Guru para Kiai dan Habaib
Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama
yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85
tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.
Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di
perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong
gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, Hannan bin Yunus
Assegaf sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang
ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di
berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya
yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib
Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.
Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh
Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah
Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung
oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930,
menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di
Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry,
pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry,
pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan
tasawuf, selama 10 tahun.
Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. ”Pelajaran
tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi
bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain
itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun
susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali,
seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.
Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah
Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang
Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di
tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim
ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di
beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa
dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.
Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin
Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin
Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin
Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para
santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib
Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin
Abdullah Alatas (Bogor).
Islamic Centre
Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan
Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah
Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan,
Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim
almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke
Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh
Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun
Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam
di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.
Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa
mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat
Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan
K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh
bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain
mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin
Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia
juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.
Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya,
tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak
ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski
begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia
mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan
tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga
patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti
dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun
tak lagi gesit.
Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih
bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para
tamunya.
Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya
bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa
menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu
mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi
kesehatan tamunya.
Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia
masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad
Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib.
Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail
al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak
uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam
pandangan empat ulama madzhab.
Diposkan oleh Majlis Arrahman
http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib?updated-max=2009-06-13T21:53:00-07:00&max-results=20&start=98&by-date=false
Tidak ada komentar:
Posting Komentar