Dakwah di Tanah Gersang
Seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa
dikeluarkan.
Makkah, kota di tengah gurun pasir nan tandus, selalu
menjadi tujuan kaum muslimin setiap tahunnya untuk berhaji. Meski jarak jauh
membentang, harus mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Bukan hanya demi
sebuah kewajiban, yang harus ditunaikan bagi yang mampu, tapi lebih dari itu,
demi kerinduan yang memuncak kepada Sang Pemilik Makkah, Pemilik Ka’bah, Allah
Azza Wajallah.
Khusus bagi seorang muballigh yang alim dan shalih, Habib
Hamid bin Abdullah Al-Kaf, Makkah mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia
tak ‘kan pernah melupakan kota ini. Di sinilah ia tumbuh dewasa, digembleng
dalam taburan ilmu dan hikmah, di bawah asuhan dan bimbingan ulama besar kota
Makkah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasany.
Saat ditemui alKisah di Pondok Pesantren Al-Haromain
Asy-Syarifain, pesantren yang dibangunnya sejak tujuh tahun lalu, di Jalan
Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada tanggal 2 November, sebelum ia
pergi ke Tanah Suci Makkah pada 7 November, dengan senang hati habib yang
berperawakan gagah itu menceritakan bagaimana pengalamannya saat belajar
bersama gurunya tercinta di tanah yang dimuliakan dan disucikan Allah SWT.
“Alhamdulillah, tiada duka. Semuanya sangat menyenangkan....
Ini nikmat Allah yang luar biasa,” katanya.
Berikut penuturan Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf yang
begitu mempesona:
Begitu Dekat dengan Nabi
Saya lahir dan tinggal di kota Tegal. Kedua orangtua saya
berharap, anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, menjadi orang
yang alim dalam ilmu agama. Sebab dengan menjadi orang alim, bisa bermanfaat,
terutama untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat umum.
Alhamdulillah, berkat usaha orangtua, saya dan kakak saya,
Habib Thohir, diberangkatkan ke Makkah Al-Mukarramah, untuk berguru kepada
Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasani, atau sering disapa
“Abuya”.
Abuya adalah ulama yang bersungguh-sungguh menyebarkan aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Beliau berusaha membentengi Aswaja, walaupun
di sana tersebar Wahabi. Karena itu, murid-muridnya pun mempunyai semangat yang
sama. Di tempatnya masing-masing, mereka gigih membentengi aqidah Aswaja,
karena kita berkeyakinan bahwa Aswaja adalah satu-satunya aqidah yang benar.
Kami menuntut ilmu dengan senang. Mulai dari berangkat dari
tanah air, hingga pulang ke tanah air, semua biaya ditanggung Abuya. Bahkan
beliau memberi uang saku kepada kami. Pakaian, kitab, makanan, semua dijamin
Abuya. Ruang tidur kami pun ber-AC. Jadi semua serba nikmat.
Tapi ada syarat utama yang beliau berikan kepada
murid-muridnya. Yaitu, kami harus gigih menuntut ilmu, selalu menjaga akhlaq
yang baik, wirid harus diperhatikan betul, dan selalu shalat berjama’ah.
Akhlaq yang mulia ini sangat penting dan harus diperhatikan
sampai hal yang kecil, mulai dari perkataan, berpakaian, bagaimana berinteraksi
dengan guru, orangtua, menghadapi murid, tamu, dan lain-lain.
Akhlaq ini sangat penting, lebih penting daripada kebanyakan
ilmu. Ilmu banyak, tapi adabnya sedikit, jelek....
Selain mengenai masalah akhlaq, kami juga diajari
bermacam-macam ilmu, seperti tafsir, hadits, fiqih, faraidh, tasawuf.
Jadi, murid-murid lulusan dari sana mempunyai keistimewaan
tersendiri. Kalau bicara tafsir, mereka siap. Bicara hadits, mereka pun siap.
Karena semua ilmu didalami.
Guru saya bukan hanya seorang alim, tapi juga ‘abid, ahli
ibadah, yang luar biasa, baik dari segi bangun malam maupun wiridan. Beliau
juga sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Beliau sering bermimpi bertemu Nabi
Muhammad. Bahkan murid-muridnya atau teman-temannya, baik yang ada di pesantren
maupun di luar pesantren, sering memberikan kabar gembira untuk Abuya dari
Rasulullah lewat mimpi mereka. Ini sering terjadi.
Beliau juga tak pernah lepas dari shalat Istikharah. Bahkan
jika hendak bepergian, beliau tidak akan berangkat kecuali setelah shalat
Istikharah terlebih dahulu. Kadang persiapan sudah dilaksanakan, tapi kemudian
mendapat kabar “lebih baik jangan pergi”, maka beliau membatalkannya.
Semua ini berkah dari hubungan dekat beliau dengan Nabi SAW.
Kecintaan beliau kepada Nabi SAW luar biasa.
Rekreasi Islami
Jika ada waktu luang, beliau mengajak muridnya pergi ke
tempat lain, misalnya ke Thaif, atau Hada, tempat yang dingin, untuk
berekreasi. Tapi rekreasi ini rekreasi Islami. Di sana kami diajak membaca
Maulid, setelah itu membaca ktiab, lalu shalat dan wirid berjama’ah. Kalau ada
waktu kosong, beliau mempersilakan kami untuk bermain atau sekadar jalan-jalan.
Tapi ketika waktu shalat tiba, kami harus tetap shalat berjama’ah.
Jika kami mempunyai waktu luang, beliau memerintahkan kami
untuk selalu membawa kitab. Kata beliau, “Jangan pergi ke mana saja kecuali
membawa kitab. Waktu kosong jangan dibuang begitu saja, tapi gunakanlah untuk
menelaah kitab. Manfaatkan waktu untuk belajar dan beribadah.”
Waktu pertama kali saya datang, saya disyaratkan untuk
belajar minimal lima tahun lamanya. Tidak boleh kurang. Abuya berkata, “Kamu
nggak boleh pulang sebelum lima tahun. Sudahlah, kamu jangan mirikin apa-apa.
Di sini saja belajar.”
Saya pun menerimanya dengan ikhlas. Ketika itu sekitar tahun
1982.
Murid-murid yang datang setahun kemudian, syarat lamanya
belajar naik menjadi 10 tahun. Dan setahun kemudian, syarat itu bertambah
lagi....
Abuya menerapkan sistem demikian karena beliau ingin
murid-muridnya tidak pulang sebelum berhasil. Beliau sering mengatakan, “Kalau
belajar, jangan suka pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Belajar di
satu tempat terlebih dahulu sampai pintar. Jika sudah pintar atau sudah ahli,
silakan pindah ke tempat lain.”
Sebelum murid-muridnya pulang, beliau akan mengevaluasi
mereka.
Saya sendiri bisa pulang ke tanah air setelah tujuh setengah
tahun. Beliau mengizinkan saya pulang dan ridha. Alhamdulillah.
Berkhidmah kepada Guru
Dalam menuntut ilmu, akhlaq terhadap guru harus
diperhatikan. Kita berusaha bukan hanya untuk belajar, tapi juga berkhidmah,
artinya melayani guru.
Bahkan berkhidmah di pesantren bukan hanya melayani guru,
tapi juga teman. Kita membersihkan halaman, kamar mandi, dan sebagainya. Jadi
pesantren kami tidak membutuhkan pegawai, semuanya dikerjakan santri.
Dikatakan, man khadam, khudim, orang yang melayani, pasti
akan dilayani. Apalagi yang kita layani orang alim, orang shalih, seorang
waliyullah.
Ada satu contoh dari Imam Al-Ghazali semasa beliau belajar.
Beliau datang kepada seorang syaikh, orang alim.
“Wahai Syaikh, saya akan berkhdimah, tolong bagikan tugas
kepada saya,” kata Imam Al-Ghazali.
Syaikh menjawab, “Semua sudah dipegang oleh para murid. Air
wudhu saya sudah ada yang nyiapin, sandal saya sudah ada yang nyiapkan,
semuanya sudah. Tinggal satu.”
“Apa itu?”
“Batu untuk istinja saya.”
Dulu, kalau orang buang air besar, menggunakan batu untuk
membersihkan. Batu itu, setelah digunakan, ditaruh, kan najis. Supaya bisa
dipakai lagi, harus dibersihkan, disiram, disucikan, dijemur. Nah, pekerjaan
ini yang masih ada.
Maka, pekerjaan itu pun diterima Imam Al-Ghazali.
Hasilnya, dengan khidmah semacam itu, derajat Imam
Al-Ghazali naik. Beliau menjadi orang alim, shalih, seorang wali, pengikutnya
pun para wali besar. Masya Allah.... Inilah hikmah dari berkhidmah kepada guru.
Dan alhamdulillah, ketika saya pulang ke Indonesia, semua
itu terbukti. Banyak yang melayani saya. Ketika saya hendak berdakwah, banyak
yang membantu saya. Saya berpikir, ini semua berkah dari guru saya. Jadi, orang
yang membantu, pasti akan dibantu.
Nikmat yang Luar Biasa
Di Makkah, selain belajar, kami juga bisa haji setiap tahun.
Bisa juga umrah berulang-ulang, khususnya pada bulan Ramadhan, kami bisa hampir
tiap hari umrah. Abuya mendapat jadwal mengajar di Masjdil Haram. Setiap
berangkat, beliau selalu mengajak beberapa muridnya. Beliau mengizinkan kami
untuk umrah.
Setiap tahun diajak haji. Haji juga dengan beliau, dengan
orang alim. Di Indonesia orang pengin haji dituntun oleh kiai dan ustadz. Ini
dengan orang alim yang hidupnya di Makkah.
Ketika beliau membaca doa di Arafah, bukan hanya muridnya
yang datang, tapi juga kiai, ikut kumpul di kemah tersebut. Ya Allah, nikmatnya
luar biasa....
Sungguh nikmat luar biasa. Mempunyai guru orang baik, tempat
belajarnya baik, sarana dan prasarana di sana pun menyenangkan. Tapi syaratnya
juga berat, seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa
dikeluarkan.
Abuya adalah orang yang sangat tegas. Namun begitu, semua
itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada murid-muridnya. Ada satu
kesukaan beliau, yaitu dipijat oleh santrinya. Tapi bukan sembarang pijat,
beliau mempunyai maksud agar ketika dipijat terjadi hubungan yang sangat dekat
dengan muridnya.
Semua murid ingin memijat beliau. Setiap murid senantiasa
menunggu panggilan beliau. Kami sangat mencintai guru kami. Hubungan dengan guru
bukan hanya dunia, tapi juga akhirat. Kami semua ingin mendapat doanya dan syafa’atnya.
Suatu ketika, beliau memangil saya. Saya pun langsung
meloncat, kegirangan, dan langsung cepat-cepat mendatangi beliau.
Ketika itu beliau bertanya, “Abah kamu punya anak berapa?”
“Dua belas, Abuya,” kata saya.
“Abah kamu kan anaknya banyak, satu untuk saya saja. Kamu
untuk saya saya ya...,” kata Abuya.
Mendengar harl itu saya diam saja. Siapa yang tidak ingin
menjadi putra Abuya. Tinggal dan berkhidmah kepadanya. Tapi saya juga ingat
orangtua saya. Jadi, ketika Abuya mengatakan demikian, saya diam saja.
Saya merasa begitu dekat dan disayang Abuya. Tapi, bukan
saya saja yang merasa demikian. Semua murid merasa disayang Abuya. Sungguh,
beliau menyayangi kami semua.
Pada tahun 1989, Abuya mengizinkan saya pulang. Namun,
sebelum mengizinkan muridnya pulang, beliau beristikharah.
Beliau mengizinkan saya pulang dengan memberikan banyak
ijazah amalan kepada saya, beliau juga memakaikan imamah kepada saya. Dan tak
lupa beliau memberi uang saku untuk saya pulang.
Ponpes Al-Haromain Asy-Syarifain
Sepulang dari Makkah, saya tinggal di Tegal. Pada tahun
1992, saya menikah dengan adik bungsu Habib Abdul Qadir Alatas, pengasuh
Pesantren Al-Hawi, Condet.
Kemudian saya mulai bolak-balik Jakarta-Tegal, dan mulai
mengajar di beberapa tempat. Hingga akhirnya orangtua saya mengizinkan saya
tinggal di Jakarta, tepatnya di Kebon Nanas.
Setelah itu saya merintis pendirian pesantren. Saya mendapat
izin dari Abuya, lalu mencari-cari tanah, dan mendapatkannya di Jln. Ganceng,
Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Maka, pada 21 April 2003, berdirilah pesantren
yang saya namai “Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain”.
Nama ini sesuai dengan tempat belajar saya, yaitu Makkah dan
Madinah. Dua tempat yang disucikan dan dimuliakan.
Sedikit demi sedikit tanah di sekitar pesantren saya
bebaskan. Kini luas tanah pesantren sekitar 7.150 meter. Guru-guru di pesantren
ini sebagian berasal dari Pesantren Al-Anwar, Rembang, pimpinan K.H. Maimun Zubair,
seorang kiai sepuh yang sangat alim dan shalih.
Setelah beberapa waktu, alhamdulillah, masyarakat di sini,
Pondok Ranggon, menyambut dakwah saya dengan baik. Semua itu karena kami
sepaham dan seaqidah.
Dalam berdakwah, saya mengikuti metode para habib dan ulama
shalihin. Yaitu tidak memulai pengajian dengan langsung mengkaji kitab, tapi
memulai dengan Maulid, dilanjutkan dengan pembacaan wirid, seperti ratib,
kemudian pengajian, dan diakhiri dengan doa.
Mengapa harus Maulid dan wirid terlebih dahulu?
Ilmu ini sangat mahal. Lebih mahal daripada intan berlian.
Ibarat orang menjual barang mahal, barang itu harus ditempatkan di tempat yang
bagus dan apik. Jika tidak, dagangannya tidak akan laku. Tapi kalau ditempatkan
di tempat yang bagus, insya Allah orang pun akan tertarik.
Contoh lainnya, bila kita hendak makan. Makanannya sangat
lezat, tapi ditempatkan di piring yang kotor dan bau. Apakah kita mau
memakannya? Tentu tidak. Karena itu, sebelum makan, piring tempat kita makan
harus dibersihkan dulu.
Begitu pula dengan ilmu. Supaya ilmu meresap ke dalam hati,
hati harus dibersihkan dahulu. Yaitu dengan cara membaca Maulid dan wirid. Dan
supaya ilmu itu tidak keluar lagi, setelah pengajian kita membaca doa, supaya
ilmu yang diajarkan ketika itu melekat ke hati dan menjadi penerang jalan hidup
kita.
Alhamdulillah, dengan cara seperti ini, dakwah saya meluas
ke mana-mana. Undangan untuk mengisi pengajian pun semakin banyak. Yang tadinya
saya mengisi sebuah majelis di sebuah wilayah seminggu sekali, karena waktunya
harus dibagi, untuk satu majelis hanya bisa satu bulan sekali. Hari-hari
selebihnya kami serahkan kepada ustadz atau guru-guru yang sudah saya tunjuk,
yang tentunya paham dan aqidahnya sama.
Dalam waktu satu bulan, paling tidak hanya 30 tempat atau
majelis yang bisa saya datangi. Sementara kampung-kampung yang tersebar di
sekitar sini ada ratusan kampung.
Majelis Mahabbaturrasul
Lalu, bagaimana supaya kampung-kampung yang masih “gersang”
ini bisa tersirami dengan dakwah Aswaja dengan baik?
Saya pun membentuk majelis dakwah keliling bernama “Majelis
Mahabbaturrasul”. Mahabbaturrasul artinya cinta Rasulullah, dan insya Allah
cinta ini akan mendatangkan kecintaan Rasulullah kepada kita.
Majelis ini diawali dengan konvoi dari Pondok Pesantren Al-Haromain
Asy-Syarifain lalu berakhir di sebuah tempat. Di tempat itulah jama'ah
berkumpul, dan didakan acara ceramah. Penceramah tidak hanya saya, tapi juga
kiai-kiai dan ustadz-ustadz yang datang ketika itu.
Awalnya, majelis ini hanya berlangsung satu bulan sekali.
Namun karena permintaan semakin banyak, akhirnya diadakan seminggu sekali.
Setiap pengajian, alhamdulillah, jama’ah yang datang tidak
hanya dari kalangan muhibbin, tapi juga para ulama, kiai, pejabat, orang awam,
para pemuda. Ini sebagai tahaddusan binni'mah, menyebut-nyebut nikmat Allah,
yang dianjurkan oleh Rasulullah.
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar