Perjuangan
Dakwahnya di Tanah Banjar (1722-1786M)
Nama lengkap
ulama ini adalah Syekh Abdul Wahab Bugis al-Banjari dengan gelar
kebangsawanannya Sadenreng Bunga Wariyah. Sebagai salah satu figure sentral
dari jaringan ulama Nusantara, Syekh Abdul Wahab Bugis memiliki jasa, peranan,
dan perjuangan yang besar terhadap perkembangan dakwah, terutama di
Banjarmasin. Walau pun beliau bukan orang Banjar, tetapi ilmu, amal, dan
perjuangan hidupnya, telah dibaktikan untuk kejayaan Islam di Tanah Banjar.
Beliau dikenali sebagai salah seorang ahli daripada „Empat Serangkai‟ Ulama
Nusantara yang hidup sezaman dan mengkaji ilmu di Tanah Haramain; iaitu, Syekh
Abdul Shamad al-Palimbangi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syekh
Abdurrahman al-Misri al-Betawi. Setelah keempat-empat ulama ini balik ke Indonesia, Syekh Abdul Wahab
Bugis yang telah dikahwinkan dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, ikut ke Banjarmasin. Di Banjarmasin, beliau yang diiktiraf sebagai
sebagai ulama besar telah berkongsi dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
untuk mendakwahkan Islam di Banjarmasin. Oleh Sultan Banjar waktu itu, beliau
diangkat menjadi penasihat dan guru spiritual istana, beliau juga mengkader
umat, dan ikut membantu membuka kawasan kosong bersama-sama dengan Al-Banjari
untuk dijadikan sentral pendidikan agama. Namun, terbatasnya data-data dan
maklumat bertulis ataupun catatan-catatan tertentu yang mengungkap biografi
atau riwayat, dan tidak adanya karya tulis pasti yang ditinggalkan, menjadi
punca apabila ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis tidak begitu popular dikenal
oleh masyarakat Melayu dan masyarakat Banjar khasnya atau pun disinggung oleh
para sarjana dan sejarawan. Oleh itu, untuk mengenal pasti siapa beliau, patut
untuk diterokai sejarah hidup Syekh Abdul Wahab Bugis dan peranan dakwahnya di
Tanah Banjar.
Kedatangan
Abdul Wahab ke Tanah Banjar (Martapura) seiring dengan kepulangan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah, yakni
pada tahun 1772M. Pada saat itu yang memerintah di Kerajaan Banjar adalah
Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787M), yang kemudian sejak tahun
1781-180M1 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah
Hasil
perkawinan Abdul Wahab dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini kemudian
mendapatkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin.
Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said
Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan
Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin
dengan Saudah binti Muhammad As‟ad dan juga
melahirkan dua orang anak,
namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimah pun juga tidak memiliki
keturunan
Jika Syekh
Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan
waktu mereka menuntut ilmu di Kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya
Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di
Kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai
salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi9. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke
Kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan
agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum. Di sinilah empat serangkai
kemudian bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus
Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Sulaiman Kurdi, yang
kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah
Fatawa Sulaiman Kurdi”.
Menurut
riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga sempat belajar ilmu
tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama
besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat
gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah
Sayangnya,
perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih
dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan
Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Tidak diketahui secara
pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun
1782-1790M. Tahun ini penulis dasarkan pada catatan tahun pertama kali
kedatangannya dan tahun pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di
pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari
Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian
dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah Desa Tungkaran
Kecamatan Martapura) pada tahun 1793M.
pada suatu
hari pernah suatu ketika Abah Guru menembak burung dengan senapan,manakala
sampai dipadang karang tengah mendengarlah beliau akan suara zikir la ilaha
illah,maka beliau terus berjalan naik ke kampung karang tengah tengah untuk
mencari suara asal zikir itu,ternyata zikir itu berasal dari maqom tuan Guru
H.Abdullah Khotib maka langsunglah beliau berjiarah,maka pada tiap tengah malam
bulan terang lazimlah beliau berziarah ..
dan pernah
pula terjadi beliau melihat seperti lampu strongkeng terang naik ke atas
kemudian menyeberang turun dimaqom kuburan jamaah Tuan Bajut Tuan biduri
Ala’lamah Abdul Wahab Bugis dan Fatimah,dan dimaqam Ala’lamah H.Muhammad Sayyid
Wali bin Muhammad Amin dikerang tengah maka beliau istiqamah berziarah dua
maqam tersebut pada tiap2 malam tersebut itulah setengah dari karamahnya
- H. MUSYAIT WALI
- DATU MARIAM
Fhoto Hasil Ziarah Sendiri
Datu Fatimah bukan Datu Mariam...
BalasHapus