Beberapa ratus tahun belakangan hingga sekarang tampaknya tak ada ulama dari kalangan habaib di Jakarta yang ketokohan, keulamaan, pengaruh, dan karya-karyanya melebihi Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya (wafat 1912) yang biasa disebut Mufti Betawi. Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (20021 menyebutnya sebagai ulama paling terkemuka abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Nusantara. Sedangkan di kalangan ulama pribumi, salah seorang tokoh besar yang pernah hadir di Betawi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah KH. Ahmad Marzuqi bin Mirshod yang akrab disebut Guru Marzuqi. Habib Umar Banahsan dari segi keturunan adalah cucu Habib Utsman bin Yahya, sedangkan dari segi keilmuan ia salah seorang murid terdekat dari Guru Marzuqi. Lebih dari itu, ayahandanya juga memiliki kaitan yang istimewa pula dengan Guru Marzuqi.
Siapa sesungguhnya Habib Umar Banahsan ini? Apa pula hubungan ayahnya dengan Guru Marzuqi? Bagi masyarakat daerah Sawah Barat, Pondok Bambu, Mender, dan Duren Sawit pada umumnya, Habib Umar Banahsan bukanlah nama yang asing. Mereka sangat mengenalnya karena beliau sangat berjasa bagi mereka.
Tokoh ini dilahirkan di Jatinegara – dulu disebut Mester, dari kata Mesteer atau lengkapnya Mesteer Cornelis – Jakarta Timur, sekitar tahun 1915 atau 1916.. Ayahnya, Habib Utsman Banahsan adalah putra Habib Muhammad bin Ahmad bin Hamid bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar bin Ali bin Umar bin Syaikh Hasan (datuk keluarga Banahsan) bin al-Imam asy-Syaikh Ali bin al-Imam Abu Bakar as-Sakran bin al-Faqih al-Muqaddam ats-Tsani al-Quthb al-Imam Abdur Rahman as-Saggaf.
Kabilah (marga) Banahsan bagi sebagian orang memang tidak sepopuler kabilah-kabilah seperti as-Seggaf, al-Attas, al-Habsyi, al-Haddad, al-Aydrus, dan beberapa kabilah habaib yang lainnya. Meskipun demikian, di beberapa daerah di Nusantara, kabilah ini tidak asing, bahkan cukup terkenal. Di Siak, Riau misalnya, beberapa sultan dari Kerajaan Siak Sri Indapura, termasuk sultan yang sekarang berasal dari keluarga Banahsan, meskipun tidak mencantumkan nama kabilah Banahsan. Jumlah komunitas keluarga Banahsan di Indonesia pun sesungguhnya tidak terlalu sedikit dan ada di beberapa daerah. AI-Mak’ab ad-Daimi, lembaga di bawah ar-Rabithah al-Alawiyyah yang mengurus pemeliharaan sejarah dan statistik Alawiyyin melaporkan dalam sensusnya yang diadakan tahun 1950-an bahwa keluarga Banahsan paling banyak berada di Banyuwangi, kemudian Gresik, Jakarta, dan beberapa kota yang lain.
Ayah beliau sering disebut Habib Utsman Muda untuk membedakan dengan Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya, Mufti Betawi yang disebut Habib Utsman Tua. Ada juga yang menyebut Habib Utsman Banahsan dengan sebutan Habib Utsman Mester, sedangkan Habib Utsman bin Yahya disebut Habib Utsman Petamburan.
Sedangkan ibundanya adalah Syarifah Khadijah, putri Habib Utsman bin Yahya. Jadi, Habib Utsman Banahsan atau Habib Utsman Muda adalah menantu dari Habib Utsman bin Yahya. Selain itu sebagaimana ditulis oleh Alwi Shahab di harian Republika (8 Mei 2005) dan keterangan dari pihak keluarga, Habib Utsman Banahsan adalah saudara sepupu dari Habib Utsman bin Yahya. Ibu mereka, yakni Fathmah (ibunda Habib Utsman Banahsan) dan Aminah (ibunda Habib Utsman bin Yahya) adalah putri Syaikh Abdur Rahman al-Mishri, seorang ulama yang tinggal di Jakarta yang dari narnanya dapat diketahui berasal dari Mesir, bukan Hadramaut. Aminah dipersunting oleh Habib Abdullah bin Yahya (ayah Habib Utsman bin Yahya) sedangkan Fathmah menikah dengan Habib Muhammad Banahsan (ayah dari Habib Utsman Banahsan).
Sebelum menikah dengan Fathmah, Habib Utsman Banahsan sebelumnya pernah menikah dengan wanita lain dan mendapatkan anak bernama Hasan. Setelah itu beliau menikah lagi-kemungkinan di Sumatera-dan kabarnya juga mendapatkan anak. Tetapi tidak diperoleh keterangan yang lebih rinci tentang perkawinannya tersebut karena anak cucu beliau di Jakarta tidak banyak mengetahuinya. Sedangkan dari perkawinannya yang ketiga dengan Syarifah Khadijah, Habib Utsman Banahsan mendapatkan empat orang anak: Syarifah Hasinah Banahsan, Habib Sidi Ahmad Banahsan, Habib Abdul Qadir Banahsan, dan Habib Umar Banahsan. Syarifah Khadijah sendiri, sebelum menikah dengannya pernah menikah dengan Habib Husain al-Aydrus.
Dalam usia masih teramat muda, kemungkinan belum mencapai setahun;, Habib Umar Banahsan telah ditinggal wafat oleh ayahnya pada tahun 1916, sehingga tak sempat mengenalnya. Maka ia pun hidup sebagai seorang yatim di bawah asuhan sang bunda. Meski yatim, ia tak ketinggalan dalam pendidikannya. Sejak kecil, ia telah serius menuntut ilmu-ilmu agama. Pertama-tama, ia mengaji di daerah Jatinegara kepada seorang guru bernama Muallim Abdullah. Setelah itu belajar kepada guru utamanya, KH. Ahmad Marzuqi bin Mirshod (kelahiran Jakarta tahun 1876, wafat pada hari Jumat tanggal 24 Rajab 1353 H/2 November 1934 M). Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan, Guru Marzuqi adalah salah seorang ulama terkemuka Betawi akhir abad 19 sampai awal abad 20. Sebuah makalah yang ditulis oleh Abdul Aziz dan diterbitkan oleh Divisi Penelitian LP3ES (1998) menyebutkan bahwa pada periode itu di Betawi setidaknya ada 6 (enam) ulama terkemuka yang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan hingga menjangkau hampir seluruh wilayah di Batavia dan mempunyai murid-murid yang kemudian menjadi para ulama terkemuka. Salah satu di antara mereka adalah KH. Ahmad Marzuqi.
Habib Umar sangat dekat dengan gurunya ini. Kedekatan itu bukan hanya karena beliau belajar kepadanya. Yang lebih penting, gurunya ini adalah murid dari ayah beliau, Habib Utsman Banahsan. Bahkan, Habib Utsman Banahsan pula yang memberangkatkan Guru Marzuqi belajar ke Mekkah. Karena rasa sayangnya terhadap muridnya, Habib Utsman Banahsan kemudian menikahi ibu dari Guru Marzuqi. Kelak, Guru Marzuqi menyebut dirinya sebagai “abang” dari Habib Umar Banahsan.
Ketika pertama kali Habib Umar Banahsan hendak mengaji kepada Guru Marzuqi, sang guru berkata kepadanya sambil menunjuk kepada murid-muridnya, “Wan, mereka mengaji sama Abang dengan membayar (maksudnya memberikan hadiah), tapi Wan mengaji sama Abang, nanti Abang yang bayar.” Maka kemudian setiap selesai mengaji, Guru Marzuqi memberinya uang. Selain itu, Guru Marzuqi pun menyiapkan satu kotak khusus di majlisnya yang digunakan untuk mengumpulkan uang hadiah bagi keluarga Habib Utsman Banahsan. (Wan adalah panggilan orang Betawi kepada keturunan Arab). Demikianlah kecintaan Guru Marzuqi kepada keluarga gurunya. Kecintaan itu juga tergambar dari perhatiannya yang khusus terhadap Habib Umar. Setiap Habib Umar datang mengaji kepada Guru Marzuqi, sang guru menghentikan taklimnya dengan murid-muridnya yang lain dan waktunya khusus diberikan untuk Habib Umar.
Selain belajar kepada Guru Marzuqi, Habib Umar Banahsan juga rajin menghadiri majlis ta’Iim Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang dan mernpunyai hubungan yang erat dengannya. Pernah dalam suatu kesempatan di majlis ta’limnya, Habib Ali al-Habsyi mengatakan kepada para jamaah, “Bagi mereka yang berada di sebelah timur (maksudnya, Jakarta bagian timur) silakan mengaji kepada Habib Umar Banahsan, bagi yang berada di sebelah barat silakan mengaji kepada Habib Zain al-Aydrus, …. dan seterusnya.”
Suatu ketika Habib Umar Banahsan pernah datang berkunjung kepada Habib Ali al-Habsyi sambil membawa hadiah beras seraya berkata, “Ya Habib, ini beras Umar tanam sendiri di sawah Umar.” Habib Ali al-Habsyi terkejut mendengar Habib Umar menanam padi di sawah. Maka beliau berteriak gembira, “Oh”, lalu mengangkat beras tersebut ke atas kepalanya. Setiap kali Habib Umar mengadakan acara peringatan maulid di Masjid al-Abidin, Habib Ali al-Habsvi selalu diundang dan beliau memenuhinya. Bila sudah tiba di jalan menuju masjid, Habib Ali diarak sepanjang jalan sampai ke masjid sambil ditandu, dipukulkan rebana, dan disambut dengan ucapan, “Marhaban Ya Bani Zahra.” Begitulah kedekatan Habib Umar Banahsan dan murid-muridnya dengan Habib Ali al-Habsyi, seorang ulama kecintaan masyarakat Jakarta-demikian Prof. Dr. Hamka menyebutnya–yang lahir di tahun 1879 dan wafat di Jakarta pada malam Senin tanggal 21 Rajab 1388 H bertepatan dengan 14 Oktober 1968 sekitar pukul 2 0.45Awal pengabdian Habib Umar bermula pada usia sekitar 16 tahun- ketika menjadi khatib sekaligus imam dan guru di Masjid A1-Anwar yang terletak di Rawabening, depan Stasiun Jatinegara. Kiprahnya di masjid ini terus berlanjut dan semakin meningkat sampai kemudian jadwal khatib-khatib yang lain pun beliau yang mengaturnya. Di masa lalu, pengaturan dan penentuan orang yang menjadi khatib Jumat di sebuah masjid bukanlah perkara yang sederhana karena tidak sembarang orang bisa menjadi khatib atau imam. Sehingga, orang yang mengaturnya mempunyai kedudukan tersendiri.
Orang-orang dari daerah Pondok Bambu telah mulai belajar kepada Habib Umar sejak beliau masih tinggal di Jatinegara, di antaranya Ustadz Abdullah, H. Ali Muara, H. Abdul Hamid, dan sebagainya. Menurut Ustadz Abdullah, sebagaimana dituturkan oleh Habib Ahyad Banahsan, cucu Habib Umar, murid-murid beliau dari Pondok Bambu dalam perjalanan mengaji ke Jatinegara, mereka berjalan menghafalkan satu fasal dari kitab Ajurumiyah-kitab standar tingkat dasar dalam ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab)-dan sesampainya di Jatinegara mereka telah dapat menghafalnya.
Dalam perkembangan kemudian, murid-murid di Pondok Bambu meminta Habib Umar mengajar di daerah mereka. Maka beliau pun kemudian mengajar di Mushalla al-Huda di Jaian Pahlawan Revolusi, dekat dengan kantor cabang BCA Pondok Bambu sekarang. Ternyata pengajian di Pondok Bambu ini juga diikuti oleh jamaah dari Sawah Barat, sebuah kampung yang sebenarnya masih termasuk daerah Pondok Bambu, tetapi terpisah lokasinya dan juga berbeda kondisi masyarakatnya. Mereka kemudian mengajak Habib Umar mengajar di Sawah Barat. Tokoh Sawah Barat yang banyak berjasa dalam hal ini adalah Ki Demang yang kemudian memberikan hadiah tanah kepada Habib Umar, sehingga beliau akhirnya pindah dari Jatinegara ke Sawah Barat dengan mengajak ibunya, Syarifah Khadijah. Ibunya ini . wafat di daerah ini pada hari Kamis pukul 9.03 tanggal 11 Rabiul Awal 1394 H bertepatan dengan 4 April 1974 dan dimakamkan di pemakaman keluarga yang terletak di lokasi Masjid Al-Abidin yang lama.
Di Sawah Barat, sebagian besar waktu Habib Umar digunakan untuk mengajar murid-muridnya yang datang dari berbagai tempat di antaranya Pondok Bambu, Duren Sawit, Jatibening, bahkan Cilincing, Ciledug, dan lain-lain. Di tempat ini pula beliau kemudian membangun Masjid Al-Abidin. Di masa beliau, Masjid Al-Abidin dua kali diperluas. Di masa putranya, Habib Abdullah yang kini menggantikannya, masjid yang semula menempati lahan seluas 900 meter 2.300 meter2 di antaranya terkena proyek jalan, sehingga yang tersisa tinggal 600 meter2. Mengingat lahan telah maka menyempit, Habib Abdullah memindahkan masjid ke sebelah utara bertempat di lahan baru seluas ± 3000 meter 2. Lahan Masjid Al-Abidin yang lama adalah wakaf dari Ki Demang, sedangkan lahan yang baru merupakan wakaf Ki Demang (± 1000 m2), wakaf H. Abdul Hamid (± 1000 m2), serta wakaf Habib Abdullah Banahsan dan Habib Fadhil Banahsan (± 1000 m2).
Setelah pindah ke Sawah Barat, Habib Umar menikah dengan Syarifah Fathum binti Muhammad bin Abdullah Banahsan. Mereka dikaruniai empat orang anak: Habib Abdullah Banahsan, Syarifah ‘Amira Banahsan, Habib Fadhil Banahsan, dan seorang lagi yang meninggal setelah dilahirkan tahun 1949 bernama Muhammad. Habib Umar juga pernah menikah dengan seorang syarifah dari keluarga al-Attas di Bogor, namun pernikahan itu sangat singkat dan tidak mendapatkan anak.
Syarifah Fathum Banahsan adalah seorang yatim yang dipelihara oleh Syarifah Khadijah (ibunda Habib Umar) di Sawah Barat. Sebelum menikah, Syarifah Fathum pindah ke rumah Habib Hasan, putra Habib Utsman bin Yahya. Lalu atas prakarsa Habib Hasan ini, ia dinikahkan dengan Habib Umar. Penyelenggaraan pernikahannya ditangani oleh murid-murid Habib Umar di Sawah Barat terutama= keluarga Ki Demang, salah satu tokoh masyarakat Sawah Barat saat itu, di antaranya salah seorang anaknya, H. Nu’man bin Demang, suami Ustadzah Salamah binti Soleh.
Dalam mendidik dan membesarkan putra-putrinya, Habib Umar sangat menekankan keteladanan. Apa yang beliau perintahkan kepada anak-anaknya, beliau jalankan lebih dahulu, misalnya shalat berjamaah. Selain itu pesan untuk benar-benar memelihara shalat dalam keadaan bagaimanapun menjadi pesan yang terus terngiang di telinga putra-putrinya. “Mau ke langit, juga boleh, asal jangan nggak sembahyang,” kata beliau. Maksudnya, kemana saja untuk mencari penghidupan dunia, boleh saja, asal tidak meninggalkan shalat.
Beliau juga selalu mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan dengan beribadah kepada Allah dan melakukan apa yang diwajibkan sesungguhnya merupakan hak Allah, meskipun tidak berarti Allah mendapatkan manfaat atau keuntungan dari apa yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Raqqullahi an yu’bad wa haqqul-’ibadi an yurzaq (hak Allah untuk disembah, dan hak hamba-hamba Allah untuk diberi rezeki) adalah kalimat yang sering dituturkannya. Selama kita beribadah, Insya Allah, rezeki dari Allah tidak sulit untuk diperoleh. Kepada anak cucunya, beliau juga mengingatkan tanggung jawab mereka, “Kita, para habaib, dalam masalah agama adalah pewaris, bukan penganut.” Beliau menegaskan itu untuk menekankan bahwa para habaib mempunyai kewajiban yang besar untuk menjaga agama.
Dalam mengajar murid-muridnya, beliau memberikan perhatian yang sangat besar kepada mereka. Beliau lebih suka mengajar mereka satu persatu. Maka ketika mengaji, setiap murid, satu demi satu, meskipun yang sudah tua, datang menghadap beliau untuk membaca kitab yang telah beliau tentukan untuk masing-masing. Sedangkan ilmu yang sangat ditekankan olehnya dan selalu diajarkannya adalah ilmu tauhid. Karenanya, sampai sekarang masyarakat Sawah Barat dari generasi-generasi yang agak tua yang pernah mengalami didikan langsung Habib Umar masih hafal definisi-definisi tentang hukum aqii, hukum syar’i, hukum ‘adi, dan berbagai istilah yang dibahas dalam ilmu tauhid. “Mereka yang tidak bisa menulis pun, hafal definisi-definisi itu,” begitu kata Habib Abdullah, putra Habib Umar. Pemahaman tentang hukum aqli sangat ditekankan olehnya, sebab menurutnya, orang-orang yang tidak berbahasa Arab mesti mengenal dan paham hukum aqli untuk bisa mengenal Tuhan dengan sebenarnya.
Penekanan terhadap ilmu tauhid tidak berarti beliau mengabaikan ilmu-ilmu yang lain. Beliau tetap mengajarkan yang lain sesuai kebutuhan murid-muridnya, termasuk anak-anaknya sendiri. Habib Abdullah menceritakan bahwa ia khatam mengaji kitab fiqih Kasyifatus-Saja pada ayahandanya, di samping kitab-kitab lainnya. Bahkan, meski tidak sampai tamat, ia sempat membaca padanya kitab Mughnil-Labib, salah satu rujukan sangat penting dalam ilmu nahwu.
Bahasa Arab dengan segala seluk beluknya terutama nahwu (sintaksis), shorof (morfologi), dan lughah (bahasa)nya sendiri terutama mufradat (vocabulary, perbendaharaan kata) memang ditekankan pula olehnya. Alasan beliau, tanpa menguasai ilmu-ilmu itu, seseorang tidak dapat membaca Al-Qur’an dengan benar.
Apa yang ditekankannya memang sangat beralasan. Seandainya pun seseorang yang tidak mengetahui bahasa Arab dapat membaca Al-Qur’an dengan pas sebagaimana semestinya, mungkin itu karena hafal, karena mengikuti bacaan orang lain, atau karena kebetulan tidak pernah salah dalam mengikuti harakat-harakat yang ada, bukan karena memahaminya. Maka seandainya ada tulisan AI-Qur’an yang ditulis orang dengan keliru atau ada orang yang salah dalam membaca AI-Qur’an maka orang yang tidak mengerti bahasa Arab tak dapat mengetahuinya.
Beberapa kelebihan dan keunikan beliau sering dikisahkan , oleh murid-muridnya. Di antaranya, bila dalam pengajian di majlisnya ada kesulitan – kesulitan mengenai suatu persoalan, maka sebelum muthala’ah (melakukan pengkajian terhadap suatu kitab), Habib Umar suka berkomentar demikian, “Mungkin masalah ini jawabannya begini.” Ternyata setelah masing-masing melakukan muthala’ah, keterangan di dalam kitab sama seperti yang dikemukakan olehnya.
Salah seorang muridnya, Ustadz H. Abdul Rozak, sebagaimana dikatakan oleh Habib Ahyad, menceritakan bahwa jika Habib Umar sedang mengajar, suasana sangat khusyu’ dan hening. “Cecak pun tak berbunyi,” katanya mengisahkan. Selain itu, ilmu-ilmu yang disampaikan langsung dari lisan Habib Umar walaupun hanya satu kali penyampaian, dapat dihafal dan diingat oleh murid-muridnya meskipun telah berpuluh-puluh tahun, sedangkan ilmu-ilmu yang sengaja dihafalkan sendiri sudah banyak yang terlupa dan hilang. Menurut penyaksian banyak orang, seringkali ketika Habib Umar sedang mengajar, hujan mulai turun, lalu Habib Umar mengajak jamaah membaca surah al-Fatihah dan ternyata dengan izin Allah hujan berhenti.
Habib Umar Banahsan sangat mencintai kakeknya, Habib Utsman bin Yahya. Dalam majlis-majlis taklimnya beliau banyak mengajarkan kitab-kitab karangan kakeknya ini. Kecintaan itu pula yang membuatnya mengambil inisiatif untuk memindahkan makam Habib Utsman bin Yahya ke Sawah Barat. Ketika makam Habib Utsman bin Yahya dipindahkan dari Tanah Abang ke TPU Jeruk Purut oleh Pemda DKI, Habib Umar Banahsan bersama Habib Utsman bin Alwi bin Utsrnan bin Yahya (cucu Habib Utsman Mufti yang dimakamkan di al-Hawi, Condet) dan putra beliau, Habib Fadhil Banahsan serta beberapa murid senior datang ke TPU Jeruk Purut. Habib Umar Banahsan dan rombongan menggali kubur kakek tercinta, Habib Utsman bin Yahya dan membawa atsar atau bekas-bekas yang tertinggal dari jasad Habib Utsman bin Yahya serta nisan kubur yang ditanam oleh Pemda di tempat tersebut. Sesampainya di rumah beliau di Sawah Barat, Pondok Bambu, Habib ‘Umar menanamnya di masjid beliau, Masjid Al-Abidin ketika masjid ini masih berada di lokasi yang lama. Saat ini, karena proyek Jalan Casablanca-oleh masyarakat setempat disebut Jalan Baru– Masjid Al-Abidin sudah dipindahkan ke lahan baru di seberangnya sedangkan kubur Habib Utsman bin Yahya yang berada di tengah pekuburan keluarga Habib Umar Banahsan tetap berada di tempatnya karena tidak seluruh area masjid terkena proyek pernbangunan jalan tersebut.
Semasa hidupnya, Habib Umar Banahsan mempunyai hubungan yang dekat dengan para ulama seangkatannya terutama dengan sesama murid Guru Marzuqi. Di antara mereka adalah Alm. KH. Ahmad Mursyidi (1915-2003), pendiri dan pemimpin Perguruan al-Falah, Mender, KH. Hasbiyallah (1914-1982), pemimpin Perguruan al-Wathoniyah, Mender. Mereka berdua dan beberapa ulama lainnya sering mengunjungi Habib Umar. “Kalau KH. Hasbiyallah datang berkunjung, saya biasanya diberi uang seringgit,” kata Habib Abdullah mengenang pengalaman masa kecilnya. Uang sekian cukup besar untuk ukuran saat itu, sekitar awal tahun 1950-an.
Setelah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk agama dengan mendidik dan membimbing masyarakat Pondok Bambu, Sawah Barat, dan sekitarnya,. pada 1 Januari 1982 Habib Umar Banahsan berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Masjid Al-Abidin yang lama. Harapan beliau agar anak cucunya dapat meneruskan perjuangannya tidak sia-sia karena setelah beliau tiada maka putra-putranya, Habib Abdullah dan Habib Fadhil melanjutkan peran sang ayah dalam mendidik dan membimbing masyarakat Pondok Bambu, Sawah Barat, bahkan Duren Sawit dan sekitarnya, terutama dalam masalah-masalah agama.
Pengajian di Masjid AI-Abidin sejak dulu menjadi harapan masyarakat di daerah ini. Meskipun pengajian, jangan Anda bayangkan kegiatannya seperti rnajlis-majlis taklim umum yang banyak diadakan di masjid atau mushalla di daerah-daerah lain. Pengajian di sini tak ubahnya seperti di madrasah bahkan seperti di pesantren, hanya saja para santri tidak menginap. Kegiatan majlis taklim yang sifatnya umum dan mingguan memang ada, tetapi kegiatan utama di masjid ini adalah pengajian kitab-kitab yang diadakan setiap malam, kecuali malam Jumat, sejak sesudah maghrib sampai sekitar jam 22.00 yang diikuti oleh ratusan santri laki-laki dan perempuan. Mereka mempelajari berbagai ilmu, mulai dari AI-Qur’an, hadits, tauhid, fiqih, tafsir, nahwu, shorof, balaghah, dan sebagainya. Santri-santri ini terbagi ke dalam beberapa kelas dan kelompok. Masing-masing kelas setiap malam mempelajari ilmu-ilmu tertentu dengan pegangan kitab yang telah ditentukan. Kini, lebih dari 40 guru yang membimbing mereka yang sebagian besarnya adalah alumni dari Al-Abidin sendiri.
Sejak tahun 1990-an peran Habib Abdullah dan Habib Fadhil diperkuat oleh generasi cucu, terutama Ir. Sayyid Ahyad bin Abdullah Banahsan yang peranannya, baik di dalam maupun di luar Masjid al-Abidin sangat menonjol dan diakui banyak pihak. Juga Sayyid Miftah bin Sidi Ali Banahsan yang meskipun telah pindah ke daerah Cibening, Pondok Gede, masih tetap meluangkan waktu untuk mengajar dan memberikan khutbah di Masjid al-Abidin.
http://gofurkhan.blogspot.com/2010_12_01_archive.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar