Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar
1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M.
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama
walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan
Islam di Jawa Barat.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin
Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat
dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana
Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra
Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah
Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang
Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang
bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru
kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi
Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung
Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual
dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar
agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana
saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah
karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk
umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur
Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan
menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya
wafat.
Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia
menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari
pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana
Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba
masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena
sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama
Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan
usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar
Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak
ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir
di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa
bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal
state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang
pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan
Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan
disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi[sunting]
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga
1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah
karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan
Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur)
dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak
dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat,
memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di
pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk
menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan
baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging
di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di
Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif
Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang
masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten,
Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia
Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri
Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada
tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih
tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama
Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai
Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis
bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang
Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan
yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat
dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga
Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan
tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon
menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam
serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas
dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam
Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai
mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten
segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan
banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu
persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam
pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan[sunting]
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif
Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan
Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat
sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan
para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk
Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua
adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima
opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka
inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota
pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke
3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke
2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran
Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para
Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan
hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang
diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa
seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat
telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar
keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam
modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara
maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena
pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya
dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar