Singa Podium itu Telah Tiada
Seorang ulama dan mubalig telah berpulang ke Rahmatullah.
Selama berdakwah, ia tak kenal kompromi dalam mengemukakan kebenaran.
Jumat, 3 Juni 2005 (25 Rabiulakhir 1426 H), dua tahun yang
lalu, tepatnya pukul 17.00 WIB, singa podium itu telah tiada. Dialah Habib
Novel bin Salim bin Jindan, 64 tahun, ulama dan mubalig yang cukup terkenal di
Jakarta. Kabar wafatnya Habib Novel segera tersiar cepat melalui pesan SMS dan
telepon. Sejak Jumat malam hingga Sabtu subuh, banyak orang datang bertakziah
ke rumah pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah di Ciledug- Tangerang itu.
Bahkan ada yang menginap di masjid dan pesantren. Mereka kebanyakan para
pengasuh majelis taklim di sekitar Jabotabek.
Menurut beberapa santri terdekatnya, Jumat sore itu sekitar
pukul 15.00 WIB almarhum baru pulang dari Sukabumi. Sepanjang perjalanan
pulang, ia mengeluh sakit dada. Setiap kali minum, ia selalu muntah. Begitu
sampai di rumah, ia langsung beristirahat. Dan sekitar pukul 17.00 WIB, ia
dipanggil ke hadirat Allah SWT. Ia meninggalkan lima anak, buah perkawinannya
dengan Syarifah Faurani: Habib Jindan, Habib Ahmad, Syarifah Amirrah, Syarifah
Fatimah, dan Syarifah Balqis.
Pada saat-saat terakhir, Habib Novel rajin membangunkan
santri-santrinya untuk salat Subuh. Ia juga sering menghadiri beberapa acara
Maulid belakangan ini. Ia memang sangat dekat dengan para santrinya, yang
semuanya tinggal di satu kompleks Al-Fakhriyah, Jln. Prof. Hamka, Larangan
Selatan, Ciledug, Tangerang. Para santri yang berprestasi dikirim ke Pesantren
Ribath asuhan Habib Salim Asy-Syathiry atau ke Pondok Pesantren Darul Mustafa
pimpinan Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut, Yaman.
“Abah ingin dimakamkan di tengah kompleks Pesantren Al-Fakhriyah,
supaya dekat dengan para santri,” kata salah seorang santrinya. Hari itu,
Sabtu, bendera kuning setengah tiang terpancang di sepanjang jalan Larangan
Selatan menuju Jalan Prof. H. Hamka. Dan sejak Jumat malam jalan menuju
kompleks pesantren sudah ditutup, sementara ratusan mobil parkir memenuhi
kiri-kanan jalan.
Satu per satu para mu’ajizin, pelayat, diterima oleh dua
kakak-beradik, Habib Jindan bin Novel dan Habib Ahmad bin Novel, putra
almarhum. Mereka memang dipersiapkan sebagai kader untuk menggantikan
ayahandanya. Menjelang siang, ribuan mu’ajizin sudah memenuhi Masjid
Al-Fakhriyah, yang berkapasitas sekitar 1.000 orang. Bahkan sejumlah mu’ajizin
lainnya rela menggelar tikar atau terpal di beberapa ruas jalan di sekitar
masjid.
Pidatonya Berapi-api
Sekitar pukul 11.00 WIB, pembacaan surah Yasin dimulai,
dilanjutkan dengan tahlil. Tak lama kemudian Habib Ja’far Alatas tampil
menyampaikan kata sambutan, mengungkapkan perjuangan almarhum. Ia membuka
tausiahnya dengan sebuah hadis Nabi, yang menyatakan, seseorang yang ingin
bertemu Allah, dan suka bertemu Allah, Allah SWT suka pula bertemu dengannya.
“Mudah-mudahan Habib Novel dicintai oleh Allah SWT, dan saya yakin perjuangan
serta dakwah beliau merupakan jalan untuk menembus pintu rahmat dan kasih
sayang Allah SWT dan Rasulullah SAW,” katanya.
Sambutan kedua disampaikan oleh Habib Hamid bin Abdullah
Alkaff, dilanjutkan oleh Habib Ali bin Abdurahman Assegaf, sementara Habib
Ahmad bin Novel mewakili pihak keluarga. Tepat pukul 12.00 WIB, para mu’ajizin
menunaikan salat Zuhur berjemaah dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf,
dilanjutkan dengan salat Jenazah berjemaah dengan imam Habib Abdul Qadir bin
Muhammad Alhadad.
Begitu salat jenazah berakhir, serentak ribuan mu’ajizin
berebut mengusung keranda dan membawanya ke tempat persemayaman di sebelah
barat masjid. Ketika itulah berkumandang tahlil disertai pembacaan surah Yasin
dipimpin oleh Habib Hud bin Muhammad Albagir Al Attas, dilanjutkan sambutan
oleh Habib Jindan bin Novel atas nama keluarga, dan doa oleh Habib Munzir
Almusawa.
Almarhum, yang lahir di Jakarta pada 18 April 1942, adalah
putra Habib Salim bin Jindan, ulama besar yang masyhur. Sejak kecil dididik
langsung oleh ayahandanya, baru pada 1960-1968 melanjutkan pelajaran ke Mekah
kepada Syekh Alwi Al-Maliky dan Sayid Amin Al-Kurtubi. Pulang kembali ke tanah
air, ia langsung berdakwah. Almarhum dikenal sebagai mubalig dengan gaya pidato
yang berapi-api.
Suaranya nyaring dan lantang, tak takut menyuarakan
kebenaran. Tak mengherankan, banyak orang menyebutnya sebagai singa podium yang
mampu menyihir pendengarnya. Apalagi ditunjang dengan tubuhnya yang gagah dan
wajah tampan serta penampilan yang perlente.
Materi ceramahnya selalu dikemas dengan tema-tema aktual,
berdasarkan kajian kitab-kitab klasik, sehingga membuat jemaahnya betah
mengikuti pengajian selama berjam-jam. Pertama kali ia tampil sebagai mubalig
pada 1980-an di Graha Purnayudha (kini Balai Sarbini) di kawasan Semanggi,
Jakarta, dengan jemaah ribuan orang.
Jemaahnya terus berkembang, tidak terbatas dari kawasan
Jabotabek dan seluruh Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Banyak ulama
besar sering bersilaturahmi. Misalnya, Habib Umar bin Hafidz, Habib Salim
Asy-Syathiry, Habib Zain bin Smith, Habib Ali bin Anis Alkaff.
Sementara itu, jumlah santri yang mondok di Pesantren
Al-Fakhriyah, yang sebelumnya hanya sekitar 50 santri, belakangan meningkat
jadi sekitar 100 lebih. Mereka datang dari segala penjuru tanah air. Kini singa
podium itu telah tiada. Innalillahi wa ina ilaihi raji’un.
Diposkan oleh Majlis Arrahman
http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib?updated-max=2009-06-13T21:53:00-07:00&max-results=20&start=98&by-date=false
Tidak ada komentar:
Posting Komentar