Pada dirinya bermuara banyak keberkahan. Dari berkah Habib
Utsman Bin Yahya, Habib Alwi Al-Haddad Keramat Empang, Habib Umar Bin Hud
Cipayung, hingga Habib Umar Bin Hafidz dan Habib Rizieq Syihab.
Bila malam Sabtu rutin melewati arah Petamburan, Jakarta
Pusat, atau Gilisampeng Kebon Jeruk, Jakarta Barat, jangan kaget bila Anda
sering mendapati umbul-umbul putih bertuliskan Majelis Warotsatul Musthofa
dengan warna hijau cukup besar.
Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat
hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis
ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi
sosok sentral di dalamnya.
Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan
mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia
seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya.
Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in
kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang
alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya
orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.
Subhanallah, alKisah, yang selama ini sedikit banyak
menyelami kitab-kitab Habib Utsman dan dulu sering mulazamah ke kediaman
keluarganya, jadi “nyambung” saat bermuwajahah dengan tokoh muda ini.
Muara Keberkahan
Dai muda kelahiran Bogor, 19 Agustus 1988, ini adalah Habib
Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya. Mengawali pembicaraan, ia menuturkan
asal-usulnya:
“Abah ana adalah Habib Alwi bin Husein bin Muhammad bin Alwi
bin Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya asal Petamburan. Ana
keturunan kelima dari Habib Utsman Bin Yahya Mufti Betawi. Sedangkan ibu ana
Syarifah Rahmah, putri Al-Habib Ahmad bin Muhammad Alaydrus, yang dijuluki
‘Habib Ahmad Fakhr’ (fakhr berarti “kebanggaan” – Red.) asal Bogor.
Alhamdulillah, ana banyak mendapat keberkahan dan
keberuntungan dari kedua kakek ana, yakni Habib Utsman dan Habib Ahmad Fakhr.
Pertama, mendapat keberuntungan lahir di tempat tidur Habib Alwi bin Muhammad
Al-Haddad Keramat Empang. Kamar khusus ini memang disediakan enjid (kakek) ana
untuk Habib Alwi Al-Haddad, yang memang selalu ditempati beliau saat berkunjung
ke rumah kakek ana, Habib Ahmad Fakhr. Jadi ada atsarnya di situ.
Satu keberuntungan lagi yang ana peroleh adalah ketika Ummi
tengah mengandung ana. Beliau pergi ke kediaman Habib Umar Bin Hud Alatas,
bertabarruk atas kehamilannya kepada Habib Umar. Makanya, ummi ana mendapati ana punya wajah
agak berbeda dari yang lain, lebih mancung, seperti hidung Habib Umar Bin Hud
Alatas. Yang kedua, dari Habib Utsman.
Alhamdulillah segala sesuatunya menjadi amanah yang mulia
yang patut ana emban sampai kapan pun.”
Ke Darul Mushthafa
Akhir 1999, saat usia 11 tahun, Habib Muhammad Al-Bagir,
atau biasa disapa “Habib Bagir”, selulus dari SD, berangkat mondok ke Darun
Nasyiin, Lawang, Jawa Timur, yang saat itu diasuh Habib Ali bin Muhammad
Ba’bud.
Tak lama ia mondok, abahnya sakit. Dan, atas permintaan
abahnya, akhirnya Habib Bagir kecil menyudahi nyantrinya di Lawang. Abahnya
memintanya untuk sekolah di tempat yang terjangkau jaraknya oleh keluarga. “Ana
ikuti keinginan orangtua, tapi ana hanya mau di pesantren, bukan sekolah umum,”
katanya.
Habib Bagir pun melanjutkan belajarnya ke Ma’had Darus
Sa’adah Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hud Alatas, Cipayung, Bogor. Di antara
guru-gurunya pada saat itu adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, Habib
Quraisy Baharun, Habib Hamid Barakwan, Habib Muhammad Al-Baiti, yang kesemuanya
adalah murid-murid senior Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.
Selepas menempuh pendidikan selama dua tahun, pada tahun
2002, Habib Bagir berangkat ke Hadhramaut, untuk meneruskan pendidikan ke Darul
Mushthafa. Alhamdulillah, semua berjalan dengan mudah atas izin Allah. Niat
untuk belajar yang kuat menjadikan semuanya itu dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Tahun 2007, setelah bermukim selama lima tahun, Habib Bagir
kembali ke tanah air. Sebetulnya ia masih berkeinginan belajar di sana, namun
orangtua memintanya membantu aktivitas dakwah di Jakarta.
Kenangan saat di Darul Mushthafa begitu indah. Khidmah
selama di sana terbukti keberkahannya. Benarlah kata sebuah syair:
Man khadama
qadama
Siapa yang mengabdi
akan maju
“Pada bulan Ramadhan, saya hanya membantu mencuci karpet,
menyapu lantai dan halaman, membantu di dapur untuk menyediakan ta’jil, dan
semua pekerjaan rumah tangga yang terkadang terlihat sepele. Namun,
subhanallah, apa yang saya lakukan itu menurunkan keberkahan buat saya. Di
Darul Mushthafa itu semuanya ilmu dan mengandung berkah yang besar. Guru Mulia
sering mengunjungi dapur saat kami bekerja, dan beliau menebarkan senyum kepada
kami. Sungguh, beliau seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan
mengemong kami dengan ilmu dan akhlaq beliau,” kenangnya.
Kenangan lainnya yakni pergaulan dengan orang-orang Tarim.
Sebelum masuk ke Darul Mushthafa, biasanya santri pemula mondok di Rubath Syihr,
cabang Darul Mushthafa dan awal mula tempat berdirinya Darul Mushthafa
sepulangnya Habib Umar belajar dari Baydha`. “Nah, orang-orang Arab di Syihr
ini yang mengajari kami belajar bahasa Arab yang murni dan fasih, juga bahasa
Arab yang lazim dipakai di Tarim dan Yaman secara
keseluruhan. Bahkan kami juga berkesempatan belajar bahasa Inggris dan Afrika,
dari para kawan kami, murid-murid pemula Tuan Guru, yang berasal dari Amerika,
Inggris, Australia, dan Afrika. Jadi menambah wawasan pergaulan kami.”
Alhamdulilah, di tanah air, ia masih diberi kesempatan untuk
belajar lagi kepada beberapa ulama habaib, di antaranya Habib Umar bin Abdullah
Alatas Berdikari Rawabelong dan Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab
Petamburan. Di samping itu ia juga ikut serta aktif di majelis mudzakarah
bersama Habib Jindan, Habib Ahmad, dan sejumlah ustadz lainnya, alumni Darul
Mushthafa.
Warotsatul Musthofa
Sepulang dari Tarim, Habib Muhammad Al-Bagir punya tekad
untuk memakmurkan kembali Masjid Jami' Al-Islam Petamburan, Jakarta Pusat,
sebuah masjid peninggalan Habib Utsman Bin Yahya, buyutnya. Di masjid itulah
untuk pertama kalinya ia menyampaikan khuthbah Jum’at dan mengajar ta’lim
setiap Ahad malam.
Tiga tahun kemudian, berkah dari ilmu yang diperoleh, Habib
Bagir mengajar di beberapa majelis, masjid, dan mushalla di beberapa wilayah,
bahkan sampai ke Bogor.
Setelah berjalan sekian tahun, timbul keinginan dari dirinya
untuk membangun sebuah majelis yang terorganisir yang menaungi sekian majelis
yang diasuhnya. Tujuannya, agar bermanfaat lebih banyak bagi umat lewat satu
payung majelis sehingga timbul kebersamaan.
Alhamdulillah, kemudian berdirilah majelis yang dinamakan
“Warotsatul Musthofa”.
Kegiatan Warotsatul Musthofa berjalan dari majelis ke
majelis, rumah ke rumah. Perlahan namun pasti, semuanya berkembang pada satu
tujuan untuk mengajak jama’ah mempelajari Islam lebih baik lagi, mengenal dan
mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Betapa indahnya kalau melihat
negeri ini makmur oleh majelis, diwarnai oleh muslimin dan muslimah yang hidup
harmonis, yang mencintai Rasulullah SAW, menjalani syari’at beliau dalam segala
bentuk aktivitas mereka.
Alhamdulillah, murid dan jama’ah antusias mengikutinya.
Mereka berbondong-bondong berperan serta. Ada yang membawa sound system, tenda. Ada yang mengurusi sablon, ada yang
menyumbangkan keahlian berorganisasi. Semua terwadahi.
Dengan merendah Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan bahwa
dirinya hanya menjadi pendorong dan penasihat, sedangkan semua yang
menjalaninya jama’ah dan murid-muridnya.
“Mereka ini punya semangat yang tinggi untuk menumbuhkan
kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, yang mencintai majelis ini bukan
hanya para orang tua, pemuda, dan remaja, tapi juga anak-anak kecil. Mereka ini
suka datang ke rumah saya, mau minta bendera-bendera kecil. Yah, namanya
anak-anak.... Semangat dan cinta mereka tumbuh karena fithrah yang Allah
berikan, subhanallah.
Di samping itu, bilamana pengajian kita adakan, ada
pembacaan tilawatul Qur’an, dan yang membaca itu anak kecil, sehingga ini
menjadi daya tarik yang luar biasa buat siapa saja, bahwa penanaman aqidah dan
syari’ah, penanaman mahabah kepada Rasulullah SAW, dilakukan sejak usia dini.”
Namun ia tekankan juga kepada jama’ah, “Ini bukan majelis
sekadar rame-rame. Ini majelis yang harus tetap berada pada koridor Islam yang
benar. Jama’ah laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan campur baur, dan
pembacaan Al-Qur’an dan Maulid harus disimak baik-baik, agar turun keberkahan
dari Allah Ta’ala buat semua.”
Ia berharap, semoga jama’ahnya meneladani akhlaq Rasulullah
SAW.
Tentang nama Warotsatul Musthofa, nama itu diperoleh lewat
kontak bathin dengan gurunya, Tuan Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz. “Bisyarah
ini saya peroleh dari Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz saat beliau
berkunjung ke Majelis Darul Mushthafa Petamburan beberapa tahun yang lalu,”
kata habib muda keturunan kelima Habib Utsman ini.
Wilayah dakwah dengan bendera Warotsatul Musthofa yang telah
berjalan selama empat tahun ini kini mencakup sebahagian besar wilayah Jakarta,
terutama Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, sebahagian Jakarta Timur dan Selatan,
hingga sampai ke Tangerang, Parung, serta Gunung Sindur di Bogor.
Kesan dan Pesan para Guru
Guru yang sangat dikagumi Habib Muhammad Al-Bagir di
antaranya Habib Muhammad Rizieq Syihab. “Beliau guru pertama ana saat masih
dalam usia belia dan beliau baru pulang belajar dari Arab Saudi,” ujarnya.
Kemudian Habib Ali bin Muhammad Ba’bud (Lawang), Habib Munzir Al-Musawa dan
Habib Quraisy Baharun (Darus Sa’adah Cipayung), Syaikh Obeid Balas’ad (Darul
Mushthafa), almarhum Habib Umar bin Abdullah Alatas (......................),
dan masih banyak lagi. Mereka ini benar-benar mengisi relung hatinya. Maka
wajarlah, keberkahan selalu mengiringi habib muda ini.
Sedang guru yang sangat memotivasinya untuk terjun ke dunia
dakwah yakni Tuan Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz, yang cara mendidik dan
mengajarnya sungguh luar biasa. Ia seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih
dan mengemong murid-murid dengan ilmu dan akhlaqnya. “Bila saya mendapati suatu
hal yang bikin saya jenuh atau terbersit sesuatu hal yang tidak mengenakkan
bathin, usai shalat berjama’ah lalu
berkesempatan memandang wajah Guru Mulia, hilanglah semua permasalahan itu,
tanpa berkeluh kesah atau curhat kepada beliau. Bahkan berganti dengan
ketenangan bathin. Maka, bagaimana bila mendapati senyuman beliau.
Subhanallah...,” kata Habib Bagir dengan mata berbinar
Begitu juga dengan gurunya sejak ia masih kecil dan masih
bermulazamah dengannya hingga kini, yakni Habib Muhammad Rizieq Syihab. Habib
Rizieq selalu menekankan pesan dan kesan yang dalam, baik saat ia hendak
berangkat ke Tarim maupun hingga sekembalinya ke tanah air, dan mengaji lagi
kepadanya, “Jangan pernah berhenti berjuang untuk berdakwah, istiqamah dalam
mengingatkan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.”
Lalu ia menambahkan, “Pesan beliau yang sangat ana pegang
adalah, ‘Jangan berbicara dengan niat orang mau dan harus mendengarkan
pembicaraan kita. Katakan, yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Jangan
meminta sesuatu kepada orang. Jangan mengandalkan keindahan retorika atau
ceramah yang bagus, yang hanya membuat orang senang tapi tidak menyentuh hati
orang yang didakwahi, apalagi menimbulkan akhlaq yang tidak bagus. Yang
terpenting adalah menjaga akhlaq’.”
Begitupun dengan sang ayah. Ada pesan dari ayahnya yang
hingga hari ini terus dijaga. “Saya ingat, waktu itu saya sedang membenahi
pakaian ke dalam koper saya saat detik-detik keberangkatan dari rumah menuju
bandar udara, untuk berangkat belajar ke Tarim. Abah sambil memandangi saya
berkata, ‘Ya Muhammad Al-Bagir, nanti sepulang belajar dari Tarim jangan bawa
pulang apa pun. Satu saja yang dibawa pulang: akhlaq! Abah cuma berharap satu
hal itu. Kitab-kitab boleh dibawa pulang. Pakaian tinggalkan saja, kasih buat
orang-orang di sana.’ Pesan itulah yang terus saya pegang hingga kini,”
demikian Habib Bagir mengenang.
Ya, baginya, akhlaqlah yang pokok, tonggak amal dan
mu’amalah kepada siapa pun. Tidak memandang status seseorang, apalagi
ukuran-ukuran duniawi. Bahkan seorang yang dikatakan alim pun dapat tergelincir
dalam hal ini.
Ia menuturkan, “Seorang jama’ah ana punya kakak cacat seumur
hidup. Sering kali ia menanyakan diri ana kepada adiknya yang ikut majelis ana.
Pengin ketemu, katanya. Walhasil, ana yang pengin datang ketemu kakaknya.
Subhanallah, ia nggak menyangka malah ana yang datang, dan ia terharu.
Ana memang selalu berupaya agar ana bergaul dengan akhlaq
yang mulia, seperti yang dipesankan Abah dan guru-guru ana.”
Meneladani Akhlaq Rasulullah
Ketika alKisah menanyakan ihwal cita-cita, Habib Muhammad
Al-Bagir mengatakan, cita-citanya bukan seperti cita-cita kebanyakan orang,
yang pada umumnya untuk urusan pribadi. Ia bercita-cita ingin jama’ahnya dan
umat ini punya akhlaq seperti akhlaq Rasulullah SAW dan berjalan pada jalan
yang diridhai Allah Ta’ala.
Cita-cita lainnya, ia berharap, lewat Majelis Warotsatul
Musthofa, kelak ia bisa membangun pesantren, lembaga-lembaga sosial, sehingga
ada wadah buat orang-orang susah yang belum berkesempatan menimba ilmu. Sesuai
namanya, Warotsatul Musthofa, yang berarti “warisan Baginda Nabi Muhammad SAW”,
tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan mewariskan ilmu. Dan warisan
itu bukan hanya hak dzurriyyahnya, tapi juga seluruh umatnya. “Mudah-mudahan
ada jalan untuk niatan baik ini lewat orang-orang yang baik, amin...,” katanya
penuh harap.
Habib Bagir juga ada niat untuk menulis, di antara kesibukan
mengajar dan berdakwah. Sebahagian dari fawaid (catatan atas syarah ilmu yang
disampaikan guru-guru secara lisan) dan apa yang terbetik di hati, sejauh ini
sudah banyak dirangkumnya. Namun langkah konkret yang kini tengah difokuskannya
adalah mengumpulkan dan menginventarisir karya-karya kakeknya, Habib Utsman bin
Abdullah Bin Yahya, yang termasyhur sebagai mufti Betawi dan penulis kitab yang
sangat produktif.
Ada kurang lebih 160 buah karya Habib Utsman yang ada di
berbagai negeri dan daerah. Di Hadhramaut sendiri, Habib Bagir mendapatinya di
perpustakaan Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir, seorang ulama penulis
kenamaan. Begitu pun dari beberapa ulama atau kiai Betawi di Jakarta, ada
beberapa karya Habib Utsman yang dikoleksi para kiai ini dalam bentuk cetakan
lama. Sedangkan yang di Belanda, ada di perpustakaan Universitas Leiden.
Habib Bagir ingin agar jama’ah dan umat bisa menggali
karya-karya Habib Utsman ini dan memahaminya kembali. Dengan cara, ia
mempermudah bahasanya dari bahasa Melayu lama, atau menerjemahkan yang
berbahasa Arab.
Untuk saat ini, ia mengajarkan kitab Sifat Dua Puluh dalam
majelis-majelis yang diadakan Warotsatul Musthofa. Ternyata, sambutannya luar
biasa. Dari para kiai dan habaib, Habib Bagir terus mendapat dorongan untuk
mensyiarkan kembali turats (karya) Habib Utsman.
“Habib Ali Bin Sahil, orangtua dan juga guru ana berkata
kepada ana, ‘Kitab enjid (yakni Habib Utsman) mesti kita hidupkan lagi, ya
Muhammad Al-Bagir...’. Begitu pun saat di Hadhramaut, ada seorang kakek ana
yang juga ulama di sana, cicit langsung Habib Utsman, Habib Ali bin Muhammad
Alaydrus, yang ana mengaji kepadanya setiap Kamis, berpesan, ‘Kalau bukan kita
yang membaca karangan-karangan Habib Utsman, siapa lagi?’ Inilah kewajiban yang
harus kita tunaikan dari para orangtua kita,” katanya penuh semangat.
Alhamdulillah, para keturunan Habib Utsman yang lainnya
bahu-membahu untuk menghidupkan atsar (peninggalan) dan turats (karya)-nya. Ada
Habib Ahyad Banahsan di Ma’had Al-‘Abidin Jakarta Timur dan cucu langsung Habib
Utsman, yakni Habib Abdullah bin Yahya bin Utsman Bin Yahya, di Sudimara,
Jombang, yang menghidupkan pembacaan kitab-kitab Habib Utsman di majelisnya,
serta masih banyak lagi para keturunannya. Bahkan banyak juga majelis-majelis
yang diasuh kalangan kiai dan asatidz Betawi yang dalam majelisnya menggunakan
kitab-kitab karya Habib Utsman. Inilah mudah-mudahan bentuk penghargaan atas
keilmuan Habib Utsman dan buah amalnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tahun Baru Hijriyyah
Menutup wawancara dengan habib muda yang murah senyum ini,
ia menyampaikan pesan tentang Tahun Baru Hijriyyah yang akan kita lalui sesaat
lagi. Hendaknya kita mengenang hijrahnya Nabi SAW dan para sahabat dan
mengambil ibrahnya. Mari berhijrah dari keadaan yang tidak diridhai Allah
menuju keridhaan-Nya. Menjadikan hari-hari kita ke depan kepada hal yang lebih
baik lagi, sebagaimana Baginda Nabi SAW menjadikan hari-hari dalam kehidupannya
dalam keadaan yang suci dan baik.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Al-yawm
‘id, bukrah ‘id, ams ‘id, kullu yawmin la na’shi wa la dzanba fihi fahuwa ‘id.”
Yang artinya, hari ini adalah hari raya, besok hari raya, bahkan kemarin juga
hari raya. Setiap hari yang tidak kita isi dengan kemaksiatan dan dosa, itu
adalah hari raya. Maka dari itu, mudah-mudahan, membuka lembaran baru di Tahun
Baru Hijriyyah ini, kita semua selalu memperbaharui hidup dalam keadaan yang
diridhai Allah SWT. Amin.
Diposkan oleh Abu Yazid Bustomi
http://majelisan.blogspot.com/2012/09/ringkasan-biografi-al-habib-muhammad-al.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar