Habib Tholib bin Muhsin Alatas dikenal sebagai tokoh dengan
keramat yang tersembunyi dan baru diketahui setelah wafatnya. Banyak cerita
karomah tentang dirinya, tetapi anak-anaknya yang kini meneruskan dakwahnya
tidak mau banyak bercerita. “Biar masyarakat saja yang menilai”, begitulah
Habib Ahmad bin Tholib, anak sulung Habib Tholib bertutur.
Menurut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, "Keramat
Habib Tholib yang kasat mata adalah yang ada pada acara haulnya. Mengapa ribuan
orang datang kemari untuk mendoakannya?"
Habib Luthfi mengatakan, tidak gampang mengadakan acara
haul yang dihadiri ribuan orang dari berbagai kota di Jawa. Ribuan orang dari
Jawa Barat, khususnya Bandung, serta dari Semarang hingga Brebes, datang
untuk berdoa dalam acara haul. Mereka datang sendiri dengan biaya tidak
sedikit, dan mengalami berbagai rintangan maupun halangan, seperti hawa gunung
yang dingin, serta tanah yang menanjak, sehingga membuat payah badan.
“Dahulu kita mengundang 50 orang untuk tahlilan (sewaktu
beliau wafat-red), yang datang hanya 40 orang saja. Lalu mengapa orang yang
sudah meninggal ini dapat memanggil ribuan jama'ah ini dari mana-mana, bahkan
menyediakan peluang rizqi bagi para pedagang kecil yang berjualan di sekitar
tempat ini?" kata Habib Luthfi menjelaskan kepada orang-orang yang tidak
percaya kepada keramat Habib Tholib.
Lalu siapakan Habib Tholib Alatas ini?
Menurut manaqib Habib Tholib Alatas yang disebutkan oleh
anak-anaknya, ia lahir di Tegal pada tahun 1929. Tanggal dan bulannya tidak
terlacak, karena tidak ada catatan yang terang tentang tanggal kelahirannya.
Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya, Habib Muhsin Alatas, dalam bidang
keagamaan. Selanjutnya ia belajar agama kepada beberapa kiai, seperti Kiai
Akyas Cirebon dan Kiai Said Giren. Kemudian di rumah ia melanjutkan belajar
kepada ayahnya, khususnya beberapa amalan habaib.
Sejak muda, Habib Tholib suka berdakwah, karena itulah ia
pindah ke desa terpencil untuk berdakwah kepada orang-orang yang belum mengenal
dakwah, secara terus-menerus. Pada tahun 1967, ia pindah ke Bumijawa, masih di
daerah Tegal, tetapi arah selatan, yang terletak di kaki Gunung Slamet.
Selain berdakwah, ia juga bertani, dan pekerjaan tani ini
semakin ditekuni sejak mendapatkan istri, Hajah Ma'anik, gadis di desa
setempat. Dari istrinya ini, ia mendapatkan anak, yang masih hidup hingga
sekarang ada delapan orang. Mereka adalah Ahmad, Sholeh, Muhammad, Abdul
Qadir, Muhsin, Aqil, Ayu Nurul Izzah, Inten Wardah An-Nafisah.
Habib Tholib dikenal sebagai seorang petani yang tekun dan
rajin, sehingga ia bersama kerabatnya berhasil membuat bukit menjadi tanah
persawahan yang ditumbuhi tanaman padi yang subur. Begitu juga menyalurkan
aliran sungai dari gunung hingga ke rumah-rumah warga, sehingga mereka tidak
lagi repot mencari air bersih di pucuk- pucuk gunung.
Bersama masyarakat sekitar, yang pertama ia dirikan adalah
masjid jami', yang kemudian digunakan untuk shalat Jum'at. Kemudian membentuk
Majelis Akhirat, wadah pengajian untuk warga, yang diselenggarakan setiap hari
Sabtu pagi. Yang ramai adalah pada saat hari Sabtu Kliwon.
Di dalam pengajian itu, Habib Tholib mengajarkan berbagai
ilmu, seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu Al-Qur'an, ilmu hadits, dan ilmu
lainnya. Sementara anak- anaknya sendiri, yang kebanyakan lelaki, ia kirimkan
ke Pesantren Darun Najah Brebes, pimpinan K.H. Aminuddin Mashudi, sekarang
menjadi rais Syuriah PCNU Brebes.
Habib Tholib meninggal pada 21 September 2001 pada umur 72
tahun dan dimakamkan di depan rumahnya. Peringatan hari haulnya tidak
dijatuhkan pada saat hari meninggalnya, tetapi dipilih pada 21-22 Rabi'ul
Awwal. Alasan keluarga, karena bertepatan dengan peringatan Maulid, sehingga
sekaligus memperingati haul dan Maulid sekaligus.
Setelah Habib Tholib meninggal, anak-anaknya yang sudah
menginjak dewasa, khususnya si sulung, Habib Ahmad Alatas, mendirikan Pondok
Pesantren Tholibiyah, sebagai kenangan atas dakwah ayah mereka. Pondok
pesantren ini menempati tanah sekitar satu hektare, dan berdiri bangunan,
pondok putra, aula, rumah tamu, rumah pengasuh pondok, kantor, makam, dan
gedung-gedung sekolah.
Sekarang pondok pesantren ini menampung sekitar 400 santri,
yang dididik secara campuran, yaitu siang belajar umum di madrasah maupun
tsanawiyah, sedang pada sore dan malam hari belajar seperti santrai salafi.
"Kami berusaha menampung keinginan masyarakat di sini. Diharapkan, para
santri lulus, selain mendapat ilmu agama, juga mendapat ijazah sekolah
umum," ujar Habib Ahmad Alatas.
Urusan kepondokan ditangani oleh Habib Muhammad, sedang
madrasah diurus oleh Habib Sholeh bersama adik- adiknya. Sementara Habib Ahmad,
yang sulung, lebih banyak berdakwah ke luar daerah. Bahkan ia tinggal di
Bandung dan memiliki jama'ah pengajian sendiri.
Pembagian ini sudah tertata dengan baik, sehingga tidak ada
salah urus atau saling tumpang tindih. Khususnya Habib Tholib, ketika masih
hidup sudah menunjuk Habib Muhammad untuk mengurusi pondok pesantren
sehari-hari, maksudnya mengurus santri dari pemondokan hingga
keperluan-keperluan belajar mereka di madrasah maupun di pesantren.
Dikutip oleh: Tim Sarkub
subhanaaloh
BalasHapus