Sabtu, 09 November 2013

Habib Abubakar bin Abdul Qadir Mauladdawilah

Dari Kuta sampai Kerala
Ketika seseorang hendak menuntut ilmu, mereka mendapatkannya di kitab-kitab. Ketika hendak mencari keberkahan, tidaklah mereka mendapatkannya kecuali dalam diri orang-orang shalih. Ahli ilmu banyak, tapi ahli keberkahan itu sedikit.

Kerala adalah sebuah negara bagian di India bagian barat daya. Meski minoritas dari segi jumlah, sejarah membuktikan, umat Islam telah memberi kontribusi yang begitu be¬sar dalam kehidupan masyarakat wilayah yang berada di Asia Selatan itu.

Riwayat Islam di Negeri Hindustan ter¬bilang amat panjang. Ada banyak versi tentang masuknya Islam ke India. Meski begitu, datangnya ajaran Islam ke anak benua India itu bisa diklasifikasikan dalam tiga gelombang. Yakni dibawa orang Arab pada 8 M, orang Turki pada 12 M, dan abad ke-16 M oleh orang Afghanistan.

Menurut satu versi sejarah, Islam awal¬nya tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat Rasulullah SAW yang kali pertama me¬nyebarkan ajaran Islam di negeri itu. Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur, Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka cita.

Malik lalu membangun masjid per¬tama di daratan India, yakni di wilayah Kerala. Masjid pertama yang dibangun umat Islam itu bentuknya mirip dengan can¬di, tempat ibadah umat Hindu. Ba¬ngunan masjid itu diyakini dibangun pada tahun 629 M.

Ada yang meyakini, masjid di Ko¬dung¬allur, Kerala, itu merupakan masjid kedua di dunia yang digunakan shalat Jum’at, setelah masjid yang dibangun Ra¬sulullah di Madinah.

Konon, dari Kerala-lah Islam lalu me¬nyebar ke seantero India. Dan di Kerala pula figur kita, Habib Abubakar bin Abdul Qadir Mauladdawilah, berlabuh sekitar dua bulan yang lalu, kurang lebih dua pe¬kan lamanya. Atas undangan sebuah in¬stitusi pendidikan di Kerala, Habib Abu¬bakar pun membulatkan tekad untuk be¬rangkat dan berdakwah di sana, dan kini berkenan berbagi sedikit cerita dengan segenap pembaca alKisah.

Melebarkan Sayap Dakwah
Dua tahun lebih sudah berlalu, saat Ha¬bib Abubakar mengisi rubrik Figur di alKisah pertama kalinya. Tepatnya bulan Juni 2010. Kini, Habib Abubakar hadir kem¬¬bali di tengah-tengah kita dengan mem¬-bawa segudang cerita dakwah yang menarik.

Pada edisi dua tahun lalu itu, disebut¬kan, Habib Abubakar, yang lahir dan me¬netap di Malang, sudah punya majelis di Banjarmasin, Kalimantan, yang berjalan secara rutin setiap bulan. Hingga saat ini majelisnya itu masih berjalan, bahkan pengunjungnya bertambah banyak. Ka¬lau dulu sekitar ratusan, sekarang ini bisa mencapai seribu orang.

Dari Banjarmasin, sayap dakwah Ha¬bib Abubakar terus dikepakkan. Sekitar setahun ini ia membuka majelis lagi di Kuta, Bali. Namanya sama dengan yang di Banjarmasin, Majelis An-Nur. Bisa di-katakan, Majelis An-Nur yang di Bali ini adalah cabang dari Majelis An-Nur yang di Banjarmasin. Materi yang dibawakan di sana juga kurang lebih sama, mem¬baca Maulid Nabi, dzikir Asmaul Husna, dan kajian kitab An-Nashaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

”An-Nur”, yang artinya cahaya, adalah nama yang diberikan oleh Habib Abdul Qadir bin Hasan Bin Quthban, salah se¬orang tokoh muda habaib Tuban saat ini. Dari Habib Abdul Qadir Bin Quthban ini pula ia mendapat bekal nasihat yang amat berharga, “Kalau berdakwah, terus enak-enakan, tidak ada ujiannya, dikha¬wa¬tirkan itu adalah istidraj dari Allah SWT.” Tanda-tandanya, awalnya memang terli¬hat menakjubkan. Tapi terakhirnya nanti akan hancur. Na’udzu billah min dzalik.

Karenanya, dalam berdakwah yang ia kedepankan adalah sikap istiqamah. Untuk bisa istiqamah, cobaan dan rin¬tangan dakwah selalu ada saja. Baik yang di Banjarmasin maupun di Bali, posisi majelisnya tak berjauhan dengan posisi diskotek besar.

”Menjelang puasa kemarin, di Banjar¬masin, berbarengan dengan ketika saya tawaqufan (penutupan sementara) ma¬jelis, tetangga di sana itu juga tawaqufan diskotek,” ujarnya setengah bergurau.


Dahsyatnya maksiat di sejumlah kota di Indonesia membuatnya terus bertekad menebar ajaran syari’at Rasulullah SAW di berbagai tempat. Ia kemudian menga¬takan, ”Apa lagi yang bisa kita perbuat un-tuk menyenangkan hati Rasulullah ka¬lau tidak dengan membuka majelis-maje¬lis yang di dalamnya disebut-sebut nama Allah SWT, menghidupkan sunnah be¬liau, dan mengisahkan perjalanan para kekasih Allah dan rasul-Nya sebagai be¬kal hidup bagi orang-orang terkemudian.”

Kagum pada Dakwah Salaf
Kunjungan dakwah Habib Abubakar ke Kerala merupakan bagian dari rangkai¬an acara haul Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang diselenggarakan di sana. Sewaktu tiba di sana, kedatangan Habib Abubakar juga diiringi tabuhan hadhrah ala India.

Mungkin karena sudah menjadi ma¬sya¬rakat Islam sejak dulu sekali, kehidup¬an religius di sana termasuk membang-gakan. ”Masyarakatnya sangat religius. Hampir mirip seperti di sini, setiap habis magh¬rib mereka membaca Ratib Al-Haddad. Mereka juga membaca Maulid Simthud Durar,” kata Habib Abubakar.

Beberapa kali Habib Abubakar me¬nye¬but-nyebut nama Habib Hasyim, se¬orang tokoh ulama di sana. Nama leng¬kapnya Hasyim bin Abdurrahman Al-Had¬dad. Ia memperkirakan, usia Habib Hasyim antara 50 hingga 60 tahun. Meski dari keluarga Al-Haddad, Habib Hasyim dan beberapa leluhurnya sudah kelahiran India.

”Beliau gemar meneliti sejarah. Orangnya penuh wibawa. Sikapnya me¬nunjukkan bahwa ia seorang ahlul ’ilm (ter¬pelajar). Dari caranya menerima tamu, berdoa, berbicara, tampak sekali bahwa sikapnya adalah sikap seorang ahlul ’ilm, dan beliau ahlul ’ilm yang mutawadhi’ (ren¬dah hati),” kata Habib Abubakar lagi.

”Di sekolah itu”, yaitu sekolah yang di¬asuh Habib Hasyim, ”pelajaran keislam¬an amat dikembangkan sedemikian rupa.”

Saat acara haul berjalan, Habib Abu¬bakar bertutur tentang sejumlah kisah ter¬kait Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad se¬bagaimana yang ia dengar dari guru-gurunya, di lingkungan Ma’had Darul Ha¬dits Al-Faqihiyyah, Malang. Di antaranya, sebagaimana yang ia tukil dari kalam Ha¬bib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, betapa Rasulullah SAW sangat mencintai Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, sampai-sam¬pai dikatakan bahwa, di mata Rasul¬ullah SAW, Habib Abdullah ini termasuk sebaik-baik keturunan beliau.

Selain menghadiri acara haul, selama di sana ia banyak diajak menziarahi kom¬pleks pemakaman awliya’ dan shalihin. Subhanallah, ternyata tak sedikit di antara makam-makam awliya’ yang diziarahinya itu adalah kaum Sadah Alawiyyin. Sekitar tujuh kompleks pemakaman para wali di sana ia ziarahi, memanfaatkan waktu ko¬song selama dua pekan kunjungannya di Kerala.

Di antara makam para awliya’ di sana yang ia ziarahi adalah makam Habib Mu¬hammad bin Abdurrahman Bahasan Ja¬malullail dan makam Habib Alwi bin Sahl Mauladdawilah. Sepulangnya dari India, Habib Abubakar membawa oleh-oleh sejumlah risalah berisi manaqib sejumlah orang shalih yang makamnya menjadi tem¬pat ziarah kaum muslimin di sana, yang masih menghargai dan mengenang jasa-jasa yang telah diberikan oleh para ulama dan shalihin tempo dulu itu.

Selama di sana, hampir tak ada ken¬dala yang berarti yang ia dapati. Sesekali ada kesulitan dalam hal bahasa, terutama ketika ia sedang ada keperluan berbicara dengan penduduk setempat, sedangkan pendamping penerjemahnya sedang ti¬dak ada di sampingnya, seperti saat ia sedang di penginapan.

Dari perjalanannya itu, Habib Abu¬bakar merasa beroleh hikmah yang be¬sar. Ia menyampaikan rasa kagumnya yang luar biasa kepada para pendahulu Alawiyyin.

”Bayangkan luar biasanya para pen¬dahulu, kaum Alawiyyin, dari Hadhramaut itu. Mereka datang ke berbagai negeri, ter¬masuk ke India sini, tanpa memakai pe¬nerjemah sama sekali. Mereka datang ke suatu negeri yang tak mengenal me¬reka sama sekali, bahkan mereka tak mengerti bahasa penduduk negeri itu.

Mereka juga menggunakan peralatan transportasi yang masih sangat jauh ke¬tinggalan dibanding zaman sekarang. Pa¬dahal kita sekarang naik pesawat saja ka¬lau perjalanannya jauh tetap saja rasanya badan-badan ini cepat lelah.

Tapi, mereka yang hidup dan ber¬juang dengan segala keterbatasan itu, subhanallah, justru berhasil menyebar¬kan Islam di banyak tempat, termasuk di India. Bahkan juga sampai di seantero Nusantara.

Jadi, kita ini memang tidak ada apa-apanya dibanding mereka,” kata Habib Abubakar menyimpulkan.

Ahli Barakah
Berbicara tentang ziarah ke makam-makam para waliyullah, para kekasih Allah, Habib Abubakar menyampaikan bah¬wa para kekasih Allah itu memang pan¬tas didatangi dan dikunjungi. Semasa hidup, mereka adalah para ulama yang ha¬nya dengan memandang wajah me-reka saja dapat menggiring hati sese¬orang untuk ingat kepada Allah.

Sekarang mereka telah wafat. Tapi, bukan berarti di kubur mereka mati seperti kebanyakan orang. Tidak. Para kekasih Allah itu tetap hidup dalam kubur mereka, dan ini jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an. Jasad mereka juga tak termakan oleh bumi. Itu artinya, kita mendatangi mereka saat ini ketika mereka sudah wafat sama halnya dengan mendatangi mereka dulu ketika mereka masih hidup.

Mereka, kaum shalihin kekasih-ke¬kasih Allah itu, bukan hanya ahlul ‘ilm, tapi juga ahlul barakah. Sebab, perlu di¬cermati, seorang ahlul ’ilm belum tentu ahlul barakah.

Kemudian Habib Abubakar mengutip perkataan Al-Musnid Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, ”Ketika seseorang hen¬dak menuntut ilmu, mereka menda¬pat¬kannya di kitab-kitab. Ketika hendak mencari keberkahan, tidaklah mereka men¬dapatkannya kecuali dalam diri orang-orang shalih. Ahli ilmu banyak, tapi ahli keberkahan itu sedikit.”

Bagi Habib Abubakar, kalau ada ber¬bagai kejadian luar biasa dalam kisah ke¬hidupan para kekasih Allah SWT, se¬sungguhnya itu tergantung cara pandang. Contohnya Imam Ali Zainal Abidin, tokoh besar yang sampai dijuluki ”perhiasan ham¬ba-hamba Allah”. Saat ia wafat, ada tanda kehitaman di bagian bawah mata¬nya, karena begitu banyaknya ia mena¬ngis di waktu malam.

Tak diragukan, ia adalah seorang wali¬yullah. Dalam banyak biografi yang menyebutkan riwayat hidup Imam Ali Zainal Abidin, disebutkan, setiap malam, ia shalat sampai seribu rakaat.

Mungkin kita bertanya-tanya, bisakah tercapai bilangan seribu rakaat di setiap malam pada malam-malam Imam Ali Zainal Abidin? Padahal dalam bagian lain dari biografi Imam Ali Zainal Abidin juga disebutkan betapa di sebagian malamnya ia selalu berkeliling kota Madinah untuk membagikan bahan-bahan makanan lang¬sung sampai di depan pintu para penduduk Madinah yang membutuhkan bantuan. Lalu kapan waktunya ia shalat sampai seribu rakaat?

Menjawab pertanyaan itu, Habib Abu¬bakar hanya mengatakan, ”Imam Ali Zainal Abidin seorang kekasih Allah, se¬dangkan Allah adalah Sang Pencipta waktu.”

Jawaban yang singkat namun padat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar