Rabu, 09 Oktober 2013

AL HABIB ABDURRAHMAN BIN ALI AL HABSY KWITANG

“Abah, sangatlah senang hatiku setiap kali menerima hadiah baju dari Abah. Namun, Abah, alangkah lebih senangnya lagi hatiku bila baju yang kukenakan adalah baju yang bekas abah pakai”.
”Ini cucu dari kakakku yang bernama Abdurrahman,” ujar Habib Muhammad, Putra Habib Ali Kwitang, saat memperkenalkan salah seorang cucu Habib Abdurrahman bin Ali Habsyi kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki yang sedang berkunjung ke Indonesia beberapa puluh tahun silam. Saat itu, dikediaman Habib Husein bin Ali Al-Attas, Gg. Buluh, Condet, Jakarta Timur, Al Maliki Terperanjat, ”Jadi, Habib Ali Kwitang mempunyai seorang putra lainnya, dan itu kakakmu, ya Habib Muhammad? Ajib!”

Saat berumur 20 tahun, Habib Ali Kwitang, yang kelahiran tahun 1869, menikah dengan Syarifah Aisyah, dari keluarga Assegaf, di Kebon Jahe, Jakarta Pusat. Dari pernikahannya itu, Habib Ali di Anugerahi Anak yang pertama bernama Habib Abdurahman. Memang, Sosok putra sulung Habib Ali Kwitang ini tidak banyak diketahui orang. Mungkin karena ia wafat selagi muda, jauh sebelum wafatnya Habib Ali Kwitang sendiri. Padahal, selagi hidup , kharisma cukup besar. Warga Kwitang, tempatnya lahir dan dibesarkan, sangat menaruh hormat kepada Wan Derahman, demikian mereka biasa menyebut Habib Abdurrahman bin Ali Al Habsyi.

SANGAT TAAT KEPADA ORANG TUA
Habib Abdurrahman lahir sekitar tahun 1890 dikampung kwitang, Jakarta, tepatnya di jl. Kramat II No.79, semasa hidupnya , Habib Abdurrahman dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak keistimewaan. Ayahnya adalah guru yang pertama baginya. Selain kepada ayahnya, ia juga menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas Bogor dan Habib Ahmad bin Abdullah Al Attas Pekalongan. Meski tidak sempat lama, ia pernah pula menuntut ilmu di negeri leluhurnya, Hadramaut. Disana ia berguru kepada sejumlah ulama besar Hadramaut di masa itu. Diantaranya Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab, Kakek Abdullah bin Muhammad Syahab, salah seorang ulama besar Hadramaut saat ini yang digelari Galbur Tarim, Jantungnya kota Tarim. Disebutkan pula, gurunya yang lain disana adalah Habib Syech bin Abdurrahman Al Kaf dan Habib Sahil bin Abdullah bin Sahil.

Habib Abdurrahman adalah seorang yang sangat taat dan berbakti kepada sang ayah. Bila menjumpai ayahnya, ia selalu bertutur kata dengan halus. Sewaktu berpisah pun ia berjalan mundur, karena tidak ingin membelakangi ayahnya.

Dikisahkan pula, bila ia dibelikan baju baru oleh ayahnya, ia terima sepenuh hati hadiah itu dengan wajah berseri–seri. Tapi baju baru itu tidak segera dikenakannya. Tidak berapa lama, ia berikan baju itu kepada orang lain. Beberapa kali kejadian itu terjadi, hingga suatu saat Habib Ali bertanya kepadanya, ”Wahai Abdurrahman, mana baju yang baru kuberikan kepadamu kemarin?” Habib Abdurrahman menjawab, “Abah, alangkah lebih senangnya lagi hatiku bila baju yang kukenakan adalah baju yang bekas abah pakai”.

Selain mencerminkan rasa ta’zimnya yang begitu besar kepada sang ayah, kisah diatas juga menunjukkan hatinya yang pemurah kepada sesama. Sekali waktu, pernah Habib Muhammad, adiknya, terlambat pulang kerumah, sedang hari sudah larut malam. Dari kejauhan Habib Muhammad melihat kakaknya sedang berdiri di depan rumah. Karena pulang agak larut, ia sungkan kepada sang kakak. Maka ia ambil jalan memutar kepintu samping. Ternyata di pintu samping rumahnya itu pun ada Habib Abdurrahman, yang tengah berdiri. Ia memutar lagi lewat pintu belakang. Aneh, lagi–lagi dipintu belakang rumahnya itu ia lihat Sang kakak. Habib Abdurrahman kemudian memanggilnya dengan lembut ia berkata, ”Ya Muhammad, jangan takut kepadaku. Sekarang masuklah, ini waktunya sudah malam. Nati ente sakit, masuk angin. Lain kali jangan pulang terlalu larut. Jangan sampai abah yang membukakan pintu. Kasihan, Abah sudah sepuh.”

BUAH DARI AKHLAK MULIA

Habib Abdurrahman juga aktif dalam mengikuti berita berita pergerakan yang tengah marak pada saat itu. Diantara kawan akrabnya adalah H. Agus Salim, seorang tokoh pergerakan nasional yang terkenal. Sewaktu terjadi ikhtilaf antara jami’at Kheir dan Al Irsyad, ia mengkliping berita–berita dari berbagai surat kabar dan tulisan–tulisan yang terkait dengan itu. Ia memang seorang yang gemar membaca. Sementara itu, akhlaq mulia Habib Abdurrahman kepada orang tuanya menjadi faktor utama yang dikemudian hari membuahkan maqam yang tinggi baginya disisi Allah SWT. Banyak kisah yang beredar terutama bagi warga Kwitang yang menyebutkan kelebihan dirinya.

Suatu saat, ketika dirinya tengah sakit, kebetulan sang ayah hendak mengunjungi Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas Bogor, gurunya sekaligus guru ayahnya pula. “Ya Abdurrahman, abah mau ke Habib Abdullah, nanti sekalian Abah minta air untuk didoakan Habib Abdullah agar sakitmu lekas sembuh.” Sesampainya di Bogor, Habib Ali mengutarakan hajatnya terkait dengan kondisi putra nya kepada Habib Abdullah. Sambil menunjuk secangkir kopi di hadapannya, Habib Abdullah mengatakan, “ini kopi anakmu.” Rupanya Habib Abdurrahman baru saja beranjak pulang dari tempat Habib Abdullah. Aneh memang, padahal tadi Habib Ali meninggalkan Habib Abdurrahman yang tengah berbaring sakit. Habib Ali pun memahami bahwa putranya ini memiliki kedudukan khusus di sisi Allah SWT.

Seringkali pula bila Habib Abdurrahman masuk kekamar setelah berhari–hari baru keluar. Banyak yang kemudian menghubungkannya dengan sejumlah kabar yang dibawa orang–orang yang baru pulang dari tanah suci yang kerap menjumpai Habib Abdurrahman disana Wallahu a’lam. Suatu hari ia mengantar kepergian seseorang yang hendak pergi haji sampai ke pelabuhan Tanjung Priok. Sesampainya di Tanah Suci, orang tersebut kaget bukan kepalang, karena orang pertama yang menyambutnya disana adalah Habib Abdurrahman sendiri.

Orang banyak yang menyakininya sebagai salah satu seorang waliyullah. Entah kenapa, bila sedang datangnya hal-nya (keadaaan tertentu yang biasa dialaminya seorang wali), ia merokok, dengan mengisap sebatang lisong. Sekali waktu seorang pedagang soto yang ingin berharap keberkahan darinya memungut sisa puntung rokoknya. Ia menyimpannya di tempat ia menyimpan uang dagangannya. Ia menyakini, dengan izin Allah, keberkahan Habib Abdurrahman akan membawa keberuntungan bagi dirinya. Dagangannya ternyata menjadi lebih laris dari biasanya. Yang lain hendak mengikuti hal itu. Sayang, sejak saat itu meski mereka mereka sering mengintai kapan kiranya Habib Abdurrahman merokok, mereka tak pernah menjumpai sisa puntung rokonya lagi.

MENIKAHI GADIS BELANDA
Di dekat pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda mulai membolehkan mereka tinggal diluar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota. Habib Abdurrahman Al Habsyi sering mendatangi kawan–kawannya disana dengan berjalan kaki, mengenakan sarung, serta kopiah dan berbaju putih.

Dari seringnya ia menyambangi kawan–kawannya itulah ia bertemu dengan jodohnya, yaitu Maria Van Engels, seorang gadis Belanda yang bekerja di sebuah perusahaan jahit milik orang Belanda. Setiap kali ia ke Gang Abu, ia melewati tempat Maria bekerja. Awalnya Habib Abdurrahman tak dihiraukan. Tapi lama– kelamaan hati Maria pun terpikat, hingga kemudian mereka berdua sepakat menikah. Maria terlebih dahulu menyatakan setuju menjadi muslimah dan mengganti nama jadi Maryam. Ibunya, yang biasa disebut encang, ikut bersama anak gadisnya.

Menjelang pernikahan mereka di kediaman Habib Ali Kwitang (kini Majelis Ta’lim). Tersiar isu serombongan tentara Belanda siap mendatangi Kampung Kwitang untuk menggagalkannya. Namun, rupanya penduduk Kwitang tak kalah gesitnya. Sejumlah jagoan dan jawaranya, seperti Haji Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap menyambut kedatangan mereka. Mereka menunggu di Warung Andil, perempatan Jalan Kramat II (dulu Gang Adjudant) dan Kembang 1, siap menyambut kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.

Setelah pernikahan secara islam, Maryam jadi menantu kesayangan Habib Ali dan tinggal disamping rumah mertuanya. Ia cepat dapat bergaul dan berpartisipasi dengan masyarakat sekitar. Orang–orang kampung Kwitang menyebut Wan Non. Non adalah kependekan dari Noni, sebutan khas gadis gadis Belanda. Dikemudian hari, cucunya memanggil Jidah Non. Setelah berkeluarga, oleh Habib Abdurrahman, Wan Non diminta kesediaannya untuk tidak keluar kamar selama 2 tahun. Hal itu dimaksudkannya untuk melatih dan mendidik agama kepada istrinya, yang muallaf.

Sejak saat itu Wan Non tidak pernah melepaskan busana muslim. Ia memakai kain dan kebaya, serta berkerudung, dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih. Sampai akhir hayatnya, Wan Non pun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan mahram. Sedang ibunya, yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu shalihah. Bahkan ia diberangkatkan ke Tanah Suci.

Suatu malam di tahun 1961, Wan Non, yang sedang sakit, menginginkan semua keluarga berada didekatnya. Dan dimalam itu juga ia wafat. Jenazahnya dibaringkan didekat kamar mertuanya, Habib Ali Kwitang. Sejumlah ulama terkemuka Jakarta, seperti K.H. Abdullah Syafii, K.H. Tohir Rohili, K.H Nur Ali, hadir diantara ribuan pelayat. Wan Non, yang meski terlahir dari keluarga Non Muslim, menjadi satu contoh keberhasilan didikan agama yang ketat dari seorang suami dan kepala rumah tangga. Meski suaminya kemudian wafat lebih dulu (1941), Wan Non tetap menjalankan kehidupannya dengan penuh taqwa, hingga akhir hayatnya.

DAKWAH HARUS TERUS BERLANJUT

Suatu hari, ditahun 1941, Habib Abdurrahman mengundang sejumlah orang untuk membaca tahlil bersama pada suatu malam yang ia telah tentukan. Beberapa hari kemudian, ia juga mendatangi seorang penggali kubur di kompleks pekuburan Tanah Abang. Saat itu ia memesan sebuah kuburan dengan ukuran tertentu, seraya mengatakan kepada si penggali kubur bahwa kuburan itu di pesan untuk seorang putra Habib Ali Kwitang yang wafat, yang bernama Abdurrahman.

Pada hari acara tahlil yang telah ditentukan, pada hari itu pula Habib Abdurrahman wafat. Ternyata Habib Abdurrahman sendiri. Begitu pula saat si penggali kubur hendak berta’ziyah ke Habib Ali Kwitang, betapa kagetnya ia melihat jenazah. Ternyata orang yang memesan lahan kuburan itu adalah Habib Abdurrahman sendiri. Rupanya Habib Abdurrahman sudah beroleh kabar terlebih dulu dari Yang Menciptakannya, Allah SWT, akan masa akhir hidupnya.

Beberapa puluh tahun setelah wafatnya Habib Abdurrahman, seorang putranya yang bernama Muhdhar tengah dilanda kesulitan. Suatu malam, ia bermimpi ditemui sang ayah. Ayahnya berpesan, dibawah salah satu tiang rumah nya, ia meninggalkan sesuatu untuknya. Siangnya Habib Muhdhar menggali tempat itu. Setelah digali, ia menemukan sebuah kotak kayu berukuran kecil. Ketika dibuka, didalamnya terdapat benda–benda peninggalan Habib Abdurrahman berupa Jubah, sorban, dan sebuah kitab kumpulan dzikir yang merupakan tulisan tangan Habib Abdurrahman.

Meski orang sekarang tidak banyak yang mengenalnya, namanya ternyata termasyhur bagi sejumlah pihak. Saat salah seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah terkenal, Syaikh Nazim Al Haqqani, pertama datang ke Indonesia, diantara yang ditanyakan adalah di mana makam Habib Abdurrahman bin Ali Al Habsyi . Al Haqqani mengatakan, ia mengetahui sosok Habib Abdurrahman sebagai seorang sufi besar yang menjadi seorang mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah. Orang banyak pun takjub mendengar informasi dari Al Haqqani tersebut.

Habib Abdurrahman dimakamkan di pekuburan Tanah Abang. Sayang kini, makamnya sudah tidak ada lagi, terkena bongkaran di zaman Gubernur Ali Sadikin. Saat makamnya dibongkar, sebagaimana halnya pada makam Habib Ustman Mufti Betawi, Jasadnya tidak ditemukan sama sekali. Namun, secara simbolis tanah bekas kuburannya pun dipindahkan ke jeruk purut. Keanehan lagi-lagi terjadi, beberapa hari setelah dipindahkan,”makam”nya menghilang tanpa bekas. Pesan Habib Abdurrahman dalam mimpi tersebut lewat sejumlah benda peninggalannya memiliki makna yang dalam, diantaranya dakwah yang harus terus berlanjut. Itu selaras dengan salah satu pesan Habib Ali Kwitang, sebagaimana dikisahkan kembali oleh seorang keturunannya, hendaklah salah seorang dari keturunannya menjadi khatib dalam pelaksanaan shalat id di Masjid Al Riyadh, Masjid yang didirikannya.

Amanah tersebut juga menyimpan pesan perlu kaderisasi dakwah dari Habib Ali Kwitang kepada keluarganya secara keseluruhannya. Saat ini Habib Muhammad Amin Al Habsyi, salah seorang keturunan Habib Abdurrahman, turut mengemban amanah tersebut. Lewat Majelis Syababun Nabawi yang dipimpinnya, ia menggelar majelis–majelis ilmu dan dzikir. Di Majelis itu pula, yang terletak di kampung pabuaran, cicadas, Gunung Putri, Haul Habib Abdurrahman Al Habsyi diperingati setiap tahunnya, yaitu di Sabtu pertama bulan Jumadil Awal.

Sumber: Majelis Ratib Muhyin Nufuus Syamsi Syumus, Kwitang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar