Jumat, 01 November 2013

Sultan Yusuf Alqadrie

Sultan kelima,Syarif Yusuf ibni Sultan Hamid alqadrie

Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).

Putera tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie dari isterinya Syarifah Fatimah, yang bernama Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 1850 dan wafat 15 Maret 1895 dalam usia 45 tahun, diangkat sebagai Sultan Pontianak Kelima menggantikan ayahdanya beberapa bulan setelah ayahdanya meninggal pada tahun 1872.

Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap pula sebagai penyebar agama Islam. Oleh karena itu, sultan ini sangat terkenal dan dihormati oleh raja-raja di kawasan Kalimantan, Nusantara, bahkan sampai di luar negeri, sebagai kepala negara dari kerajaan Islam yang disegani kawan maupun lawan.

Seperti kebiasaan Belanda sebelum-sebelumnya, begitu ayahdanya wafat dan ia naik tahta, 22 Agustus 1872, Belanda mengadakan lagi perjanjian baru dengan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie. Perjanjian itu antara lain mengatur bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada kesultanan. Dengan persetujuan pejabat tinggi pemerintahan Belanda (Bestuur Ambenaar) untuk pertama kalinya kesultanan Pontianak diperkenankan memungut pajak di wilayahnya.

Penyerahan kekuasaan polisi kepada kesultanan didasarkan pada fakta bahwa selama dipegang oleh Belanda, penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Ketika mereka melakukan apa yang disebut sebagai “pelanggaran” hukum, mereka menghilang dan bersembunyi ke hutan atau ke kawasan pedalaman, sehingga hanya fihak kesultanan yang dapat membujuk mereka untuk diadili.

Penyerahan pemungutan pajak kepada kesultanan juga didasarkan pada pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda, karena hasil pajak itu tidak dinikmati sendiri oleh kesultanan tetapi dibagi dua dengan Belanda.

Dimasa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf, banyak pendatang (imigrants) Bugis/Makasar gelombang kedua berdatangan. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pekebun, dan memilih bermukim di kawasan kesultanan, yaitu Kampung Dalam Bugis, Jungkat, Peniti, Wajok (sekarang termasuk kecamatan Siantan), dan Sungai Kakap serta sepanjang Sungai Jawi (sekarang bagian dari Kabupaten Potianak dan kota Pontianak). Pendatang lain berasal dari Banjar, Serasan, Sampit, Pulau Bangka, Belitung, Tambelan, Melaka, dan Kamboja sehingga kawasan pemukiman mereka masing-masing dinamai Kampung Banjar, Sampit, Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan dan Kampung Kamboja. Para pendatang dari Banjar yang sangat terkenal adalah Haji Muhammad Kahfi datang tahun 1846 dan Haji Muhammad Yusuf tahun 1884 yang masing-masing mendirikan Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon (Alqadrie, 1984:80) , karena isterinya adalah seorang wanita Vietnam.

Kedatangan mereka sangat menguntungkan kesultanan baik secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik, karena mereka dan keturunan mereka adalah pendukung setia kesultanan, mengindentifikasikan diri sebagai Melayu Pontianak, maupun secara material dan finansil merupakan sumber ekonomi berupa penghasilan atau pendapatan kesultanan. Mereka, terutama Bugis Makasar, datang ke kawasan kesultanan ini dimotivasi oleh faktor budaya (cultural factor), yaitu siri’ masiri’ (Alqadrie dalam Latif Usman, 2000:146-161), sehingga mereka menjadi petani sangat produktif dan pekebun yang mengusahakan tanam-tanaman tahunan (year-round trees) yang cepat menghasilkan uang (cash crops) sebagai tabungan hari depan.

Paling kurang tiga hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yusuf Alqadrie. Pertama, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Boemi tahun 1870 yang mengizinkan pemilik modal membuka perkebunan dan mengelola hutan.

Sejak saat itu sub sektor perkebunan karet di kawasan kesultanan ini mulai mengalami primadona, dan eksploitasi hutan mulai dilakukan. Modal swasta Belanda mulai berdatangan ke dalam dua sub sektor ini. Alasan utama keluarnya UU tersebut adalah bahwa Belanda memerlukan dana untuk biaya perang Aceh (1873-1907) dan perang Lombok (1894), dan bahwa UU itu merupakan alat kontrol dan penghancur mobilisasi, soliditas dan solidaritas rakyat, terutama sub kelompok etnis Melayu, Dayak, Bugis, Banjar, keturunan Arab, yang dicurigai terpusat di luar kota kesultanan (luar bandar) khususnya di kawasan hutan dan pedesaan, dengan memasukkan penduduk dari Pulau Jawa, Ambon dan Nusa Tenggara Timur. Kedua, Sultan Yusuf semakin kehilangan kekuatan dan kekuasaannya, karena ia tidak memiliki kekuatan maritim, seperti kapal perang dan persenjataan lengkap yang dapat dihandalkan. Padahal secara geopolitik dan geostrategis, pertahanan dan kekuatan Kesultanan Pontianak terletak pada maritimnya yang didukung oleh armada kapal perangnya.

Ketiga, pada 10 Agustus 1886 dibuat pula perjanjian perbatasan Kesultanan Pontianak dan kerajaan Landak ditandatangani oleh Sultan Yusuf Alqadrie dan Pangeran Kusuma Dinata, Wakil Panembahan Landak, dengan disaksikan oleh Residen Belanda. Perjanjian itu mengkhiri pertikaian antara kedua kerajaan itu.

http://alqadrie.com/index.php/2013/01/16/periode-sultan-yusuf-alqadrie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar