Dibawah rerimbunan pohon kamboja, makam itu tampak menonjol
dari kejauhan. Agaknya memang sengaja dibangun dalam kapasitas keistimewaan
tersendiri, karena bentuknya seperti makam raja-raja Jawa. Lokasi makam itu
juga diberi benteng tembok sebagai pembatas dari makam-makam lainnya. Itulah
makam Sunan Panggung atau orang Tegal menyebutnya Mbah Panggung.
Makam Mbah Panggung terletak di wilayah Kelurahan Panggung,
Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Siapakah sebenarnya Mbah Panggung atau Sunan
Panggung itu? Dia adalah sama orangnya dengan Sunan Drajat, salah seorang
Walisanga. Putra dari Sunan Ngampel atau Raden Rachmat dari istri yang berasal
dari Campa. Dia, termasuk pangeran terpandai diantara saudaranya. Ia tidak suka
berdiam diri di dalam istana kerajaan dibanding dengan Sunang Bonang,
saudaranya, yang lebih suka mendekam di istana. Sebaliknya Sunan Panggung
justru lebih memilih jalan pengembaraan untuk memperdalam ilmu Agama Islam.
Namun dalam pengembaraannya itu, semakin hari perbuatannya
semakin tak dimengerti banyak orang dan segala hukum agama diterjang. Misalnya,
ekspresi diri yang berwujud nafsu ‘luwamah’ dan ‘amarah’-nya itu, telah ia
keluarkan dari badan wadagnya berwujud anjing hitam dan anjing merah. Kedua
anjing itu senantiasa mengikuti ke mana tuannya melakukan perjalanan. Anjing
yang hitam diberi nama ‘Imam’, sedang anjing yang merah dia berinama ‘Tauhid’.
Kalau misalnya Sunan Panggung pergi ke sebuah mushola atau
masjid, kedua anjing tersebut mengikuti dan duduk di belakang tuannya sambil
mendengarkan tuannya mengaji atau melakukan sholat. Tingkah lakunya yang
neka-neka dan aneh-aneh itu, menyebabkan banyak orang tidak menyukai dan
mencela habis-habisan. Namun perbuatan itu tidak digubrisnya hingga menjadi
sebuah berita yang menggemparkan. Sementara Sunan Bonang yang pernah mengikuti
perjalanan Sunan Panggung ke suatu daerah, melihat ajaran yang menyimpang dari
Agama Islam. Maka ia pun melapor kepada para Walisanga dan Sultan Bintoro
(Demak).
Mendengar laporan itu, para Walisanga mengadakan musyawarah
besar-besaran di Demak untuk membahas tingkah laku Sunan Panggung.
Dalam musyawarah itu, hadir juga Sultan Demak. Sunan
Panggung kemudian dipersalahkan telah berlaku kafir dan kufur. Maka atas usulan
Sunan Bonang, Sultan Panggung harus menjalani hukuman mati dengan cara dibakar
di ‘tumangan’ (api unggun). Hal itu dikarenakan, Sunan Panggung dipersalahkan
telah meninggalkan sarak Nabi atau syariat serta memberikan pelajaran ilmu
sejati dengan menjalankan shalat daim yaitu shalat di dalam batin.
Dipanggilnya Sunan Panggung ke Demak untuk menjalani hukuman
itu. Sunan Panggung menyanggupi dengan syarat ada utusan yang datang untuk
memanggul dua anjing piaraannya yang katanya sedang sakit. Syarat itu dipenuhi,
Sultan Demak mengutus abdi dalem untuk datang ke tempat pengembaraan Sunan
Panggung.
Walau pekerjaan itu sangat hina, namun abdi dalelm Kerajaan
Demak sendiko dawuh. Berangkatlah ia ke hadapan Sunan Panggung, dan tidak
berapa lama mereka menghadap Sultan Demak dan para Walisanga.
Setelah Sunan Panggung tiba di Demak, diberitahukan tentang
hasil kebulatan musyawarah para Walisanga dimana ia harus menjalani hukuman
mati dengan jalan dibakar. Ternyata, Sunan Panggung tidak gentar sedikitpun
karena semua itu adalah kehendak Tuhan.
Detik-detik berikutnya, para abdi dalem mengumpulkan kayu
bakar dan tidak lama api berkobar-kobar. Pelaksanaan hukuman pembakaran Sunan
Panggung yang terjadi tahun 1452 itu disaksiskan oleh para abdi dalem dan
lapirasan masyarakat Bintoro.
Sebelum Sunan Panggung melaksanakan hukuman bakar diri itu,
dia meminta restu pada Sulatan Demak agar disediakan ‘nasi tumpeng’. Permintaan
itu dikabulkan, akan tetapi setelah nasi itu diberikan, dilempar ke
tengah-tengah api yang menyala-nyala. Sertamerta kedua anjing piaraannya
memburu masuk ke dalam kobaran api.
Ajib! Kobaran api yang membara, padam dan kedua anjing itu
ke luar dari tumpukan kayu dengan selamat dan tidak terluka sama sekali. Para
Walisanga dan Sultan Demak menjadi terkesima. Di tengah kemasgulan itu, Sultan
Demak berkata: “Duh ta paman, sampun nyumerepi ing keh lampah élok; nanging
maksih kirang utaminé lamun mboten andika pribadi kang umanjing agni; kirang
antepipun dèné among asusilih kirik lan tarumpah karo” yang artinya ‘Duh Paman,
sudah kami saksikan peristiwa yang masgul; akan tetapi masih belum sempurna
kalau bukan paduka pribadi yang masuk ke dalam kobaran api; kurang meyakinkan
jika hanya diganti oleh anjing dan nasi tumpeng saja’.
Dengan tenang Sunan Panggung berkata: “Duh Jeng Sultan
sampun kuatir, manira pribadi kang umanjing latu” yang artinya: ‘Duh Paduka
Sultan, jangan kuatir, kalau saya sendiri yang bakal masuk ke dalam bara api’.
Permintaan pelaksanaan hukuman mati bagi Sunan Panggung pun
datang dari adiknya yang tahu bagaimana kesaktian dia. Yaitu agar hukuman
tersebut dilaksanakan dengan sempurna, dan hendaklah dia sendiri yang
menjalankannya.
Permintaan adiknya yang menjadi Ratu Bintoro (Demak) itu
dipenuhi juga dengan satu permintaan agar kepadanya diberi kertas dan tinta.
Sebab ia hendak menulis sesuatu pedoman agar nantinya dapat diterima dihadirat
Tuhan.
Selanjutnya, setelah api dinyalakan kembali oleh Patih
Demak, Sunan Panggung mengambil alat tempat duduk dan menaruhnya di
tengah-tengah api. Segeralah dia terjun ke dalam api dengan diikuti oleh kedua
anjingnya.
Setelah api padam, musnahlah Sunan Panggung berikut kedua
anjingnya dengan meninggalkan sebuah suluk (pedoman) yang belakangan dikenal
orang dengan nama ‘Suluk Malang Sumirang’. Maksud dari sulut tersebut adalah
suatu peringatan kepada para orang muda agar jangan buru-buru mengambil
keputusan terhadap seseorang yang nampaknya menyalahi segala hukum (Malang
Sumirang) dan tidak menurut syareat sebagai kafir dan kufur. Sebab, mungkin
orang itu pada hakekatnya lebih berdekatan dengan Tuhan.
Begitulah sepenggal kisah Sunan Panggung atau Mbah Panggung
yang juga bernama Syech Abdulrachman dengan gelar Sunan Geseng, Sunan Drajat
atau Pangeran Panggung (kata Pangeran berasal dari kata ‘pengerehan atau
pemimpin’).
Nama Drajat dari Mbah Panggung adalah nama waktu kecil.
Namun sejauh itu, para ahli sejarah tidak seorangpun yang menetapkan di mana ia
bertempat tinggal yang membekas, atau di mana ia meninggal dunia atau
dimakamkan. Makam Mbah Panggung yang ada di Tegal itu, bisa jadi hanyalah
sebuah petilasan.
Tapi ajaibnya, dari berbilang tahun, makam itu seperti telah
menjadi sebuah mitos. Keberadaannya memiliki daya sedot luar biasa bagi para peziarah. Tidak hanya dari kalangan
masyarakat biasa, melainkan berbagai pejabat dari manapun berdatangan.
Sedemikian kharismatiknya Mbah Panggung, sampai masyarakat di sana pun begitu
alergi terhadap kesenian wayang.
Entah kenapa hal itu terjadi, konon kabarnya Mbah Panggung
kurang suka terhadap kesenian wayang digelar di wilayahnya karena merupakan
daerah kesucian atau keputihan. Masyarakat Panggung kemudian percaya,
pertunjukkan wayang akan mengundang bencana dan dhemit. Itulah sebabnya, dari
berabad lamanya masyarakat Panggung tak pernah berani menanggap wayang. Sampai
sekarang, para dalang pun mempercayai kalau Panggung menjadi daerah pamali.
Diposkan oleh Edy Rusman
http://mutiara-fiqh.blogspot.com/2012/03/wali-allah-mbah-panggung.html#more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar