Sang Blawong Pewaris Keluhuran
Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH.
Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad
Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso,
Kediri.
Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri
baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren
bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam
saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin
untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat
julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya
sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana
Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang
berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah
burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M.
Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan).
Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan
sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan
tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama
berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH.
Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah
Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang
paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya
dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat
dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud
untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang
ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada
di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang
diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi
tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia
muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof)
selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih,
Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang
didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh
oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam
KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari),
Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok
kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana.
Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri
yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek
(piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas
yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman,
ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli
kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan
mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp
2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di
pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan
dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin).
Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut
pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah,
Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna
menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah
Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar
dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada
tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli
bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai
akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan
Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah
kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat.
Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang
untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH.
Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH.
Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang
sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli
kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul
masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan
sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren
Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy).
Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama
Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh.
Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan
dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan
pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia
lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya.
Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung
murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama
kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah
santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok
Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok
(Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan
grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah
bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga
para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas
demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan
tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi
kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah
Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara
Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa
berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri.
Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem
Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli
selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal
istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja,
Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam
Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan
sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh
yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam.
Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli
hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali
kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong
kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau
meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai
Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek),
KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat
mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid
kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang
kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah
berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan
budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.