Berburu Ilmu tak Kenal Waktu
“Belajar ilmu itu kepada siapa saja tidak apa-apa, asalkan
sang guru menguasai bidang yang diajarkan dan orangnya shalih.”
Kini kita sulit menemukan tokoh-tokoh ulama yang keseriusan,
kesungguhan, dan kerajinannya dalam menimba ilmu seperti pendahulu-pendahulu
mereka di masa lalu. Seandainya ada pun, bisa dihitung dengan jari. Habib Umar
bin Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pemimpin Ma`had dan Majelis Ta’lim Al-Kifahi
Ats-Tsaqafi, adalah satu di antara mereka yang sedikit itu.
Ia, yang biasa dipanggil Ustadz Umar oleh murid-muridnya,
lahir pada tanggal 11 Oktober 1949 di daerah Bukit Duri, Tebet, Jakarta
Selatan. Ayahnya tokoh yang sangat dikenal, Habib Abdurrahman bin Ahmad
Assegaf, pendiri madrasah Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah. Sedangkan ibunya seorang
wanita shalihah, Hajjah Barkah.
Semua saudaranya yang laki-laki, Habib Muhammad, Habib Ali,
Habib Alwi, dan Habib Abu Bakar, sejak muda hingga kini juga berkiprah dalam
bidang dakwah dan pendidikan umat.
Sejak kecil Ustadz Umar telah dididik oleh ayahnya dengan
keras. Setiap habis ashar ia menyuruhnya membaca qashidah Al-Burdah seluruhnya
sampai datang waktu maghrib. Sesudah itu membaca ratib dan belajar Al-Quran
hingga waktu isya tiba. Ia juga belajar berbagai kitab kepada ayahnya. Selain
kepada sang ayah, ia pun belajar Al-Quran kepada ibunya.
Bahasa Inggris
Dasar-dasar ilmu agama pertama-tama diperolehnya di madrasah
sang ayah. Selain di madrasah, ia juga bersekolah di SD Bukit Duri Puteran Pagi
II, yang diselesaikannya tahun 1964.
Selesai SD, ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan sekolah meskipun memiliki keinginan belajar yang sangat kuat. Namun
hal itu tidak mematahkan tekadnya untuk menuntut ilmu, demi masa depannya.
Karenanya, ia terus belajar dan mencari jalan agar bisa mendapatkan tambahan
ilmu.
Maka mulailah ia mengikuti kursus bahasa Inggris di
Diponegoro, di daerah Kramat, Jakarta Pusat, dan kemudian di Masjid Arif Rahman
Hakim, Salemba, Jakarta Pusat. Ia sungguh-sungguh serius ingin menguasai bahasa
Inggris. Karena itu, setelah tidak lagi mengikuti kursus, ia mendatangkan guru
privat ke rumah.
Guru privatnya yang pertama adalah seorang pengajar senior
yang sudah agak tua, bernama Umar Ba`syin, seorang Hadhrami yang ahli bahasa
Inggris. Tak kurang dari delapan tahun Ustadz Umar menimba ilmu kepadanya.
Setelah tidak lagi belajar kepada Umar Ba`syin, ia
mendatangkan seorang guru berkebangsaan Irlandia yang tinggal di daerah Menteng
Atas. Tetapi Ustadz Umar hanya dapat belajar sekitar setahun kepadanya.
Ia juga mengikuti privat bahasa Belanda kepada seorang Jawa
Katholik yang kemudian masuk Islam, Mr. Poniman. Sedangkan gurunya ini belajar
tentang aqidah, shalat, dan lain-lain kepadanya. Agak lama Ustadz Umar menimba
ilmu darinya. Meski tidak sampai menguasai, cukup banyak peribahasa bahasa
Belanda yang dihafalnya. Ketika anak-anaknya masih kecil, kepada mereka ia
ajarkan peribahasa-peribahasa itu, sehingga mereka hafal. Sekarang, ia ajarkan
kepada cucu-cucunya. “Buat gagah-gagahan saja,” katanya bergurau.
Berbagai cara dilakukan Ustadz Umar untuk mendapatkan biaya
kursus. Salah satunya berjualan koran, yang dijalaninya kurang lebih dua tahun.
Ia pun mendapatkan tambahan penghasilan dengan berjualan di pengajian mingguan
kaum ibu. Bermacam barang dagangan ia sediakan. Ketekunan belajar bahasa juga
membantunya mendapatkan tambahan biaya. Dengan kemampuannya, ia dapat
mengajarkan bahasa Inggris kepada orang-orang lain.
Ilmu Agama
Sejak lulus SD, telah tumbuh keinginan yang kuat dalam diri
Ustadz Umar untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Setiap Jum’at pagi dan Ahad pagi,
ia pergi menuntut ilmu kepada Habib Muhammad Al-Haddad di Al-Hawi, Cililitan,
Jakarta Timur. Ia belajar bersama santri-santri Habib Muhammad.
K.H. R. Abdullah bin Nuh, ulama terkemuka dan ahli bahasa
Arab, juga salah seorang gurunya. Ia pula yang kemudian mengganti nama majelis
Ustadz Umar menjadi Al-Kifahi Ats-Tsaqafi (Perjuangan Kultural) setelah
sebelumnya Ustadz Umar menamainya Najahuth-Thalibin. Pertama kali Ustadz Umar
belajar kepadanya adalah di kediamannya di Gang Lontar, Percetakan Negara,
Jakarta Pusat.
Kira-kira setahun mengaji di sini, sang guru pindah ke
daerah Sumur Batu, Cempaka Putih, masih di Jakarta Pusat. Maka ia pun pindah
mengaji ke sana. Nurul-Yaqin, Al-Hushunul Hamidiyah, dan Qawaid Al-Lughah
Al-`Arabiyyah adalah kitab-kitab yang ia baca kepadanya.
Untuk mendapatkan keberkahan dalam belajar, sejak muda
Ustadz Umar selalu menjaga adab terhadap guru-gurunya dan berusaha melakukan
apa saja yang dapat membuat mereka ridha kepadanya. Di rumah K.H. Abdullah bin
Nuh yang sangat sederhana, misalnya, ia tak segan-segan memompa air untuk
mengisi kolam meskipun tidak disuruh. Sungguh suatu teladan yang baik dan patut
ditiru oleh mereka yang ingin meraih keberkahan dan keridhaan guru.
Baru setahun mengaji di Sumur Batu, K.H. Abdullah bin Nuh
pindah ke Kota Paris, Bogor. Bagi orang yang semangatnya biasa-biasa saja,
mungkin mengajinya akan langsung berhenti dengan pindahnya sang guru ke tempat
yang cukup jauh. Tetapi semangatnya yang luar biasa membuatnya ingin tetap
mengaji dan K.H. Abdullah bin Nuh pun tak keberatan. Ia diberi waktu mengaji
malam Ahad dan diminta datang Sabtu sore. Sayangnya, karena kondisi fisik sang
guru yang tak memungkinkan, pengajian ini hanya berlangsung beberapa kali dan
tidak dapat dilanjutkan.
Ustadz Mahmud Bahfen, dosennya di Universitas Muhammadiyah,
juga ia datangi. Kepadanya ia mempelajari tarikh dengan membaca kitab Tarikh
Al-Khulafa’, karya As-Suyuthi.
Sepulangnya belajar dari tempat Ustadz Mahmud Bahfen, ia
langsung mengaji lagi kepada Habib Husain Al-Habsyi di Kampung Melayu, Jakarta
Timur. Kepada wartawan senior ini, ia mempelajari kitab An-Nashaih Ad-Diniyyah
dan surat kabar-surat kabar berbahasa Arab. Namun karena kondisi Habib Husain
yang sudah sakit, masa belajarnya kepadanya tidaklah lama.
Pada awal 1970-an Ustadz Umar mengikuti kuliah di Fakultas
Tarbiyah Universitas Muhammadiyah, Jakarta. Kemampuannya yang bagus dalam
bahasa Inggris sangat membantunya dalam mengikuti kuliah dan membuatnya
disenangi para dosen dan teman-temannya. Apalagi ia juga menguasai bahasa Arab
dan ilmu-ilmu agama dengan baik.
Berkat kesungguhannya, pada tahun 1976 ia dapat
menyelesaikan kuliah hingga sarjana muda. Hal itu melengkapi kebahagiaannya,
karena tahun sebelumnya, tepatnya pada 12 Februari 1975, ia telah diangkat
sebagai pegawai negeri dan ditempatkan sebagai guru.
Jum’at 3 Desember 1976, Ustadz Umar resmi menjadi suami
gadis idaman hatinya yang sekaligus muridnya di madrasah Ats-Tsaqafah, Muslihah
namanya, yang kemudian dikenal sebagai Ustadzah Hj. Muslihah dengan panggilan
akrab Ummi Mus. Sejak awal pernikahan, sang istri telah sangat berperan dalam
melancarkan dan memberikan dorongan kepadanya untuk menimba ilmu dari satu guru
ke guru yang lain.
K.H. Ahmad Djunaidi
Setelah ia menikah, guru pertamanya yang kemudian menjadi
guru utamanya adalah K.H. Ahmad Djunaidi. Awal kisah mengajinya tergolong unik.
Hingga satu hari sebelum mulai mengaji, ternyata ia belum pernah melihatnya. Ia
hanya pernah diceritai oleh seorang muridnya bernama Alimin bahwa ada seorang
ulama asal Pedurenan, Jakarta Selatan, yang sangat alim, K.H. Ahmad Djunaidi.
Mendengar cerita Alimin, Ustadz Umar menjadi penasaran dan
tertarik. Maka di hari itu, Ahad malam Senin, 5 Desember 1976, di hari walimah
pernikahannya, ia segera minta ditemani oleh muridnya itu menuju rumah K.H.
Ahmad Djunaidi. Pergilah mereka menuju kediamannya.
Sesampainya ia di sana, ternyata sang guru sedang mengajar
di mushalla.
Setelah mendengarkan pengajiannya hingga selesai, ia segera
menemuinya, memperkenalkan diri, dan menyatakan keinginannya untuk belajar.
K.H. Ahmad Junaidi langsung menerima dan mempersilakannya
datang keesokan harinya.
Pagi harinya, Senin 6 Desember 1976, menjadi hari pertama
Ustadz Umar belajar kepadanya yang terus ditekuninya setiap hari.
Demikianlah, bulan madu dan berguru bertemu dalam satu
waktu. Hingga sang guru berpulang ke rahmatullah pada 23 Februari 1997, Ustadz
Umar terus datang mengaji secara pribadi setiap hari mulai jam 6.00 sampai jam
8.00. Bahkan di saat sang guru sakit pun ia tetap datang, terkadang mengaji di
kamarnya. Bayangkan, dua puluh tahun mengaji tanpa henti! Di zaman sekarang,
ini suatu hal yang langka dan kelebihan yang istimewa.
Di antara kitab-kitab yang dibacanya kepada sang guru adalah
Fathul Qarib, Tijan Ad-Darari, An-Nashaih Ad-Diniyyah, Ad-Da`watut-Tammah,
Fathul Mu`in (sampai rub`ul mu`amalat, bagian muamalah), At-Tawsyih, Al-Mukhtar
Asy-Syafi, Mizan Adz-Dzahab, Idhah al-Mubham, Syarah Ar-Rahbiyah, Mabadi
Awwaliyah, As-Sullam, Al-Bayan, Al-Waraqat.
Ustadz Umar merasa puas mengaji kepadanya. Ia benar-benar
mendapatkan ilmu yang ia harapkan. Yang juga membuatnya senang mengaji kepada
Kyai Ahmad Djunaidi adalah, kalau ada masalah-masalah yang sulit dan belum
terselesaikan ketika mengaji, sang guru tidak hanya menjawab sekenanya atau
kira-kira, melainkan ditundanya dan beberapa hari kemudian ia tunjukkan
jawabannya pada kitab-kitab yang ditelaahnya.
K.H. Ahmad Djunaidi adalah seorang ulama yang menguasai
al-madzahibul arba`ah (madzhab fiqih yang empat), juga menguasai berbagai
cabang ilmu keislaman. Ia pun mampu mengarang dalam bahasa Arab dengan sangat
baik dan dapat membuat syair-syair yang bermutu. Sulit mencari ulama di Jakarta
yang kualitasnya seperti dia.
Muallim Syafi`i Hadzami
Sepeninggal K.H. Ahmad Djunaidi, rasa hausnya akan ilmu tak
menjadi sirna. Maka untuk memenuhi dahaganya akan ilmu ia memutuskan untuk
mengaji kepada K.H. Muhammad Syafi`i Hadzami, seorang allamah yang juga tak
diragukan penguasaan keilmuannya.
Maka segera ia mendatanginya dan menyatakan keinginannya
untuk mengaji. Pada awalnya Ustadz Umar diberi waktu mengaji setiap Senin pagi.
Pertama yang dibacanya kepada sang guru adalah kitab Fathul Mu`in bab munakahat
(pernikahan), melanjutkan bacaannya kepada K.H. Ahmad Djunaidi.
Di hadapan Muallim Syafi`i Hadzami, Ustadz Umar selalu
menjaga adab sebagaimana yang ditunjukkannya kepada K.H. Ahmad Djunaidi. Tidak
pernah mendesak guru dengan pertanyaan yang sampai membuat guru menjadi tidak
suka. Kalau memang masalah yang ditanyakan tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan dan kelihatannya kalau diteruskan akan membuatnya tidak senang, ia
hentikan. Dalam kesempatan lain ia akan mencoba menanyakannya lagi. Tetapi
seandainya tetap tidak bisa terpecahkan, ia akan menghentikannya sampai di situ
dan tidak mengungkitnya lagi.
Setelah berlangsung sekitar tiga bulan, ia meminta tambahan
waktu. Melihat kesungguhan dan akhlaqnya, Muallim tak keberatan memenuhi
permintaannya dan memberikan waktu lagi pada hari Kamis dan kemudian ditambah
lagi pada hari Selasa dan Sabtu. Jadi, seminggu ia mengaji empat kali kepadanya.
Demikianlah, akhirnya selama hampir sepuluh tahun ia terus
mengaji berbagai kitab kepada Muallim Syafi`i Hadzami. Tentu banyak ilmu,
kesan, dan pengalaman yang didapatnya. Hingga hari Sabtu tanggal 6 Mei 2006, ia
tetap mengaji kepada sang guru dan itulah saat terakhir pertemuan dengannya.
Karena keesokan paginya, 7 Mei 2006, K.H. M. Syafi`i Hadzami berpulang ke
rahmatullah dalam perjalanan pulang dari mengajar di Masjid Ni`matul Ittihad
Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Kesungguhan dan akhlaqnya terhadap guru membuat Ustadz Umar
dicintai oleh Muallim Syafi`i Hadzami. Di berbagai tempat, ia sering memuji
Ustadz Umar, baik kesungguhannya, ilmunya, maupun akhlaqnya. Bukan hanya
mencintainya, Muallim juga menghormatinya.
Tidak Fanatik
Di samping belajar kepada beberapa habib, Ustadz Umar juga
banyak menuntut ilmu kepada ulama yang bukan habib. Mengenai alasannya mengapa
banyak belajar kepada ulama yang bukan habib, ia mengatakan, “Datuk-datuk kita
(para habib di masa lalu) banyak belajar kepada para masyaikh (.................................).
Jadi bukan hanya belajar kepada para habib. Belajar ilmu itu sama siapa saja,
tidak apa-apa, asalkan sang guru menguasai bidang yang diajarkan dan juga
orangnya shalih.
Itu dalam masalah ilmu. Sedangkan masalah keturunan berbeda.
Karena itu, seseorang yang mencintai habaib tidak boleh pilih-pilih. Ia tidak
boleh hanya cinta kepada habaib yang berilmu. Ia mempunyai kewajiban untuk
mencintai semua habib, baik yang berilmu maupun tidak.”
Sebagian orang mungkin ada yang hanya mau belajar kepada
habaib, atau ada juga yang hanya belajar kepada habaib dari keluarganya, tidak
mau kepada habaib yang lain. Ada juga yang hanya mau belajar kepada kiai saja.
Ada pula yang fanatik kedaerahan, sehingga maunya hanya belajar dengan orang
yang sedaerah. Ustadz Umar tidak demikian. Ia berprinsip akan belajar kepada
siapa saja dan dimana saja. Ia tidak mau fanatik ini, atau fanatik itu.
Mengajar dengan Penuh Kesungguhan
Selain serius belajar, ia pun bersungguh-sungguh dalam
mengajar. Di madrasah ayahandanya, Ustadz Umar biasanya mengajar nahwu, fiqih,
dan tauhid. Menjelang zhuhur sekembalinya dari mengajar, ia kembali ke rumah.
Sehabis zhuhur ia berangkat mengajar ke Slipi, tepatnya ke
SDI Teladan. Ia mengajar di sini dalam kapasitasnya sebagai guru negeri, yang
diangkat oleh Pemda DKI. Tahun 1975 ia telah diangkat menjadi PNS, yang terus
dijalaninya hingga tahun 1992, saat mengajukan permohonan pensiun dini.
Di tahun-tahun awal pernikahannya, ia pun masih mengajar di
Islamic Center, Kwitang, Jakarta Pusat, yang telah dijalaninya sejak tahun
1974. Yang mengajar di sini adalah para guru senior, di antaranya Syaikh Hadi
Jawas dan Habib Syech Al-Musawa.
Mengembangkan Majelis
Di awal pernikahannya, Ustadz Umar juga mulai membuka
majelis ta’lim hari Ahad di rumahnya. Murid-murid pengajiannya terus bertambah.
Mulai hanya sekitar dua puluh atau tiga puluhan, terus meningkat, hingga
sekarang mencapai ribuan orang. Barangkali pengajian kitabnya adalah pengajian
kitab yang paling banyak jama’ahnya di Jakarta.
Ustadz Umar juga mengasuh santri-santri yang bermukim di
tempatnya. Hanya saja, karena keterbatasan tempat, jumlah santri pun sengaja
dibatasi, hanya 40 santri. Meski demikian, sejak awal, proses belajar-mengajar
di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi ini dapat berjalan dengan stabil. Para
santri merasa senang dengan apa yang mereka terima. Bukan hanya ilmu, tetapi
juga perhatian dan kedekatan Ustadz Umar sekeluarga, terutama (almarhumah) Ummi
Mus, yang membuat mereka merasa betah. Tercatat di antara yang pernah bermukim
di sini adalah Habib Munzir Almusawa.
Keberhasilan Ustadz Umar mengelola majelis ta’lim dan
pesantrennya memang tak terlepas dari sentuhan Ummi Mus. Ia benar-benar turun
tangan mengurusi segalanya. Masalah makan santri, misalnya, diperhatikannya
benar. Perhatian Ummi Mus kepada para santri bukan hanya dalam masalah makanan
atau yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Masalah-masalah pribadi pun tak
luput dari perhatiannya. Beberapa santri yang kebetulan menikah di saat-saat
mereka belajar atau setelah mengabdi di sini merasakan benar hal itu.
Tahun 2004 Ustadz Umar harus menghadapi ujian yang cukup
berat. Pada suatu hari di bulan Oktober menjelang puasa, ia mendengar kabar
yang sangat mengejutkan: Ummi Mus menderita kanker melanoma, kanker yang sangat
ganas, sehingga harus mendapatkan penangan segera. Maka sejak itu Ustadz Umar
terus mendampingi Ummi Mus berobat ke sana-kemari, baik medis maupun
alternatif.
Meskipun tak dapat menyembunyikan kesedihannya yang hingga
kini masih tersisa, Ustadz Umar merasa bersyukur. Karena, sejak istrinya sakit
tahun 2004 hingga saat-saat terakhir kehidupan istrinya, ia dapat terus
mendampinginya serta menunjukkan kesetiaan dan cintanya.
Sejak Ummi Mus menderita sakit, Ustadz Umar sangat bersedih.
Dari waktu ke waktu ketika penyakitnya bertambah parah, kesedihan itu semakin
bertambah. Bahkan, sejak sekitar dua setengah bulan atau tiga bulan menjelang
sang istri meninggal dunia, ia sering menangis ketika mengajar. Juga sering
tertidur dalam majelis karena kurang tidur, sebab selalu mendampingi sang
istri.
Ustadz Umar pernah berujar, “Inilah saatnya untuk
benar-benar menyenangkannya serta menunjukkan kesetiaan dan cinta saya setelah
sekian lama ia mengabdi kepada saya. Sekarang ia terbaring sakit, saya mesti
menyenangkannya.”
Pada Jum’at malam Sabtu tanggal 26 September 2008, Ummi Mus
memenuhi panggilan Allah Ta`ala, meninggalkan kenangan yang sangat indah di
hati Ustadz Umar dan anak-anaknya yang tak mungkin terlupakan.
AY
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar