Jumat, 01 November 2013

Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

Sultan ke empat,Syarif Hamid.I. Ibni Sultan Usman Alqadrie
Syarif Hamid Alqadrie, lahir 1802, putera tertua Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie, dari isterinya Syarifah Zahara, menggantikan ayahdanya pada April 1855 sebagai Sultan Qadriah Pontianak Keempat, wafat 22 Agustus 1872.

Semasa pemerintahannya dan sebagai kelanjutan dari masa kekuasaan ayahdanya, wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda semakin luas, sebaliknya wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak menjadi berkurang, karena pada tahun 1856 Belanda mengadakan kembali perjanjian dengan Sultan Syarif Hamid, perjanjian mana masih tetap sangat merugikan rakyat dan kesultanan.

Disamping meluasnya wilayah kekuasaan Kolonial Belanda, ada sesuatu kontradiktif yang tampaknya dibuat oleh Pemerintahan Batavia. Residen Borneo Barat, menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850. Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang).

Kawasan sebelah barat Sungai Kapuas Kecil yaitu seberang sungai dari Kesultanan ini, yang secara de facto dan de jure dikuasai Belanda, semakin berkembang dan telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan residen Belanda di Kalbar.

Taktik Belanda seperti ini, yang dimulainya sejak Pemerintahan Sultan Kasim, dilaksanakan terus dalam rangka memperkecil pengaruh Kesultanan Qadriah Pontianak serta mengucilkan Sultan Hamid.

Untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagai akibat dari perjanjian yang diterapkan Belanda hanya memberi penggajian kepada sultan, petugas kesultanan dan kerabatnya, Sultan Hamid menerapkan suatu pendekatan “kekeluargaan” terhadap petani kelapa di Sungai Kakap sehingga ia banyak memperoleh keuntungan dari sub sektor ini yang justru dianggap “merugikan” Belanda.

Karena itu Belanda mendirikan semacam Persatuan Petani Kelapa diketuai oleh Syarif Abdurrahman untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dengan hukum kolonial Belanda.

http://alqadrie.com/index.php/2013/01/16/periode-sultan-hamid-i-alqadrie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar