Makam ini terletak di Desa
Tunyang Kec. Timang Gajah Bener Meriah
Sejarah Datu Beru
QURRATA‘AINI, asal dataran tinggi Gayo, adalah seorang tokoh
wanita Aceh yang sejak kecil sudah melekat ciri-ciri kepemimpinan dan membela
kebenaran. Beliau cerdas, menguasai ilmu agama, politik, falsafah dan hukum.
Oleh sebab itu, Raja Linge mengutus Qurrata‘aini sebagai wakil resmi dari
Kerajaan Linge dalam Parlemen Aceh di Kutaraja. Prestasi gemilangnya, sempat
menggemparkan dunia pradilan Aceh pada ketika itu. Qurrata‘aini punya warna
lain, berkiprah dalam dunia politik, hukum dan telah menempatkan dirinya
sebagai satu-satunya wanita Aceh yang disegani dan layak menduduki kursi
Parlemen pusat pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah. Bertandang, meski
seorang! Pandangan beliau tentang aplikasi hukum yang mengetengahkan ijtihad
-penafsiran intensive- telah menjadi yurisprudensi menarik dalam dunia Pradilan
Aceh, karena memadukan atau memasukkan unsur hukum Adat Gayo ke dalam hukum
Islam yang diterima oleh Mahkamah Qadhi Maliku ’Adil, tanpa mengenyampingkan
makna hukum Islam.
Ceritanya begini: ’Sebelum Johansyah (Raja Linge ke-12)
dilantik oleh Sultan Aceh menjadi Panglima perang melawan Portugis di Selat
Melaka dan Tanah Semenanjung Malaysia, sudah mempunyai seorang anak lelaki
[yang kemudian memangku [Raja Linge ke-13] Dalam missi tersebut; selain
berhasil meredam kekuatan Portugis, Johansyah mempersunting putri Sultan Johor
dan dikaruniai dua anak lelaki bernama: Bener Merie dan Sengeda. [Johansyah mempunyai
tiga isteri, yaitu: Ibu Raja Linge ke-13 (isteri pertama); Nio Niang Lingké
-Putroê Nèng- (isteri kedua), tidak ada zuriat; Putri Sultan Johor, (isteri
ketiga) Ketika bertugas di kepulauan Riau, tiba-tiba Johansyah jatuh sakit dan
meninggal dunia. Makam Johansyah, hingga sekarang masih tegak dan dipelihara
dengan baik di Pulau Lingga, Riau.
Suatu ketika, ketika Bener Merie dan Sengeda sudah dewasa,
mereka meminta restu Ibunya, supaya dibolehkan ikut rombongan Raja Linge,
seusai menghadiri Sidang tahunan Raja-raja seluruh Aceh di Kutaraja. Untuk
melicinkan jalan, mereka bisikan kepada Syirajuddin (Perdana Menteri Linge,
berkedudukan di Serule). Pendek cerita, sampai di Istana Kerajaan Linge,
suasana mulai heboh dan bisik-bisik; siapa gerangan dua remaja yang ikut dalam
rombongan? Tanpa disiasat lebih dahulu, Raja Linge ke-13 terus menyiapkan
algojo untuk ’menghabisi‘ Bener Merie dan Sengeda dengan tuduhan sebagai
mata-mata, padahal keduanya ialah saudara satu Ayah, lain Ibu dengan Raja Linge
ke-13.
Untuk itu, Raja Linge ke-13, menyusun dua regu. Regu
pertama, bertugas untuk membunuh Bener Merie, yang komandannya ialah Raja Linge
ke-13 sendiri. Regu kedua, bertugas untuk membunuh Sengeda, yang komandannya
ialah Syirajuddin. Setelah dua hari dalam perjalanan, regu pertama tiba di
Samar Kilang. Di sinilah Bener Merie baru sadar dan tahu bahwa dirinya akan
dibunuh. Sebelum jiwanya melayang, dia menangis tersedu-sedu, menderu dan
meratap hingga mengoyak angkasa biru dan keheningan alam semesta agar Allah Maha
kuasa tahu, bahwa nyawanya tinggal menghitung detik waktu, karena tidak
menyangka peristiwa ini akan berlaku. Tempat Bener Merie menangis dan menderu
ini dinamai: “Wihni Bernguk” (“Sungai isak-tangis”). Bener Merie dibunuh di
hulu “Uning”, suatu kawasan terpencil di Samarkilang.
Akan halnya dengan Sengeda, berhasil diselamatkan oleh
Syirajuddin, yang dikenal ’alim dan berbudi baik. Untuk mengelabui Raja Linge
ke-13, Syirajuddin terpaksa mengeksekusi seekor kucing, diletakkan dalam
Kerenda dan dimakaman. Kuburan Kucing yang tak bersalah (innosence) ini
dinamai: “Tanom Kucing” (“Tanam Kucing”) terletak di daerah Serule.
Pada persidangan tahunan Raja-raja seluruh Aceh berikutnya,
terungkap sepak terjang Raja Linge ke-13, atas laporan Sengeda dan Syirajuddin
(Perdana Menteri Linge). Kasus ini menjadi salah satu agenda pokok dalam
persidangan Raja-raja seluruh Aceh waktu itu. Sultan Aceh kemudian menyerahkan
perkara tersebut kepada Qadhi Malikul ’adil untuk mengadili.
Setelah mendengar keterangan saki-saksi dan bukti-bukti yang
ada, maka Qadhi Maliku ’adil menjatuhkan hukuman mati (qishash) kepada Raja
Linge ke-13, karena telah terbukti dengan sah melakukan delik pembunuhan
berencana. Hal ini termaktub dalam Al-Qur‘an, surat Al-Baqarah, ayat 178: “...
Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema‘afan dari saudaranya [Ahli waris],
hendaklah yang mema‘afkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma‘af
membayar diyat kepada yang memberi ma‘af dengan cara yang baik pula. Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat...”
Sebagai pakar hukum Islam dan anggota Parlemen wakil dari
Kerajaan Linge, Qurrata‘aini merasa keberatan dengan hukuman qishash yang
dijatuhkan kepada Raja Linge ke-13, walaupun sudah terbukti melakukan
pembunuhan. Kebenaran mesti ditegakkan, walaupun langit akan runtuh! Dalam
persidangan, Qurrata‘aini menyampaikan pledoi menarik dan ilmiah, yang
mempersoalkan tentang kepastian hukuman qishash yang dijatuhkan kepada Raja
Linge ke-13. Pledoi Qurrata‘aini bukan saja membentangkan dalil-dalil Qur‘ani,
tetapi juga legalitas hukum Adat Gayo, demi melengkapi referensi Qadhi Malikul ’adil.
“Ya benar, Al-Qur‘an telah menentukan hukuman qishash kepada sipembunuh. Ini
wajib ditegakkan! Tetapi jangan lupa bahwa, masih dalam ayat yang sama,
tertera: “... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema‘afan dari saudaranya
[Ahli waris], hendaklah yang mema‘afkan mengikuti dengan cara yang baik dan
yang diberi ma‘af membayar diyat kepada yang memberi ma‘af dengan cara yang
baik pula...” Sehubungan dengan itu, putusan Majlis hakim tidak boleh
dilaksanakan, sebelum terlebih dahulu memanggil dan mendengar keterangan Ahli
waris, yaitu: Sengeda dan Ibunya. Untuk itu, saya siap menghadirkan mereka di
depan Mahkamah yang terhormat ini.” Demikian antara lain bunyi pledoi
Qurrata‘aini.
Sementara itu, di celah-celah proses persidangan yang
berlangsung alot, Qurrata‘aini melobby Sengeda dan Ibunya yang dirundung
malang. Kepada Sengeda, Qurrata‘aini berkata: “Abangmu (Bener Merie) sudah
tiada dan tidak mungkin kembali lagi. Jika Raja Linge ke-13 dieksekusi, berarti
Anda kehilangan dua saudara. Relakah Anda mema‘afkan? Inilah satu-satu jalan
menyelamatkan nyawa Raja Linge ke-13.
Dalam Islam, perintah qishash adalah hak Allah yang wajib
didahulukan, bukan sebaliknya. Artinya, hukuman mati (qishash) tidak
dilaksanakan, jika ahli waris mema‘afkan. Segeda dengan ikhlas memberi ma‘af.
Setelah mendengar pledoi dan kesaksian Sengeda dan Ibunya,
maka Majlis Hakim menukar hukuman mati (qishash) ke atas Raja Linge ke-13
dengan memerintahkan membayar diyat kepada Ahli waris. Qurrata‘aini
mengusulkan: “selain membayar diyat, Raja Linge ke-13 juga dikenakan sanksi
adat, yakni: wilayah kuasa hukumnya dipersempit, baju kebesaran dan Bawar
(Pedang) Kerajaan Linge ditanggalkan.” Usul tersebut dikabulkan oleh Majlis
Hakim. Akhirnya, Raja Linge ke-13 yang dengki, irihati dan buruk sangka
(prejudice), pulang kampung dengan hina dan tercela.
Qurrata‘aini yang diceritakan panjang-lebar tadi ialah: nama
Datu Beru sewaktu kecil. Dalam bahasa Gayo: “Geral turun mani.” Diriwayatkan,
dalam perjalanan dari Kuta Raja menuju Takengon, setibanya di Ulung Gajah,
tiba-tiba Datu Beru jatuh sakit. Para staffnya mengusung dengan tandu.
Akhirnya, beliau meninggal dan dimakamkan di sebuah bukit di Kampung Tunyang,
Acheh Tengah (Sekarang Bener Meriah, Pen). Datu Beru adalah benih unggul (“énéh
bereden”) yang sulit dicari penggantinya, walau pun riwayatnya sudah lebih dari
lima abad yang silam.
Demikian Kisah Datu beru yang diceritakan oleh Yusra Habib
Abdul Gani dalam Tulisannnya "Datu Beru, Datu Siapa" sekarang kita
kembali kepeninggalannya yang masih dapat dilihat di Desa Tunyang Kecamatan
Timang Gajah Kab. Bener Meriah,Tokoh wanita Aceh bukan hanya yang berjuang
dengan pedang dan senapan tapi juga ada yang berjuang dalam Parlemen Kerajaan,
sekali lagi membuktikan Wanita Aceh adalah simbol dari emansipasi wanita
sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar