Rabu, 08 Januari 2014

Al Habib Mustofa bin Soleh Al-Haddad

Gigih Beramar Ma’ruf Nahi Munkar


Usianya telah merambat senja, namun semangatnya dalam menegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap membara. Itulah sosok dai Habib Mustofa bin Soleh Al-Hadad dari Pontianak yang juga dikenal sebagai Ketua Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat


Pria berumur 58 tahun ini gigih membrantas segala bentuk kemunkaran di mana tempat. Kerap ia berurusan dengan aparat keamanan dan pemerintah di Pontianak karena kevokalannya menyuarakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bahkan ia sempat ditahan oleh kepolisian karena sikapnya yang berlawanan dengan sikap pemerintah. Tapi itu dulu, sekarang ia banyak berkecimpung dalam barisan Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat dan juga kesibukannya banyak diisi dengan berdakwah baik di Pesantren yang ia pimpin atau pun menghadiri majelis-majelis taklim yang mengundangnya.

Habib Mustofa bin Soleh Al-Haddad, kelahiran Pontianak 17 Agustus 1949 ini adalah putra 3 dari 6 bersaudara dari Habib Soleh Al-Haddad. Ia mengenyam pendidikan dasar sampai kelas III Sekolah Rakyat (SR). Kemudian ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang (Jawa Timur) yang diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih selama 10 tahun (1957-1967).

Selama di Darul Hadits, ia seangkatan dengan Habib Syekh bin Ali Al-Jufri, Habib Abdul Qadir Al-Hadad (Condet, Jakarta Timur), Habib Mustofa bin Abdul Qadir Alaydrus (Sabilal Muhtadin, Jakarta Selatan), Habib Ahmad Habsyi (Palembang), Habib Abdullah Abdun (Malang), Habib Abdullah bin Alwi Al-Kaff (Cirebon), Habib Ali bin Ahmad Al-Jufri (Pekalongan) dan lain-lain.

Habib Mustofa mengaku sangat terkesan selama menempuh pendidikan di Pesantren yang banyak menghasilkan ahli hadits itu. ”Banyak ilmu yang diajarkan kepada saya sehingga saya bisa seperti ini. Ini semua berkat bimbingan beliau dan putranya Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.”

Pesan dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih kepadanya dan selalu dipegangnya sampai sekarang:”Belajarlah kamu hati-hati dan kamu sebagai seorang ulama; jaga sikap tawadhu, jangan sombong dan takabur. Gunakanlah ilmu ini untuk menegakan kalimat tauhid dan sampaikan ilmumu untuk mendidik umat Nabi Muhammad SAW supaya menjadi umat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.”

Setelah dari Darul Hadits pada tahun 1967, ia pulang ke Pontianak dan belajar dengan abahnya sekitar 10 tahun sampai meninggal. Abah Habib Mustafa, Habib Soleh bin Alwi bin Abubakar Al-Haddad adalah seorang ulama yang wafat pada bulan Muharam 1403 H.

Pada tahun 1994, ia mendirikan pesantren pada tahun 1994. “Sekarang ada 300 santri, yang menetap sekitar 100 santri dan 60 diantaranya adalah anak-anak yatim piatu,” kata Bapak 19 putra (10 laki-laki, 9 putri) ini kepada alKisah.

Latar belakang membuka pesantren yang banyak dihuni oleh anak-anak yatim piatu, ”Karena kita ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW. Karena Rasulullah merangkul pada anak-anak yatim, dan kita perlu membina anak-anak yatim ini,” kata ketua Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat ini lebih lanjut.

Menurutnya, selama mengasuh Pesantren, tantangan dan hambatan nyaris sangat sedikit, ”Biasa santri-santri ada yang nakal dan ada yang tidak. Cuma itu lainnya tidak ada,” katanya. Lebih lajut, Habib Mustofa menuturkan kalau perjuangan dilandasi dengan semangat keikhlasan akan banyak ditolong oleh Allah SWT. ”Dengan semata-mata berjuang untuk menolong umat Rasulullah SAW supaya bertaqwa kepada Allah. Kami Alhamdulillah tidak kekurangan makanan dan minuman. Banyak donatur yang, mengantarkan kebutuhan santri ke Pesantren.”

Selain itu, di pesantrennya santri-santri mendapat perlakuan yang sama sebagaimana anak-anaknya. “Kami menganggap seluruh santri yang ada di Pesanteen ini seperti anak sendiri. Santri dan anak kita tidak ada perbedaan. Sama seperti anak kita. Kita selalu berdoa kepada Allah, supaya santri-santri ini bisa diberikan ilmu yang bermanfaat dijadikan ulama yang warasatul anbiya (Pewaris para Nabi) supaya kalau kita mati merekalah yang bisa meneruskan pondok pesantren ini. Hanya itu niat kami.”

Selain itu, di pesantren Riyadhul Jannah Pontianak, santri-santri diwajibkan menggunakan bahasa arab sebagai bahasa percakapan bersehari-hari.”Kalau mereka sudah betul-betul fasih berbahasa Arab dan ilmu nahwunya, baru mereka diperbolehkan memperdala bahasa asing lainnya, seperti bahasa Inggris. Sebab kalau kita tak tahu ilmu Nahwu, tidak boleh kita mengartikan Al-Qur’an.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar