Antara Islam
dan Kaum Muslimin
Jawaban
bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang tengah
dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi titik awal
dari fase baru dalam kehidupannya.
Gagasan sang
Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz beberapa tahun silam untuk membentuk sebuah
wadah bersama bagi para ulama agar dapat duduk bersama dalam mengatasi berbagai
problematik umat mendapat sambutan hangat di berbagai tempat. Kini, Majelis
Muwasholah Antar Ulama Muslimin, nama lembaga yang mewadahi para ulama
tersebut, telah memasuki tahun kelima. Meski masih seumur jagung, lembaga
tersebut sedemikian cepat melesat dan memiliki gaung yang besar, baik di
Nusantara maupun mancanegara.
Sebagaimana
yang pernah disampaikan Habib Umar sendiri, lembaga ini diharapkan dapat
mengorganisir semua unsur yang terkait untuk kepentingan umat dengan didasari
kerangka dan landasan agama yang lurus dan terbuka tanpa sikap fanatisme
berlebihan atau hal yang membingungkan umat agar semua usaha dakwah dari semua
unsur dapat lebih tercurahkan untuk kebutuhan yang terpenting bagi umat dalam
menjaga tegaknya persatuan dan kebersamaan dengan mendahulukan sikap lentur
dan menghargai yang lain. Karena, memang, Islam bukanlah agama yang sempit.
Mensinergikan
berbagai unsur umat yang terkait dalam lembaga ini tentu bukan perkara yang
mudah. Di sini berkumpul para ulama yang datang dari berbagai latar belakang.
Perlu kesungguhan yang ekstra keras, di samping pengalaman yang teruji dan
wawasan yang luas bagi para penggiatnya agar kesemua unsur potensial itu dapat
secara maksimal saling bersinergi. Amanah berat tersebut kini terutama diemban
Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid, yang duduk sebagai mudir (direktur)
Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin.
Menguasai
Empat Bahasa
Terlahir
pada tahun 1965 di Hadhramaut, Habib Muhammad melewati masa kecil yang kurang
beruntung. Saat memasuki usia bersekolah, negerinya kala itu tengah dalam
cengkeraman penguasa komunis, yang sangat membatasi ruang gerak para ulama.
Rubath-rubath (lembaga-lembaga pendidikan agama) di kota Tarim maupun
kota-kota lainnya di Hadhramaut tak boleh beraktivitas.
Akibatnya,
ia pun melewati pendidikan dari masa kecil hingga remajanya hanya di
madrasah umum di kota kelahirannya itu. Bahkan selepas pendidikan setingkat
SLTA, ia sempat ikut pelatihan wajib militer selama tiga tahun. Di sela-sela
waktunya, bila situasinya memungkinkan, ia menyempatkan diri menghadiri majelis
ilmu di tempat Habib Masyhur Bin Hafidz, kakanda Habib Umar Bin Hafidz.
Langkah kaki
Habib Muhammad berikutnya mengantarkannya hingga sampai ke Ukraina. Di sana,
selama enam tahun, ia menjadi mahasiswa di negeri yang saat itu menjadi salah
satu negara bagian Uni Soviet itu. Ilmu kimia, itulah jurusan yang dipilihnya
hingga ia lulus dan menggondol gelar sarjana sebagai seorang insinyur ilmu
kimia.
Selepas
pendidikan di Ukraina, tahun 1993, ia kembali ke tanah kelahirannya dan
mengabdikan diri sebagai salah seorang tenaga pengajar pada sebuah institusi
pendidikan di sana. Tentunya, dalam bidang studi yang telah digelutinya
selama bertahun-tahun di Ukraina, yaitu ilmu kimia. Saat itu negerinya, Yaman
Selatan, telah bersatu dengan Yaman Utara, dan hingga kini gabungan dua negara
menyebut negara mereka sebagai Republik Yaman.
Kesungguhannya
dalam belajar dan perjalanan hidupnya yang akrab dengan dunia akademis
membuatnya memiliki kemampuan berbagai bahasa dunia secara aktif. Setidaknya,
selain bahasa Arab tentunya, ia menguasai dengan baik bahasa Inggris, bahasa
Rusia, dan bahasa Spanyol. Karena saat ini ia sering bolak-balik
Hadhramaut-Jakarta dan kemudian memiliki banyak aktivitas di sini, yaitu dalam
kapasitasnya sebagai mudir di Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, tak
mustahil bila ke depannya ia dapat pula berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Mematikan
Hati?
Selain
bekerja sebagai seorang pengajar, ternyata Habib Muhammad adalah seorang
pebisnis. Di negerinya sana, dulu, ia memiliki usaha sampingan, yaitu membuka
sebuah toko yang menjual perlengkapan suvenir khas Yaman. Sehari-hari, tokonya
banyak dikunjungi turis mancanegara yang ingin membawa oleh-oleh suvenir
setelah berkunjung ke Yaman.
Saat itu,
yaitu ketika ia mempunyai usaha toko suvenir itu, sesekali ia mendengar
ceramah agama yang disampaikan beberapa pendakwah di sana. Namun hatinya
terkadang bimbang dengan perkataan beberapa dai yang didengarnya pernah
menyatakan bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir itu dapat
mematikan hati.
Bagaimana
tidak bimbang, ia memiliki usaha toko suvenir yang pelanggannya terbanyak
adalah kalangan turis mancanegara, yang notabene non-muslim. Lalu, agar ia tak
sampai memiliki hati yang mati, apakah ia harus menutup usaha toko suvenirnya
itu?
Dalam
kebimbangan hati yang ia alami, suatu ketika ia menghadiri sebuah majelis ilmu
yang diisi oleh Habib Umar Bin Hafidz. Saat itu kebimbangan hati yang tengah
melandanya tampak jelas dari raut wajahnya. Rupanya, Habib Umar memperhatikan
hal itu.
Usai
majelis, saat berdekatan dengannya, Habib Umar pun mengatakan kepadanya bahwa
sejak tadi sepertinya ia sedang bingung memikirkan sesuatu. ”Ada apa gerangan?”
tanya Habib Umar kepada Habib Muhammad.
Habib
Muhammad pun mencurahkan isi hatinya saat itu. Ia menuturkan, ia tengah
dilanda kebimbangan hati. Di satu sisi ia memiliki usaha yang konsekuensinya
ia harus sering-sering berinteraksi dengan para turis dari Eropa dan berbagai
belahan dunia lainnya yang kebanyakan mereka adalah non-muslim, sementara pada
sisi lain ia juga mendengar bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir
dapat mematikan hati. ”Ya Habib...,” ia pun bertanya kepada Habib Umar,
”...apakah saya harus menutup usaha toko suvenir saya ini?”
Fase Baru
Kehidupannya
Habib Umar
tersenyum. Ia mencoba memahami kebimbangan hati Habib Muhammad sekaligus
mencoba menenangkan hatinya. Sejurus kemudian Habib Umar berkata, ”Perkataan
itu adalah bagi kebanyakan awam, bukan dalam konteks umum yang membuat setiap
kita dapat dikenai perkataan itu. Bagi orang awam, yang tidak memiliki bekal
agama yang cukup, sering berinteraksi dengan orang kafir dapat membawa alam
berpikir mereka kepada pola pikir yang mengakrabi kekafiran, mengingkari
ajaran syari’at. Itu artinya membuat hati mereka menjadi mati.
Sedangkan
bagi kita, yang telah dapat mengetahui dan meyakini hakikat kebenaran agama
ini, berinteraksi dengan mereka tidak menjadi masalah. Bahkan, semestinya kita
memandang setiap pihak, termasuk orang-orang kafir itu, sebagai lahan dakwah
bagi kita. Di situlah peluang kita untuk dapat berdakwah terhadap mereka,
setidaknya dengan menunjukkan akhlaq mulia kita sebagai muslim.”
Jawaban
bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang
tengah dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi
titik awal dari fase baru dalam kehidupannya.
Dalam kesempatan itu pula, Habib Umar
menghadiahinya buku-buku karangan Syaikh Nuh Hamim Keller, seorang mualaf
asal Amerika yang menjadi seorang ulama besar dan terkenal. Tak
tanggung-tanggung, saat itu ia sampai menerima 27 naskah karya Syaikh Nuh Hamim
Keller. Di dalam buku tersebut, banyak hal yang ia dapat, seperti keyakinan
terhadap kebenaranajaran agama suci ini hingga hal-hal yang dapat membawa inspirasi dakwah dalam kehidupan setiap insan muslim.
Keluar dari
majelis Habib Umar itu, di dadanya tumbuh bergumpal-gumpal semangat dakwah
yang kian hari kian membesar, menguat, dan menggelora. Ada tekad yang membara
di hatinya saat itu. Ya, tekad dakwah, di mana pun dan kapan pun. Sejak itu,
ia pun bertekad untuk berada dalam barisan dakwah bersama sang guru mulia,
Habib Umar Bin Hafidz. Sejak itu pula, ia semakin intens terlibat dalam setiap
majelis dan kegiatan dakwah yang digerakkan Habib Umar.
Tak seberapa
lama, ia pun sampai menyewa sebuah gedung untuk dijadikan tempat baginya dalam
membantu gerak langkah dakwah sang guru, di antaranya dengan menerbitkan
sejumlah media dakwah yang dapat beredar di tengah masyarakat.
Allah SWT
telah mentaqdirkannya sebagai seorang ahli dalam ilmu kimia, yang ternyata hal
itu sangat bermanfaat dalam salah satu aktivitasnya melestarikan naskah-naskah
kitab tua yang masih dapat terselamatkan.
Berbasiskan
ilmu pengetahuan yang ia miliki, bahkan ia berhasil menciptakan metode dan
mesin tersendiri dengan formula kimia yang ia temukan, cara untuk memperbaiki
kondisi naskah-naskah kitab tua yang masih dapat diselamatkan. Ia pun tercatat
sebagai salah seorang mudir di Markaz An-Nur, sebuah lembaga yang bergerak secara
khusus dalam penelitian dan pelestarian kitab-kitab atau manuskrip kuno di
Hadhramaut.
Beberapa
tahun terakhir, ia aktif terlibat dalam Majelis Muwasholah Antar Ulama
Muslimin, dan bahkan kini dipercaya sebagai mudirnya. Sebuah tantangan dakwah
yang amat berat, tentunya. Di bawah koordinasinya, kini Majelis Muwasholah
banyak menjalin hubungan dengan berbagai instansi, baik swasta maupun
pemerintah, dalam kerja sama demi kemaslahatan umat.
Saat
berbincang dengan alKisah, ia mengkritisi pola hidup umat Islam yang tak lagi
mencerminkan pola hidup seorang muslim. Hal ini membuat pandangan tak tepat
kerap dialamatkan kepada ajaran Islam. Padahal, bukan Islam-nya yang
bermasalah. Agama ini adalah agama yang sempurna, indah, dan mengagumkan bagi
setiap orang yang mau dengan jujur menilainya. Tapi kini, seakan ada jurang
yang amat dalam, yang memisahkan umat Islam dari ajaran agama Islam.
Kisah Syaikh
Nuh di Mesir
Kembali pada
buku-buku Syaikh Nuh yang pernah dihadiahkan Habib Umar kepadanya. Di antara
buku-bukunya itu, Syaikh Nuh, yang pada awalnya adalah seorang Katholik taat
yang berprofesi sebagai pelaut, menceritakan pengalamannya ketika suatu saat
berada di tengah lautan mendapat guncangan ombak yang amat dahsyat dan luar
biasa besar.
Saat itu, sebagaimana
dikisahkan kembali oleh Habib Muhammad, ia merasakan betapa dirinya begitu
kecil dan tak berarti. Sedemikian tak berartinya, bahkan diri seorang manusia
itu sesungguhnya tak memiliki kuasa apa pun dalam menentukan kehidupannya
sendiri.
Alhamdulillah,
beberapa waktu kemudian, ombak pun mereda. Ia selamat.
Setelah
peristiwa itu, ia mulai melakukan pencarian terhadap tuntunan sebuah agama
yang lurus dan benar. Ia mempelajari kajian berbagai agama, sampai ia pun
tertarik pada ajaran agama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pun pergi ke
Mesir.
Sampai suatu
ketika, dalam pencariannya berjalan ke sana dan ke sini di Negeri Piramid itu,
ia memperhatikan tingkah polah umat Islam yang ada di sana. Ia, yang saat itu
berpakaian sangat lusuh, bertemu seorang nenek yang mendekatinya dan
memberinya uang.
Ia terkejut.
Ia katakan kepada nenek itu, ”Bu, kenapa Ibu memberi uang ini kepada saya? Ibu
tak kenal saya dan saya pun tak memiliki hubungan apa-apa dengan Ibu.”
”Ini
shadaqah,”jawab sang nenek dengan tegas. ”Saya tak berharap apa pun dari
shadaqah dan shadaqah juga bukan karena masalah dekat atau jauh dengan siapa
pun. Saya hanya berharap balasan dari Allah SWT.”
Hatinya
terperanjat mendengar jawaban si nenek. Betapa kuatnya jalinan hati antara
nenek itu dan Tuhannya. Begitu mungkin yang saat itu ada dalam pikirannya.
Di lain
kesempatan, salah seorang kawan yang banyak menemaninya di perjalanan, yang
dikenalnya bukanlah seorang muslim yang taat, tengah mengangkut banyak barang
dengan semacam troli, kereta dorong. Saat membawa troli itu, tiba-tiba ada
salah satu barangnya yang terjatuh.
Keller ingin
membantu temannya itu. Secara refleks, ia membungkukkan badannya dan ingin
memungut barang milik temannya yang jatuh itu.
Namun,
secara refleks pula, sang teman cepat mencegahnya. ”Jangan, ini Al-Qur’an!!!”
teriak sang teman. Ternyata yang terjatuh itu adalah Al-Qur’an.
Sang teman
segera mengambil air wudhu tak jauh dari lokasi itu, kemudian memegang dan
mengangkatnya secara perlahan.
Sebelum meletakkan
kembali di tempat semula dan lebih aman, sang teman mencium kitab suci umat
Islam tersebut.
Bagai sedang
menyaksikan sebuah drama, detik demi detik kejadian itu diperhatikannya dengan
serius. Hatinya kagum, sekaligus terharu, betapa kawannya itu, yang notabene
di matanya pun bukan termasuk seorang muslim yang taat, amat menghormati kitab
sucinya. Pemandangan semacam ini tak pernah ia dapatkan bahkan pada komunitas
Katholik yang taat sewaktu di negerinya dulu.
Sementara,
pada tulisannya yang lain, Syaikh Muh Hamim mengisahkan pengalaman seorang
mualaf, yang tertarik dengan Islam dan kemudian menjadi muslim, yang pernah
mengatakan, ”Segala puji hanya milik dan bagi Allah, yang telah lebih dulu
mempertemukanku dengan Islam sebelum mempertemukanku dengan kaum muslimin.”
Sebuah ungkapan keprihatinan sang mualaf atas sikap hidup sebagian besar
umat Islam di hari ini yang tak lagi mencerminkan ajaran agamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar