Komplek situs sejarah yang terletak di sisi utara, sekitar
30 Km dari arah kota, atau kurang lebih 30 menit perjalanan darat tersebut
menyimpan banyak fakta dan cerita sejarah, termasuk peninggalan berupa makam
Islam kuno, yang disertai dengan arsitektur budaya Hindu-Budha yang telah
berkembang sebelumnya.
Sebagai pintu gerbang Pulau Madura, Kabupaten Bangkalan yang
terletak paling barat, kaya akan peninggal sejarah peradaban Islam. Banyak
situs penting yang menjadi tetenger, bahwa Islam masuk secara damai dan
menjunjung tinggi kearifan budaya lokal yang lebih dulu masuk. Salah satunya,
keberadaan Situs Aer Mata Syarifah Ambami, yang terletak di Dusun/Desa Buduran,
Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan.
Dalam konteks harfiah sendiri, Aer Mata memiliki arti yang
tak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, yakni air mata.
Berdasarkan penuturan dari Kepala seksi kesenian,
pengembangan bahasa dan budaya, Dinas Pendidikan Bangkalan, Slamet Mestu, asal
usul komplek pemakaman Aer Mata sendiri berasal dari kisah Pangeran
Cakraningrat I (Raden Praseno), yang memerintah Pulau Madura dalam kurun waktu
sekitar tahun 1624-1648.
Saat menjalani masa pemerintahan tersebut, Cakraningrat I
mempunyai seorang permaisuri yang konon sangat cantik jelita, dengan nama
Syarifah Ambami yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Ratu Ibu.
Saat masa pemerintahan Cakraningrat I sendiri, Madura lebih
banyak dikendalikan dari Mataram. Pasalnya, saat itu, tenaga, pikiran, dan
kepiawaian Cakraningrat I juga dibutuhkan oleh Sultan Agung, selaku pimpinan
Mataram.
"Melihat keadaan yang seperti itu (ditinggal bertugas),
membuat beliau (Syarifah Ambami) sedih. Siang malam menangis, meratapi dirinya
yang terus ditinggal sang suami," ujar Slamet, yang juga merupakan penulis
buku Makam Aer Mata: Makam Kanjeng Ratoe Iboe Syarifah Ambami 1546-1569.
Saat hatinya gelisah dan dirundung kesedihan, menurut
Slamet, akhirnya Syarifah Ambami sendiri memilih untuk menyendiri di tempat
yang sepi (bertapa). Dalam masa pertapaan tersebut, Syarifah memohon kepada
Yang Maha Kuasa, agar kelak tujuh turunannya dapat ditakdirkan menjadi penguasa
pemerintahan Pulau Madura.
Usai bertapa dan berfirasat, jika yang diminta bakal
terkabul, Syarifah pun memilih pulang ke Kabupaten Sampang. Selang beberapa
tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I datang dari Mataram, bergegas pergi
mencari Syarifah yang kemudian mendapat gelar Ratu Ibu.
Saat bertemu dengan Cakraningrat I, perasaan Ratu Ibu
berbunga-bunga, bahkan menceritakan kalau dirinya habis bertapa dan meminta
agar tujuh turunannya menjadi pemimpin Madura. Mendengar cerita tersebut,
Cakraningrat I sendiri bukan malah bangga, sebaliknya dia kecewa karena cuma
berdoa tujuh turunan saja.
Pasca mendengar cerita dari Ratu Ibu, akhirnya Cakraningrat
I memutuskan untuk kembali lagi ke Mataram. "Nah, mungkin merasa bersalah
pada sang suami, Ratu Ibu sedih, memilih kembali untuk bertapa di tempat yang
sama," tegas Slamet.
Saat menjalani masa pertapaan, yang diyakini oleh warga
sekitar bertempat di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Ratu Ibu terlihat
bersedih dan terus menerus menangis. Bahkan, dalam cerita dari warga sekitar,
air mata yang keluar sampai membanjiri tempat pertapaan beliau. Itu terjadi
hingga beliau wafat dan dikebumikan di tempat pertapaannya.
Sampai sekarang tempat pertapaan tersebut, menjadi situs
bersejarah yang oleh warga sekitar dinamakan Makam Aer Mata Ratu Ibu, terletak
di Dusun/Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan.
Diposkan oleh Edy Rusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar