bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, lahir
tahun 1809, ibunya bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ia adalah
keluarga Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan
istana, yakni di Antasan Senor, Martapura. Kericuhan-kericuhan yang terjadi di
kalangan penguasa kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah ini
tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta Kesultanan Banjar.
Ketika Sultan Adam (1825-1857) meninggal dunia, Belanda
mengangkat cucunya yaitu Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Putra Sultan Adam
yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, telah meninggal lebih dahulu
pada 1852. Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena ibu Tamjidillah adalah
orang Cina. Ditambah kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan.
Para bangsawan, ulama, dan rakyat tidak menyukai terhadap pengangkatan Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan. Yang lebih disukai adalah putra Abdulrachman yang
lain yaitu Pangeran Hidayatullah. Dia selain putra dari ibu bangsawan, juga
berperangai baik. Tapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda
sebagai sultan dan Hidayatullah dijadikan mangkubumi (patih)
Harapan rakyat Banjar adalah Hidayatullah yang menjadi
sultan, yang diperkuat pula dengan Surat Wasiat Sultan Adam Alwasyiqubillah.
Isi Surat Wasiat itu sebagai berikut: Sultan Adam memberi kepada Pangeran
Hidayat gelar Sultan Hidayatullah Khalilullah. Mengangkat menjadi penguasa
agama serta mewariskan semua tanah kesultanan, semua alat senjata kesultanan,
alat pusaka dan padang-padang perburuan. Apabila Sultan Adam wafat, maka
penggantinya ialah Pangeran Hidayat, dan hendaknya memerintah rakyat dengan
penuh keadilan dan mengikuti perintah agama. Memerintahkan kepada seluruh
rakyat Kesultanan Banjar supaya mentaati hal ini dan jika perlu mempertahankan
dengan kekerasan. Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar kesultanan,
ulama dan tetua kampung supaya mematuhi ketentuan ini, apabila dilanggar Sultan
Adam menjatuhkan kutuknya.
Karena keadaan itu muncullah gerakan-gerakan perlawanan rakyat.
Di berbagai tempat, di kampung-kampung, mereka mempengaruhi rakyat dan di sana-sini
mengganggu ketenteraman. Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya
perlawanan di daerah pedalaman, yaitu: Di Banua Lima (Negara, Alabio, Sungai
Banar, Amuntai dan Kalua) dipimpin oleh Tumenggung Jalil. Di Muning dibawah
pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya menjadi sultan dengan nama
Penembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar Sultan
Kuning. Anak perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama
kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah. Di daerah Batang Hamandit, Gunung
Madang, dipimpin Tumenggung Antaluddin. Di Tanah Laut dan Hulu Sungai dipimpin
oleh Demang Lehman. Di Kapuas Kahayan dibawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi
mengutus 3 orang untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak.
Salah seorang dari utusan itu adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari.
Maka terbukalah kesempatan bagi Pangeran Antasari untuk menghubungi
pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang siap mengadakan perlawanan, bahkan ia
berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan dipilih sebagai pemimpin perlawanan.
Cita-cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian Antasari.
Oleh karena itu ia dan keluarganya diam-diam meninggalkan
kediamannya di Antasan Senor Martapura dan menyatukan diri dengan kaum
perlawanan di pedalaman. Puteranya yang bernama Gusti Penembahan Muhammad Said,
dikawinkan dengan Saranti, puteri Penembahan Aling, tokoh yang berpengaruh di
kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang
dipimpin oleh Penembahan Aling di Muning dengan gerakan rakyat yang dipimpin
oleh Tumenggung Jalil di Benua Lima. Wilayah perlawanan bertambah luas,
meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala Kapuas, serta Tanah Bumbu.
Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan Pangeran Antasari untuk menentang
Belanda dan kekuasaannya yang menggunakan Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan
alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan kekerasan.
Pada permulaannya ia berhasil menghimpun sebanyak 6.000 orang lasykar. Serangan
pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan serangan itu maka
meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 orang lasykar yang dipimpin
langsung oleh Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara dan benteng Belanda
di Pengaron. Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak
Pangeran Antasari mapun pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat lasykar Antasari. Komandan Beeckman
sangat khawatir karena persediaan makanan sudah menipis. Ia segera mengirim
kurir, tetapi kurir itu dapat dibunuh oleh lasykar. Keadaan di luar tambang dan
benteng Belanda di Pengaron dapat dikuasai lasykar Pangeran Antasari. Dua puluh
orang bersenjata parang menyelinap ke dalam pos dan benteng tambang batu bara
Oranje Nassau Pengaron, tetapi diketahui musuh, dan semuanya gugur terbunuh.
Dokter Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman.
Pangeran Antasari sebagai pimpinan lasykar perlawanan mengirim surat kepada
Beeckman agar ia menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap
berbahaya terhadap pangeran Antasari sehingga dianggap pemberontak yang dikenai
premie atau harga kepala 10.000 gulden untuk menangkapnya hidup atau mati.
Demikian pula terhadap Pangeran Hidayatullah yang kemudian bergabung dengan
Pangeran Antasari. Hal ini dilakukan Belanda setelah dihapuskannya Kerajaan
Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H (14 Maret 1862, yaitu
setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur) para alim ulama
dan pemimpin rakyat di Barito, Sihong, Teweh serta kepala-kepala suku Dayak
Kapuas Kahayan berkumpul di Dusun Hulu untuk menobatkan Pangeran Antasari
menjadi Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama.
Dengan demikian, dalam pengertian rakyat, kedaulatan daerah Banjar dipegang
oleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan
keadaan perang yang masih berkobar.
Belanda masih berusaha berdamai dengan Pangeran Antasari dan
bersedia memberi pengampunan. Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan
mengirim surat kepada gezaghebber (Kepala Daerah/penguasa) di Marabahan
(Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan yang diajukan Belanda kepada
Pangeran Antasari. Ia tidak percaya kepada janji-janji yang diberikan Belanda
dan menganggapnya sebagai tipu muslihat belaka. Pangeran Antasari sebagai
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin hanya memberi satu jaminan untuk perdamaian,
yaitu diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya diizinkan
untuk menarik pajak. Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pangeran
Antasari memilih jalan meneruskan peperangan.
Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan
besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda
daerah Kalimanatan Selatan, Pangeran Antasari terserang juga. Dalam keadaan
sakit parah ia diangkut ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya meninggal di kampung
Sampirang, Bayan Pegog, Hulu Teweh, pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian
makamnya dipindah pada 11 November 1958 ke Komplek Makam Pangeran Antasari,
Banjarmasin.
/adimust.wordpress.com/about-pics/pangeran-antasari-panembahan-amiruddin-khalifatul-mukminin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar