Rabu, 08 Januari 2014

ISYARAT KEWAFATAN SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI

a.      Detik-detik Kewafatan Abuya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki

Al-Habib Hamid bin Zaid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa (Hadramaut Yaman) dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid Muhammad al-Maliki. Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H, Habib Hamid menerima telepon dari Sayyid Muhammad al-Maliki di Mekah dan memintanya supaya datang ke Mekah untuk umrah dan menemuinya. Habib Hamid memenuhi undangan tersebut dan bersama istrinya segera mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya. Tiket dan visa sudah diurus oleh biro perjalanan yang ditunjuk Abuya (panggilan hormat untuk Sayyid Muhammad al-Maliki).

“Saya hanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya”, kata Habib Hamid.

Hari kedua Ramadhan, Sayyid Muhamad al-Maliki kembali meneleponnya. Beliau meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. “Kamu harus cepat menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah”, pinta Sayyid Muhammad al-Maliki terkesan agak cemas.

Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk memastikan Habib Hamid dan istrinya jadi berangkat. “Ketika itu Abuya bilang agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah Saw. dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar secepatnya sampai di Mekah.”

Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah. Di bandar udara, dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad al-Maliki dan membawanya ke hotel yang telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian terbang ke Mekah. “Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah satu murid beliau untuk menemui orang yang paling saya kagumi, Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani. Sungguh tegang dan jantung berdetak lebih keras dari biasanya.”

Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Hamid di ruang kerjanya. “Beliau memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf (Bukit Duri), Habib Abdullah al-Kaf (Tegal), KH. Abdullah Faqih (Langitan) dan ulama lainnya. Saya jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan, agar nanti berbuka puasa bersama dengannya”, kenang Habib Hamid.

Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad al-Maliki menjemput Habib Hamid. “Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia?” Tanya Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.

“Saya membawa dodol durian kesukaan Abuya.” jawab Habib Hamid.

Wajah Sayyid Muhammad al-Maliki tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada di situ. Beliau juga langsung mencicipinya saat buka puasa tiba.

“Ada titipan lagi buat saya?” tanya Abuya lagi.

“Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng”

Dahi Abuya berkerut. “Kelengkeng? Buah apa itu?” tanya beliau.

Habib Hamid menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. “Abuya tampak suka sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat Isya.” Tutur Habib Hamid.

Malam itu, tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid berkesempatan shalat Isya dan Tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammad al-Maliki. Saat itu ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid Muhamad al-Maliki memanggil Habib Hamid.

“Hamid bin Zaid, kamu jadi imam Tarawih!” kata Sayyid Muhammad al-Maliki. Habib Hamid tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk menjadi imam. Sementara di situ banyak ulama besar yang pasti lebih layak menjadi imam shalat Tarawih.

Sekali lagi Sayyid Muhammad al-Maliki memanggil Habib Hamid. “Hamid bin Zaid, kamu yang akan menjadi imam.”

“Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya gemetar. Membaca surah al-Fatihah yang biasanya lancar di luar kepala pun, menjadi terasa sangat sulit. Alhamdulillah, saya mampu melewati ujian berat itu dengan baik, meskipun harus gemetaran.” Habib Hamid melanjutkan ceritanya.

Selesai shalat Tarawih, Sayyid Muhammad al-Maliki membaca shalawat dan qasidah. “Menurut murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Beliau juga sering berziarah ke makam istri pertama Nabi Saw. bersama keluarganya. Sebelum meninggalkan masjid, beliau memanggil dan menyuruh saya umrah malam itu juga.”

“Sebelum saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan pertemuan dengan para ulama Mekah, sangat menyita waktunya.”

Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat Tarawih bersama dan untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah. “Ajaklah istrimu untuk umrah dan kembalilah untuk shalat Shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya berangkat umrah. Saya pun berpamitan sambil meminta izin untuk pergi ke Jeddah, sekadar silaturrahim ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke Jeddah.”

Pagi hari tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Shubuh bersama bersama Sayyid Muhamad al-Maliki. Beliau terkejut saat saya berada di sampingnya. “Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?” tanyanya.

“Tidak Abuya”, sahut Habib Hamid.

“Bagus!” jawab Abuya sambil memeluknya.

Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat Tarawih yang diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid mendapat perintah Sayyid Muhammad al-Maliki untuk umrah yang ketiga kalinya.

“Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya memang tak enak saat beliau mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana lain untuk saya besok.”

Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi imam Tarawih oleh Sayyid Muhammad al-Maliki. Saat itu jamaahnya sekitar 200 orang, sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya. “Malam itu, beliau merasa letih dan kakinya kesemutan.”

Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian. Sayyid Muhammad al-Maliki kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya, masih tekun menulis dan membaca buku. Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. “Abuya juga punya kebun buah yang cukup luas.” Kata Habib Hamid.

Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di rumah sakit. Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk. “Apa kabar Hamid bin Zaid, kamu betah di sini?” tanya Abuya ambil memandangku. Seperti biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang sakit.

“Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma’la, ke makam Sayyidah Khodijah al-Kubra. Ziarah kali ini aneh. Biasanya istri Abuya tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca sholawat dan qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga bersama-sama membaca al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah Saw.” ungkap Habib Hamid.

Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. “Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!”

b.      Saat Bulan Purnama Tersaput Awan

Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad al-Maliki meminta izin kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya: “Ada apa, Abuya?”

Abuya al-Maliki menjawab: “Tidak ada apa-apa.”

Saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan. “Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan?”

Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar”, cerita Habib Hamid sambil mengenang peristiwa penting itu.

Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam. “Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat Shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar kerjanya.”

Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan. “Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di bumi (maksudnya karpet)?”

“Terserah Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya?

“Saya akan istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad al-Maliki.

Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu beliau menengadah menyebut, “Lailaaha illallah….”

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un...” hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani wafat. Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren.

Tepat seusai shalat Shubuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. “Saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau dimakamkan, dekat dengan makam Sayyidah Khadijah al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat Tarawih.”

c.       Berkah Doa Al-Fatihah

Mari kita hadiahkan al-Fatihah untuk Guru kita al-‘Allamah al-Muhaddits Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Beliau wafatnya pada hari Jum’at, malam 15 Ramadhan di waktu sahur, wafat di saat beliau beristighfar di waktu Sahur, pada malamnya beliau tidak mengajar kitab-kitab namun banyak menceritakan perihal surga dan menyatakan hasratnya untuk bertemu dengan ayahnya, Sayyid Alawi al-Maliki.

Beliau wafat hari Jumat 15 Ramadhan 1425 H bertepatan dengan tanggal 29 Oktober 2004 M dan dimakamkan di pemakaman al-Ma’la di samping makam istri Rasulallah Saw. Khadijah binti Khuailid Ra. dengan meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alawi, Ali, al- Hasan dan al-Husein dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu di sini.

Ilaa hadhrotinnabiyil musthofa rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, wa ila ruuhi sayyid muhammad bin alawi al-maliki qoddasallahu sirrohu wanawwaro dloriihahu, al-Fatihah...

http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/07/isyarat-kewafatan-sayyid-muhammad-bin.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar