lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiu’ul Awwal 1298 H atau
22 Juni 1888. Ayahnya, Syarif Ismail, Adalah Dai berdarah Hadramaut yang
menyebarkan Islam di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti
H.Shiddiq. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak: Umar, Qasim, Ibrahim, dan
Abdullah. Garis keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui
Sayyidina Husein. Pandidikan agama langsung diperoleh dari ayahnya sendiri,
baru kemudian ia mengembara ke berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun
1913 hingga 1921. Menyaksikan masyarakat Kampung Arjawinangun, Cirebon, tanah
kelahiranya tenggelam dalam kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa besar lainnya,
Habib Umar merasa terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia
bertemu Syarief Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, yang memberinya restu
untuk niat baiknya tersebut. Selain itu Syarief Hidayatullah juga mengajarkan
hakikat kalimat Syahadat kepadanya. Maka, setiap Malam Jum’at Habib Umar pun
Menggelar pengajian di rumahnya. Tapi upaya itu mendapat perlawanan serius dari
masyarakat. Mereka mencemooh, menghina, dan mencibir pengajian Habib Umar.
Dibawah tekanan masyarakat itu, ia terus berjalan dengan dakwahnya itu. Dan
Karena pengajiannya dianggap meresahkan masyarakat, pada gilirannya pemerintah
kolonial menangkap Habib Umar dan menjebloskannya ke dalam Penjara. Namun, tiga
bulan kemudian ia di bebaskan, berkat perlawanan yang diberikan oleh jama’ahnya
hingga jatuh korban di kalangan antek-antek Belanda. Kepalang basah, tahun
1940, Habib Umar bahkan menyediakan rumahnya sebagai markas perjuangan melawan
pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya itu, ia juga turun tangan dengan
mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda. Bulan Agustus 1940 ia ditangkap
Belanda lagi danpengajiannya ditutup, Enam bulan kemudian, 20 Februari 1941, ia
dibebaskan. Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin membara dalam dada
Habib Umar. Mka ia pun banyak mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh agama di
seputar Cirebon, seperti Kiai Ahmad Sujak (Bobos), Kiai Abdul Halim
(Majalengka), Kiai Syamsuri (Wanantara), Kiai Mustafa (Kanggraksan), Kiai
Kriyan (Munjul). Tidak Hanya pada masa penjajahan Belanda, Pada zaman Jepang
pun nama Habib Umar melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan
Undang-Undang yang di keluarkan Jepang yang melarang pengajaran huruf Arab di
Masyarakat. UU itu dianggap sebagai alat agar umat islam meninggalkan Al-Quran.
Panji-Panji Syahadatain Pada masa kemerdekaan, Tahun 1947, Habib Umar mulai
mengibarkan panji-panji Syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang
dipimpinnya yang semula dikenal sebagai “Pengajian Abah Umar” menjadi
“Pengajian Jamaah Asyahadatain”. Ternyata pengajian ini mendapat simpati luas
sehingga menyebar ke seluruh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1951 lembaga itu
mendapat restu dari presiden Soekarno. Tahun 1951, Habib Umar sempat mendirikan
Pondok Pesantren Asyahadatain di Panguragan. Namun Selain mengajarkan ilmu
agama dan ketrampilan seperti bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu
kanuragan, Habib Umar juga mengharuskan Jamaahnya bertawasul kepada Rasulullah,
Malaikat, Ahlul bayt, Wali, setiap selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul
menyebabkan terkabulnya suatu doa. Lebih Jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan
Tarekat Assyahadatain. Ia Juga sekaligus pemimpin Tarekat Assyahadatain,
menulis buku berjudul Awradh Thariqah Al-Syahadatain, Sebagai pedoman Bagi
Jamaahnya. Syahadat, menurut Habib Umar, Tidak Cukup dilafadzkan di mulut, tapi
maknanya juga harus membias ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat
syahadat itu, seseorang akan diampuni atas dosanya, dan terkikis pula akar-akar
kemusyrikan dalam dirinya. Karyanya yang lain adalah Awrad (1972), menggunakan
Bahasa daerah yang berisi ilmu ahlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum
muslimin. Habib Umar menghadap ke Hadirat Allah pada 13 Rajab 1393 atau 20
Agustus 1973. Semoga Amal Ibadah dan perjuangannya mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar