menjumpainya dalam kuburannya. Setelah itu, Syekh Umar datang kepadanya, sambil berkata : " Maafkan saya, karena tadi aku ada keperluan ".

Wafat

Imam Sya'roni wafat pada tahun 973 H 1565 M.

DIPOSKAN OLEH MY JE_BLOGGER

Tidak ada komentar:

Posting Komentar