Ibunda Sunan Giri, Dewi
Sekardadu, konon beristirahat sejak abad ke-14. Makamnya cukup megah karena
beberapa tahun lalu dipugar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Ada joglo untuk
peristirahatan pengunjung. Namun tetap saja, di tengah deru angin kencang yang
sesekali membawa air laut, kesan kesunyian dan keterpencilan makam ini terasa.
Beberapa penduduk bercerita
kalau kunjungan ke makam ini relatif jarang. “Yang datang biasanya adalah
peminat ziarah wali. Atau kalau tidak.. ya peneliti, atau peminat masalah
supranatural,” ujar Haji Waras, pemuka masyarakat.
Angka kunjungan meningkat
menjelang upacara nyadran alias petik laut yang diselenggarakan setahun dua
kali. Menjelang Ramadan dan Bulan Maulud. Beberapa penduduk desa ini hafal
sejarah makam Dewi Sekardadu, dengan pakem seragam. Bahwa perempuan ini
bernasib malang. Dia mencari-cari bayinya di tengah laut namun tidak menemukan.
Yang terjadi, dia tewas, lantas digotong ikan-ikan keting untuk didamparkan di
tempat ini, yang kini dinamai Desa Ketingan atau Kepetingan.
Sekadar mengingatkan, Dewi
Sekardadu sesungguhnya adalah putri Prabu Menak Sembuyu, Penguasa Kerajaan
Blambangan, Banyuwangi, pada abad ke-14. Samadi, juru kunci makam menjelaskan,
Blambangan suatu ketika didera wabah penyakit. Dewi Sekardadu sendiri sakit.
Tabib-tabib terkenal didatangkan namun tak satu pun yang bisa menyembuhkan
penyakit, baik Dewi Sekardadu maupun warga desa.
“Raja pun membuat
sayembara, barangsiapa bisa menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu, ia berhak
menjadi suami sang dewi jelita itu. Namun lagi-Iagi tidak ada yang bisa
menyembuhkan. Hingga akhirnya, Prabu Menak Sembuyu bermimpi bahwa yang bisa
menyembuhkan putrinya adalah ulama
Muslim bernama Syeh Maulana
Iskak yang berdiam di sekitar Gresik, Jawa Timur,” beber Samadi. Maka diutuslah
patih kerajaan untuk menemui Syeh Maulana Iskak. Syeh Maulana Iskak pun
berangkat ke Tanah Blambangan. “Singkat cerita, Dewi Sekardadu berhasil
disembuhkan. Maka, dinikahkanlah Syeh Maulana Iskak dengan Dewi Sekardadu.
Setelah menikah mereka
tinggal di Blambangan. Syeh Maulana Iskak sangat disayangi pend·uduk
Blambangan,” kata Samadi. Orang-orang kepercayaan raja mengail di air keruh.
Mereka juga tidak rela rakyat demikian menyayangi Syeh Maulana Iskak. Intrik demi
intrik dilakukan, hingga raja semakin membenci Syeh Maulana Iskak. Bahkan Dewi·
Sekardadupun tidak lagi akur dengan suaminya. Syeh Maulana Iskak akhirnya
meninggalkan· istana untuk berdakwah di tempat lain. Saat itu Dewi Sekardadu
hamil-tua.
Bayi yang dikandung Dewi
Sekardadu lahir tahun 1365 M. Namun bayi tersebut tidak diinginkan para
petinggi kerajaan yang haus kekuasaan. Bayi tersebut diculik, ditempatkan di
sebuah peti yang kemudian dipaku dan dibuang ke laut. Itusebabnya bayi tersebut
juga dinamai Raden Paku.
Mengetahui anaknya dibuang
ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri, mengejar-ngejar anaknya di laut. Dewi
Sekardadu tak bisa mengejar peti yang terapungapung di laut, lantas meninggal.
Di wilayah Balongdowo
Sidoarjo, pada tahun 1365 tersebut, para nelayan sedang mencari ikan dan kerang
di laut. Mereka dikejutkan dengan serombongan ikan keting yang ramai-ramai
menggotong jasad seorang wanita cantik, yang diyakini Dewi Sekardadu. Jasad
yang akhirnya didamparkan ikan-ikan keting di pantai, lantas dikubur
secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan Ketingan alias
Kepetingan.
Bagaimana dengan bayi Dewi
Sekardadu yang terapung-apung itu? Selamatkah dia? Ternyata bayi tersebut
selamat. Seorang pengusaha kapal ikan perempuan mengambil bayi yang kemudian
dinamai Raden Paku dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri tersebut.
Namun kisah Dewi Sekardadu
ini punya banyak versi. Beberapa tempat seperti Gresik dan Lamongan, konon juga
diakui sebagai makam Dewi Sekardadu. Entah versi mana yang benar. Namun
nelayan-nelayan di sini sangat yakin, makam Dewi Sekardadu yang asli ya yang di
kampong mereka.
Upacara Nyadran
Makam Ibunda Sunan Giri
tersebut, sangat dimuliakan masyarakat nelayan Sidoarjo. Setiap tahun, saat
bulan Maulud dan menjelang Ramadhan, upacara terbesar nelayan pesisir Sidoarjo
nyadran atau petik laut dipusatkan di makam ini.
Awal
Maret 2010 nelayan pesisir Sidoarjo menggelar nyadran. Sejak
pagi para penduduk kampung Bluru Kidul yang sebagian besar kaum nelayan, telah
berkumpul di tempat yang biasa mereka pakai sebagai dermaga. Sebagaimana hari
raya Idul Fitri, kali ini penduduk pun berpakaian serba baru. Mereka satu
persatu, juga. anak-anak naik perahu. Jumlah perahu sekitar 3D-an dan beberapa
di antaranya berhiaskan hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan. Di dalam
perahu-perahu itu telah ada tumpeng.
Makam Dewi Sekardadu
dipenuhi penduduk yang bergantian untuk nyekar. Puluhan tumpeng dan sesajen
dibawa ke dalam masjid. Ayat-ayat AI Quran juga dikumandangkan. Setelah itu,
tumpeng pun dibagikan untuk siapa saja yang memerlukan. Beberapa tumpeng memang
disediakan untuk dilarung ke laut, dan ini tentu saja dibawa kembali ke
dermaga. Penduduk pun kembali naik perahu, beriring-iring menuju tengah laut,
tempat melarung tumpeng. Kebersamaan benar-benar tampak di sini. Even ini
ternyata sanggup mempererat tali persaudaraan antar mereka.
Kegiatan
semacam ini, sepanjang filosofinya diketahui dan pesan-pesan moral terbaiknya
diamalkan, bukankah akan membuat dunia kita yang carut marut ini jadi lebih
baik? Bukankah nyadran yang erat kaitannya dengan bersih-bersih ini merupakan
kegiatan untuk semakin mendekatkan kita kepada jagat kecil, yakni diri kita,
dan jagat besar, yakni semesta ini? Semestinya, kegiatan yang sarat pesan moral
dan pastinya ramah lingkungan tersebut tak ada alasan buat ditampik, dicurigai,
atau dihujat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar