Jumat, 01 November 2013

Sultan Syarif Thaha Alqadrie

Sultan ketujuh,Syarif thaha Putra Ratu Anom Bendara,Keponakan Hamid.II

(saat itu,Hamid Ibni Sultan Muhammad dalam tahanan jepang,atau yang dikenal sebagai Sultan Hamid.II,dikemudian hari)

Sultan Syarif Thaha Alqadrie (Agustus – Oktober 1945).

Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad, beserta para kerabat istana, tokoh dan pemuka masyarakat Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, yang dikenal dengan Peristiwa Mandor,

ternyata menghancurkan semangat, mental dan moril keluarga besar kesultanan, bahkan masyarakat Pontianak dan Kalbar. Ternyata adalah sangat sulit mencari pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie untuk diangkat sebagai sultan, karena beberapa penulis (Rahman, 2000: 146-153; Yanis, 1983: 172-182, Rivai, 1995: 24-27, Alqadrie, 1984:64) memperhitungkan sejumah 30 orang kerabat istana yang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan sekitar 24 orang terdiri dari sultan atau panembahan, tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan Kalbar, dan Pontianak khususnya, dari berbagai anggota kelompok etnis, termasuk Cina keturunan, juga menjadi korban keganasan Balatentara Fasis Jepang.
Rapat di istana Qadriah tanggal 29 Agustus 1945 untuk mencari pengganti Sultan Syarif Muhammad yang dihadiri oleh Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai), wakil dari pemerintah balatentara Jepang, para tokoh/pemuka masyarakat, cendekiawan Pontianak, dan kerabat istana yang luput dari pembunuhan, akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Muhammad dari puteri keduanya bernama Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendara, dilantik sebagai Sultan Qadriah Pontianak Ketujuh.
Sebenarnya pengganti Sultan Syarif Muhammad, berdasarkan tata krama tradisional kerajaan, seharusnya adalah salah seorang dari 5 (lima) puteranya, tetapi 4 (empat) puteranya, menurut catatan Ansar Rahman (2000:154,173) dan Mawardi Rivai (1995:25-26) juga menjadi korban keganasan Jepang.
Seorang puteranya yang masih hidup, bernama Syarif Hamid Alqadrie — perwira KNIL — sedang berada dalam tahanan Jepang di Batavia. Pengangkatan Syarif Thaha sebagai sultan disetujui oleh sebagian kerabat istana termasuk Syarifah Maryam — bibi atau kakak/embakyu bundanya — puteri tertua dari Sultan Muhammad, oleh para pemimpin, tokoh pergerakan, sebagian masyarakat dan pemukanya, serta wakil pemerintaha Jepang yang masih berada di Pontianak.
Berbeda dengan kakekdanya, Sultan Syarif Muhammad yang masa kekuasaannya merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha, sangat pendek, hanya sekitar 3 (tiga) bulan.
Dalam masa pemerintahanya, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak.
Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah:
(1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang;
(2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut   diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan;
(3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak.
Berbeda dengan masyarakat keturunan Arab yang banyak berbaur dengan masyarakat setempat, mengikuti organisasi pergerakan dan berorientasi pada kepentingan dan identitas penduduk mayoritas, sebagian besar anggota komunitas keturunan Cina tampaknya memiliki jarak dengan masyarakat setempat.
Padahal, pada pola pembauran ala Filipina, mereka membaur dan masuk ke dalam kehidupan budaya mayoritas penduduk setempat yang beragama Katolik. Di Indonesia pada umumnya, di Kalbar dan di Pontianak lebih khusus lagi, kalaulah mereka bersedia masuk ke dalam agama yang dianut oleh penduduk mayoritas — saudaranya kelompok etnis Melayu, Bugis dan Banjar, maka pembentukan PKO yang merisaukan saudaranya tidak perlu terjadi.
Jarak antara mereka — anggota kelompok etnis keturunan Cina dan penduduk setempat — tidak dengan sendirinya berarti tidak ada komunikasi dan interaksi antara mereka. Batas-batas budaya (atau eksklusivitas = tambahan penulis), menurut pengamatan Baarth (1996:…..), dapat terjadi, walaupun anggota kelompok etnis saling berbaur, perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh terjadi tidaknya pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan atau penyatuan.
Anggota kelompok etnis keturunan Cina di Pontianak pada saat kekosongan kekuasaan yaitu tidak adanya/ tidak jelasnya siapa pengganti Sultan Muhammad tampaknya merasa tidak aman. Selama pemerintahan dinasti Al-Qadrie mereka merasa aman dan terlindungi.
Selain itu, mereka juga memiliki loyalitas cukup tinggi baik kepada kesultanan maupun kepada NKRI yang segera akan terbentuk. Ini terbukti bahwa pada Peristiwa Mandor tidak sedikit tokoh dan pemuka masyarakat keturunan ini ikut menjadi korban keganasan balatentara Jepang (Yanis, 1983: 172-182, 219-221; Rivai, 1995: 24-27).
Masuknya pasukan Dayak ke Pontianak untuk menuntut diangkatnya Sultan Pontianak menunjukkan paling tidak tiga hal:
(1) Sejak lama anggota kelompok etnis Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub kelompok (anak suku) memiliki tanggung jawab dan komitmen yang besar terhadap jalannya pemerintahan dan kemajuan daerah ini. Mahrus Effendy (1998:123) mencatat bahwa kedatangan pasukan Dayak ini menunjukkan kesetiaan mereka terhadap kesultanan;
(2) Adanya integrasi, pembauran yang kuat antara berbagai kelompok etnis, terutama keturunan dan keluarga besar kesultanan dengan anggota kelompok etnis Dayak;
(3) Adanya perasaan satu keluarga, satu ibu, antara kelompok etnis Dayak dan Melayu. Perasaan bersaudara itu tidak akan pecah oleh intervensi politik praktis.
Kedatangan tentara Australia atas nama sekutu dibawah Kolonel Cotton bersama pasukan Belanda untuk melucuti tentara Jepang menambah suasana Pontianak menjadi kacau, karena mereka dating ke Pontianak ternyata ingin mengembalikan kekuasaan Belanda.
Mereka menaikkan bendera Belanda di Kantor Residen. Keinginanan ini ditantang oleh Pemuda Perjuangan Republik Indonesia (PPRI) dan Rakyat dengan berdemonstrasi diberbagai tempat. Kondisi serba kacau ini menyulitkan Residen Asikin Noor dan Syarif Thaha memimpin Pontianak.
Gubernur Jenderal Belanda mengangkat Dr. Van der Zwaal tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Residen Kalbar, sedangkan Asikin Noor dikembalikan ke Banjarmasin. Ia juga mendatangkan Sultan Syarif Hamid II yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang ke Pontianak untuk menjabat sebagai Sultan Pontianak.
Dengan pertimbangan masih sangat muda dan Sultan Hamid II adalah pamannya sendiri, Sultan Syarif Thaha menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri (Alqadrie, 1979: 55; 1984:64)
Kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak.

http://alqadrie.com/index.php/2013/01/16/periode-sultan-syarif-thaha-alqadrie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar