Syeikh Abubakar bin Salim dilahirkan pada tanggal 13 Jumadil
Akhir 919 H di kota Tarim, Yaman. Ia tumbuh dewasa menjadi seorang tokoh sufi
yang masyhur sekaligus seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya.
Ayahandanya adalah Habib Salim bin Abdullah bin Abdurrahman
bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf. Sedangkan Ibunda beliau adalah Syarifah
Thalhah binti Agil bin Ahmad bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf.
Jauh sebelumnya, kelahiran beliau telah banyak diramalkan
oleh para wali terkemuka, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Alwi yang
tinggal di daerah Maryamah, sekali waktu beliau datang ke Inat dan ia duduk di
sebidang tanah yang pada waktu itu hanya berupa semak belukar dan bebatuan. Ia
berhenti sejenak di tempat tersebut dan berkata kepada masyarakat yang hadir
waktu itu, “Akan lahir salah seorang anak kami yang akan mempunyai keagungan
dan ia akan tinggal di tempat ini”. Selanjutnya ia berjalan berkeliling kota
Inat sambil sesekali menunjukkan tempat-tempat yang kelak berkaitan dengan
Syeikh Abubakar bin Salim, ia menunjukkan tempat yang akan dibangun masjid oleh
Syeikh Abubakar dan ia sempat shalat disana, ia juga menunjukkan tempat dimana
Syeikh Abubakar akan membangun rumah.
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi meriwayatkan bahwa wali
lainnya yang telah meramalkan keberadaan Syeikh Abubakar adalah Habib Muhammad
bin Ahmad Jamalullail, ia berkata, “Akan ada disini (Inat) salah seorang dari
anak-anak kami yang akan termasyhur dengan keagungan dan kewalian, dan Qubahnya
akan berada dan didirikan di kota ini”.
Sejak kecil Syeikh Abubakar bin Salim telah menunjukkan
tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi orang yang memiliki kemuliaan. Pernah
pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya pergi ke
Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana yang mengiringi
perjalanan itu dengan tabuhan rebananya. Setibanya di Tarim ia bersama
pengikutnya mengunjungi Habib Syeikh Al-Idrus. Keesokan harinya Syeikh Faris
berniat untuk menziarahi makam Nabi Hud AS, ia berkata kepada sejumlah habib,
“Wahai habaib, kami membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami
takut jika dalam perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang”. Para Habib
menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai banyak orang berilmu
disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan kami”. Mulailah Syeikh Faris
mencari orang yang dianggap mampu mengawal dia dan para pengikutnya, sampai
akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar bin Salim yang saat itu masih berusia 4
tahun, sedang bermain-main di jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak
ini”, kata Syeikh Faris sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim. Para habib
segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?”. Syeikh Faris
berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya menginginkan anak ini”. Para
habib kemudian mendatangi ibu Syeikh Abubakar bin Salim dan mengabarkan
persoalan yang mereka hadapi. Ibunya berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja
yang lain”. Mereka menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu”. Akhirnya
sang ibu memberikan izin.
Syeikh Abubakar kemudian digendong oleh pelayannya, Ba
Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba
Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris memegang
kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan bait-bait
berikut:
Semoga Allah membahagiakan temanmu, hai Ba Qahawil pohon
kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah Mereka menanamnya di waktu Dhuha dan
sudah memanennya di waktu senja.
Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin
Salim sambil meneruskan syairnya:
"Wahai emas sejati, dengan pandangan-Nya Allah
memeliharamu
semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding lembahmu
"
Masa muda Syeikh Abubakar bin Salim dipenuhi dengan
rutinitas pendidikan, selain didikan orang tuanya, juga tercatat beberapa ulama
besar yang menjadi gurunya, antara lain, Syeikh Umar Basyeiban Ba’alawi, Syeikh
Abdullah bin Muhammad Baqusyair, Syeikh Muhammad bin Abdullah Bamakhramah, Imam
Ahmad bin Alwi Bajahdab, Syeikh Makruf Bajamal dan Syeikh Umar bin Abdullah Ba
Makhramah.
Pada suatu ketika Syeikh Abubakar berniat belajar kepada
salah seorang gurunya, Syeikh Makruf Bajamal yang tinggal di kota Syibam. Namun
ia terpaksa berhenti di pinggir kota, karena Syeikh Makruf Bajamal belum
berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Makruf, “Anak Salim
bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya
bahwa aku belum berkenan menerimanya”, meskipun ayah beliau adalah seorang yang
dihormati karena kesalehannya. Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di
bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Ia menguatkan hati dan
mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar.
Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh
Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja
untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia
mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat
wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan
harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan
kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali
hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali
ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh
Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli
syeikhnya”.
Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah
yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin
Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu
Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik
Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini
adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh
Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang
belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah,
tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim
bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh
Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia
langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala
itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah
dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat
itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu
berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang
ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah
mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang
telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata,
“Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”.
Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana.
Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.
Kegemaran Syeikh Abubakar bin Salim dalam menekuni ilmu
pengetahuan dibuktikannya dengan menghatamkan Ihya’ Ulumuddin-nya Hujjatul
Islam Al-Ghazali sebanyak 40 kali dan menghatamkan kitab fiqih syafi’iyah,
Al-Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak 3 kali. Dan diantara kebiasaannya adalah
memberikan wejangan kepada masyarakat setelah sholat Jumat.
Diantara ibadah dan riyadohnya, pernah dalam waktu yang
cukup lama ia berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau. Juga
selama 90 hari ia berpuasa dan sholat malam di lembah Yabhur dan selama 40
tahun beliau sholat subuh di Masjid Baa Isa, di kota Lisk, dengan wudhu Isya.
Setiap malam ia berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk
melakukan sholat di berbagai masjid di Tarim diakhiri dengan sholat Subuh
berjamaah di masjid Baa Isa. Sepanjang hidupnya ia berziarah ke makam
Nabiyullah Hud sebanyak 40 kali. Setiap malam, selama 40 tahun, ia berjalan
dari Lisk menuju Tarim, melakukan sholat di setiap masjid di Tarim, mengusung
air untuk mengisi tempat wudhu, tempat minum bagi para peziarah, dan kolam
tempat minum hewan. Dan sampai akhir hayatnya sang Syeikh tidak pernah meninggalkan
sholat witir dan dhuha.
Berbeda dengan para wali di Tarim yang hampir semuanya
menutupi hal (keadaan) mereka, Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan perintah
agar ia meng-izhar-kan (menampakkan) kewaliannya. Pada awalnya ia sendiri
merasa enggan dan ragu, sampai akhirnya hal ini sampai kepada gurunya, Al-Imam
Ahmad bin Alwi Bajahdab. Ia manyatakan, “Tidaklah maqam-nya Syeikh Abubakar bin
Salim akan berkurang dengan nampaknya kewalian yang dimilikinya, karena kalimat
Bismillah telah diletakkan di setiap perkataannya. Dan sungguh tidak berkurang
sama sekali kadar maqam kewalian dikarenakan masyhurnya beliau, terkecuali
seperti berkurangnya satu biji dalam makanan”. Tatkala perkataan guru beliau
ini disampaikan kepadanya, Syeikh Abubakar bin Salim melakukan sujud syukur
kepada Allah SWT dan berkata, “Aku merasa cukup dengan isyarat pengukuhan ini,
sebagai lambang kemegahan dan keagungan yang diberikan Allah SWT”.
Setelah kejadian itu, ia berangkat dari Inat menuju Tarim
untuk berziarah dan berjumpa dengan guru beliau tersebut, maka setelah sampai
gurunya bertanya, “Bagaimanakah bentuk isyarat yang telah engkau terima ?”. Ia
menjawab, “Sesungguhnya telah datang kepadaku serombongan pemuka kaum Ba’alawi
dan bersama mereka ada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, mereka semuanya
memerintahkan kepadaku agar aku mengizharkan diriku. Bagaimanakah pandangan
anda sendiri ?. Apakah saya dilarang ?. Sesungguhnya diriku sendiri kurang
menyukai kemasyhuran ?”. Setelah mendengar perkataan beliau, gurunya diam
sesaat dan setelah itu ia berbincang dengan Syeikh Abubakar bin Salim dengan
perkataan yang tidak dipahami oleh orang yang hadir kala itu, kemudian gurunya
berwasiat kepada Syeikh Abubakar dengan beberapa wasiat dan memerintahkan
beliau untuk pulang dan menetap di kota Inat. Pulanglah Sang Syeikh ke Kota
Inat, dan disanalah ia kemudian termasyhur. Namanya yang harum semerbak dikenal
di seluruh penjuru negeri. Cahaya ilmu dan kemuliaannya berkemilau menerangi
orang-orang yang berjalan di jalan Allah SWT. Ia hidupkan kota Inat dengan
ilmu. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu darinya
sehingga Inat menjadi kota yang ramai oleh pencinta ilmu. Murid-murid beliau
datang dari berbagai kota di Yaman dan mancanegara, antara lain Syam, India,
Mesir dan berbagai negara lainnya. Diantara beberapa muridnya yang terkenal
adalah Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi, Shohibus Syiib, Habib Abdurrahman
bin Muhammad Al-Jufri, Habib Muhammad bin Alwi, Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid
Al-Hasany, Syeikh Hasan Basyaib serta beberapa murid lainnya.
Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, ia
mendirikan sebuah masjid dan membeli tanah pekuburan yang luas. Al-Mualim Ahmad
bin Abdurrahman Bawazir berkata, “Ada satu kisah yang diriwayatkan dari
Al-Mualim Abdurrahman bin Muhammad Bawazir yang ia terima dari beberapa orang
arifin, Beliau berkata, “Sesungguhnya tatkala Sayyidina Syeikh Abubakar bin
Salim mendirikan masjidnya yang masyhur di Kota Inat, beliau berkata kepada
orang yang sedang membangunnya dikala itu yaitu Ibnu Ali sambil menunjuk satu
dinding yang baru didirikan, “Dinding yang didirikan ini tidak akan dimakmurkan
oleh orang-orang, kami menginginkannya agar sedikit maju”. Ibnu Ali menjawab,
“Ya Sayyidi yang engkau inginkan adalah kemaslahatan tetapi bagaimanakah kami
akan merubahnya lagi, karena dinding ini sudah terlanjur didirikan di tempat
ini”. Syeikh Abubakar yang saat itu sedang memegang tongkat memukul dinding
tersebut, maka dengan izin Allah SWT dinding tersebut berpindah tempat dari
tempatnya semula sampai pada tempat yang diinginkan olehnya”.
Penduduk Inat sangat mencintai Syeikh Abubakar, hal ini
antara lain dikarenakan keluhuran budi pekerti yang dimilikinya. Beliau
merupakan seorang dermawan yang suka menjamu tamu. Jika tamu yang berkunjung
banyak, maka ia memotong satu atau dua ekor onta untuk jamuannya. Karena
sambutan yang hangat ini, maka semakin banyak orang yang datang mengunjunginya.
Dalam menjamu dan memenuhi kebutuhan para tamunya, ia tidak segan-segan untuk
turun tangan sendiri. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat.
Dalam kesehariannya, ia mengeluarkan sedekah sebagaimana orang yang tidak takut
jatuh miskin, setiap hari ia membagikan seribu potong roti kepada fakir miskin.
Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak
ada seorang pun yang pernah melihatnya duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh
Abdurrahman bin Ahmad Ba Wazir, seorang yang faqih, berkata, “Selama 15 tahun
sebelum wafatnya, di dalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun
awam, Syeikh Abubakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam
posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir”.
Semasa hidupnya beliau selalu membaca wirid-wirid tarekat,
dan secara pribadi, ia mempunyai beberapa wirid dan selawat. Antara lain sebuah
amalan wirid besar miliknya yang disebut Hizb al-Hamd wa al-Majd yang ia
diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya
terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin
Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.
Selain menyusun wirid dan selawat, Syeikh Abubakar bin Salim
juga banyak menulis kitab, terutama yang berhubungan dengan masalah tasawwuf,
antara lain Miftah as-Sara’ir wa Kanz adz-Dzakha’ir yang beliau susun sebelum usianya
melampaui 17 tahun. Mi’raj Al-Arwah yang membahas ilmu hakikat. Beliau memulai
menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H. Fath
Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Ia
memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama
tangal 9 Dzulhijjah. Ma’arij At-Tawhid, serta sebuah diwan yang berisi
pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.
Perjalanan kehidupan Syeikh Abubakar bin Salim banyak
dibukukan oleh para ulama terkenal, tidak kurang dari 25 buku yang menceritakan
biografi kehidupan beliau, antara lain Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi
Manaqib As-Syeikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin
Sirajuddin. Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat fi Manaqib Abi Bakr bin Salim
Shahib Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.
Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawy
mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk
tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya Bughyatu Ahl
Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Seggaf
karya Allamah Muhammad bin Umar bin Sholeh bin Abdurrahman Baraja Al-Khatib.
Banyak dari kitab-kitab tersebut yang mencantumkan kisah
kekeramatan Syeikh Abubakar bin Salim. Seperti yang diriwayatkan oleh Faqih
Muhammad bin Sirojuddin Jamal Rohimahullah dalam kitabnya Bulughizhofri wal
Maghanimi fi Manaqibi As-Syeikh Abu Bakar bin Salim RA. Sesungguhnya aku
bermusafir ke negeri India pada bulan Asyura, tahun 973 H dengan naik kapal,
sampai akhirnya pada satu tempat yang dikenal dengan Khuril Gari. Pada saat itu
sangatlah gelap dan hujan turun sangat lebatnya, dan pada saat itu kapal kami
mengalami kerusakan. Dan para penumpangnya merasa kebingungan dan ketakutan
sehingga mereka menangisi keadaan mereka. Aku sendiri berdoa kepada Allah SWT
dan bertawassul kepada para waliullah. Akupun lalu beristighasah dan
bertawajjuh hatiku kepada Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Setelah aku
bertawassul kepadanya, aku mendengar suara beliau seolah-olah begitu dekat
denganku. Lalu aku berdiri dan memberitahukan kepada penumpang bahwasanya telah
mendapatkan isyarat dan kabar gembira dalam keadaan yang sangat sulit saat itu.
Dan ternyata kamipun diselamatkan oleh Allah SWT dengan kemuliaan Sayyidi
Syeikh Abubakar bin Salim.
Juga diceritakan dalam Kitab Insus Salikin Ila Maqomatil
Washilin yang dikarang oleh Sayyid Abdullah bin Ahmad Baharun. Didalam kitab
tersebut diceritakan kisah dari Umar bin Ali Bamansur. Kami mendapat kabar dari
seorang arifin, ia bercerita, tatkala wafat seorang wali besar yaitu As-Syekh
Makruf Bajamal di negeri Budhoh, salah satu daerah di Dau’an. Kaum solihin
melihat dengan ainul bashiroh mereka ada sungai dengan cahaya yang cemerlang
mengalir dari Budhoh. Sungai tersebut mengalir ke Syibam dan memenuhi kota itu
dengan cahaya hingga ke Ghurfah dan Tarim, sampai akhirnya ke kota Inat dan
terakhir bermuara di hadirat Syeikh Abubakar bin Salim. Dari kabar ini,
akhirnya seluruh murid Syeikh Makruf mengetahi bahwa maqam kewalian gurunya
telah berpindah kepada Syeikh Abubakar bin Salim. Tertulis di dalam Majmu’
Kalam Al-Habib Ali Al-Habsyi bahwasanya Syeikh Makruf memiliki murid lebih
kurang 100 ribu orang.
Pada waktu menjelang wafatnya, Syeikh Abubakar berada di
kamar Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany salah seorang murid
kesayangannya. Sambil memangku gurunya, Sayyid Yusuf membaca ayat Quran yang
berbunyi Falammaa Qodhoo Zaidun Wathoro. Ia membaca ayat ini sebagai isyarat
keinginan dari Sayyid Yusuf untuk mewarisi kedudukan kewalian Syeikh Abubakar
bin Salim dan bila Syeikh Abubakar bin Salim menjawab dengan Zawwajnaa Kahaa,
maka itu adalah isyarat bahwa kedudukan beliau akan diwarisi oleh Sayyid Yusuf,
namun Syeikh Abubakar bin Salim tidak menjawab seperti itu, malah ia berkata
“Wahai Yusuf, engkau menginginkan kedudukan kami. Sungguh kedudukanku adalah
untuk anakku dan kalau sekiranya aku tidak mendapati daripada salah satu
anak-anakku yang akan mewarisi kedudukanku, maka aku akan tanam maqam
kewalianku ini di padang pasir Inat”. Jawaban beliau ini mengkiaskan bahwa
maqam kewalian Syeikh Abubakar bin Salim hanya diwarisi oleh anak-anak beliau.
Dan pada malam Ahad, tanggal 27 Dzulhijjah 992 H, Syeikh Abubakar bin Salim
berpulang ke rahmatullah. Dengan meninggalkan keturunan yang kelak juga menjadi
pemuka kaum Alawiyyin yang meneruskan jejak ayahnya. Beliau dimakamkan di kota
Inat, Hadramaut. Di turbah (makam) Syeikh Abubakar bin Salim terdapat pasir
atau tanah (katsib) yang sangat termasyhur kemujarabannya bagi orang-orang yang
menginginkan keberkahan. Yang termasyhur bahwa tanah ini bisa menyembuhkan
berbagai macam penyakit dan oleh karena itulah juga Syeikh Abubakar bin Salim
mendapatkan gelar Maula Katsib. Diceritakan oleh Sayyid Abdul Qodir bin
Abdullah bin Umar bin Syeikh Abubakar bin Salim, beliau berkata, “Suatu ketika
aku dan guruku Al-Arif Billah Ahmad Al-Junaid berziarah ke Inat dan kepada
Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Sesudah ziarah guruku menginginkan dan
mengambil pasir di makam tersebut untuk menyembuhkan luka yang dideritanya pada
salah satu kakinya. Dan ia meminta kepada salah seorang daripada keturunan
Syeikh Abubakar agar meletakkan pasir tersebut atas luka beliau, dan luka
tersebut sembuh dengan seizin Allah SWT.
Selang beberapa waktu setelah wafatnya Syeikh Abubakar bin
Salim, berkumpullah anak-anak beliau untuk mencari dan memilih siapa diantara
mereka yang akan menjadi khalifah menggantikan ayah mereka. Mereka berkumpul di
suatu Syi’ib, dan barang siapa mendapat tanda dari Allah SWT, maka dialah yang
dipilih sebagai khalifah. Ternyata yang mendapatkan tanda adalah Sayyidina
Husein bin Syeikh Abubakar. Ia mendapatkan langsung satu bejana yang berisi air
turun dari langit. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pun meminum
daripada bejana tersebut dan mereka berkata kepada Sayyidina Husein, ”Engkaulah
yang berhak menjadi khalifah”.
Pada riwayat yang lain, diceritakan oleh Al-Imam Al-Habib
Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi, “Tatkala Syeikh Abubakar bin Salim wafat,
maka setiap anak-anak daripada Syeikh Abubakar bin Salim menginginkan menjadi
khalifah menggantikan ayahanda mereka. Maka ibunda mereka berkata, “Kalian
semuanya mempunyai keberkahan, akan tetapi siapa yang keramatnya terlihat maka
ia akan menjadi khalifah”. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pergi ke
Wadi Inat. Dan mereka membentangkan sajadah masing-masing ditengah Wadi Inat,
lalu melakukan shalat serta bermunajah kepada Allah SWT. Tak lama kemudian
turun kepada Syeikh Umar Al-Mahdhar bejana dan rantai emas dari langit. Maka
Syeikh Umar memanggil saudara-saudaranya, “Apakah kalian mendapatkan sesuatu?”.
Mereka menjawab “Tidak”. Maka merekapun menyerahkan kekhalifahan kepada Syeikh
Umar, namun kekhalifahan diserahkan dan dipegang oleh Sayyidina Husin. Beliau
berkomentar mengenai saudaranya Syeikh Umar Al-Mahdhar. “Sesungguhnya aku
bersahabat dengan saudaraku Umar Al-Mahdhar dan aku tidak merasa sebagai
saudaranya, akan tetapi aku merasa dan menempatkan diriku sebagai pembantu dan
murid baginya”.
Dikisahkan bahwa Sayyidina Husin sekali waktu mendapatkan
gangguan dari para pembesar setempat beserta pasukannya, sehingga membuatnya
berhijrah ke Mekkah dan Madinah dan menetap disana selama 7 tahun. Pada suatu
hari beliau didatangi oleh Nabi Khidir AS dan berkata, “Sesungguhnya datukmu
Rasulullah SAW mengucapkan salam atasmu dan memerintahkan dirimu agar segera
pulang ke Hadramaut”. Nabi Khidir memberitahukan kepadanya bahwa rasa
permusuhan dari musuh-musuhnya akan dihilangkan oleh Allah dan musuh-musuh
beliau akan berubah mencintainya. Dan Nabi Khidir memberitahukan kepadanya agar
berjalan bersama satu kafilah Arab di Hadramaut. Nabi Khidir juga
memberitahukan kepada beliau bahwa kafilah ini akan mempunyai hubungan yang
dekat dengan keturunan beliau sampai hari kiamat. Selain itu Nabi Khidir
memberikan kepada Sayyidina Husin 3 buah benda, yaitu bejana atau gelas yang
besar, tongkat dan gendang. Ketika sang Sayyid pulang, ia mendapati kaum syiah
zaidiyah sedang merajalela dan berbuat semena-mena. Lalu beliau memerintahkan
agar menabuh gendang yang diberikan oleh Nabi Khidir diatas gunung. Ketika
gendang tersebut ditabuh, dengan izin Allah, kaum Zaidiyah yang tadinya berlaku
semena-mena tiba-tiba bertingkah seperti orang gila, dan merekapun kabur
tercerai berai. Belakangan Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas mengatakan, “Kami
telah melihat bejana yang diberikan Nabi Allah Khidir kepada Sayyidina Husein
bin Syeikh Abubakar bin Salim beserta tongkatnya ada di Kota Inat”.
Hingga saat ini masih banyak keturunan Syeikh Abubakar bin
Salim, disebutkan didalam kitab Mu’jamul Lathief, selain dari jalur Sayyidina
Husin juga diantaranya yang terkenal dengan fam Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar
dan Al-Haddar. Keluarga Bin Jindan, nasab mereka bersambung kepada Ali bin
Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Hamid, merupakan
keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Muhdhar,
keturunan Umar Al-Muhdhar. Syeikh Abubakar bin Salim memberi nama Umar
Al-Muhdhar karena ingin mendapatkan berkah Sayyidina Umar Al-Muhdhar bin
Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan
mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif billah yang amat
dikaguminya. Dan keluarga Al-Haddar, yang merupakan keturunan Ahmad Al-Haddar
bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim.
Karya-karyanya
Antara lain:
- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau
karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.
- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai
menulis buku ini pada tahun 987 H
dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan
masalah-masalah ilmu hakikat. Dia
memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan
dalam tahun yang sama tangal
9 bulan Dzul-Hijjah.
- Ma’arij At-Tawhid
- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula
perjalanan spiritualnya.
Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang
terkenal, antara lain:
Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu
tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan
dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai
kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal
dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali
Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu
apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk
mengalirkan apa yang di dalamnya.
Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak
menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan
sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh
(mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya
jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat
(waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang
yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.
Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang
baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang
bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api
neraka”.
Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti
kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”.
Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari
haribaan Yang Maha Suci”.
Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu
belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela
dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan.
Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah
orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang
menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang
banyak bicara akan banyak menyesal.
Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah
penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah
mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau
mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan
terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan
dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya,
raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari,
mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan
sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan
qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang
telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.
Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah
tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari
Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia
adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang
yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan
amal-amal saleh serta merusak Syariat - kami berharap ampunan dan pengampunan
dari Allah.
Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya.
Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya,
minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi
s.a.w.
Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.
Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya
kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar,
maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah.
Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah
orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk
membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan
selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan
hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak
erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan
padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada
diriku yang kemudian aku membencinya”.
Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan
redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan
tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik
prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada
taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu.
Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah
berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa
perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah
penjagaan terhadap dirimu”.
Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah
menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).
Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat
bernilai.
Manaqib (biografi) beliau
Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau
yang ditulis para alim besar.
Antara lain:
- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi
Bakr bin Salim karya Allamah
Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin
Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad
Basya’eib.
- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin
Ahmad bin Jindan Al-’Alawy
mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah
yang masih berbentuk
tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di
antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf
Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf
karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.
Diposkan oleh ANDRI WIJAYA
http://shoeap.blogspot.com/2010/06/al-imam-as-syeikh-abu-bakar-bin-salim.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar