Penulis Sejarah dan Sastrawan Hebat
Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan
dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff.
Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal
wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.
Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan
sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad
bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat
tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi
berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan
sejarawan.
Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah
Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah
yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah
dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk
menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana
untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir
pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak
usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu
terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin.
Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan
tasawuf.
Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim
yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari,
ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan
guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh
Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid
Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad
bin Salim As-Siri dan lain-lain.
Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan
perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan
dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat
ilmiah pada masa itu.
Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke
Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah
bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa
lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa
dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering
terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum
muslimin di masa mendatang.
Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama
dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan
diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat
itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota
Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.
Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari
ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan
manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta.
Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk
mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad
pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.
Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia
rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar,
menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu
untuk sekolah.
Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari
buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan
menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati
masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan
Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin
pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan
halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.
Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia
mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya
persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat
dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.
Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab
Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams
Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai
nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak
yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan
penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada
leluhurnya.
Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan
seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal
sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini
walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun
sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh
ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab
Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan
catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun
1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung
terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo
pada Rabiul Awal 1365 H.
Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf
sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten).
Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat
Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad
ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin
Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak
mengandung budaya bangsa dan syair-syair.
Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di
madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di
luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan
seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara
hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat),
buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan
lain-lain.
Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari
banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di
bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik
yang dinamakan Alarangan.
Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan
menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia
menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad
kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat
meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut. Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil
Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari
pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26
Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.
Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal,
pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut
lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya
Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar