Sultan
kelima,Syarif Yusuf ibni Sultan Hamid alqadrie
Sultan
Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).
Putera
tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie dari isterinya Syarifah Fatimah, yang
bernama Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 1850 dan wafat 15 Maret 1895 dalam usia 45
tahun, diangkat sebagai Sultan Pontianak Kelima menggantikan ayahdanya beberapa
bulan setelah ayahdanya meninggal pada tahun 1872.
Sultan
Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie merupakan satu-satunya sultan di
Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat
kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap pula sebagai penyebar agama
Islam. Oleh karena itu, sultan ini sangat terkenal dan dihormati oleh raja-raja
di kawasan Kalimantan, Nusantara, bahkan sampai di luar negeri, sebagai kepala
negara dari kerajaan Islam yang disegani kawan maupun lawan.
Seperti
kebiasaan Belanda sebelum-sebelumnya, begitu ayahdanya wafat dan ia naik tahta,
22 Agustus 1872, Belanda mengadakan lagi perjanjian baru dengan Sultan Syarif
Yusuf Alqadrie. Perjanjian itu antara lain mengatur bahwa kekuasaan kepolisian
terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada
kesultanan. Dengan persetujuan pejabat tinggi pemerintahan Belanda (Bestuur
Ambenaar) untuk pertama kalinya kesultanan Pontianak diperkenankan memungut
pajak di wilayahnya.
Penyerahan
kekuasaan polisi kepada kesultanan didasarkan pada fakta bahwa selama dipegang
oleh Belanda, penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan
kesultanan. Ketika mereka melakukan apa yang disebut sebagai “pelanggaran”
hukum, mereka menghilang dan bersembunyi ke hutan atau ke kawasan pedalaman,
sehingga hanya fihak kesultanan yang dapat membujuk mereka untuk diadili.
Penyerahan
pemungutan pajak kepada kesultanan juga didasarkan pada pertimbangan teknis
untuk kepentingan Belanda, karena hasil pajak itu tidak dinikmati sendiri oleh
kesultanan tetapi dibagi dua dengan Belanda.
Dimasa
pemerintahan Sultan Syarif Yusuf, banyak pendatang (imigrants) Bugis/Makasar
gelombang kedua berdatangan. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, petani
dan pekebun, dan memilih bermukim di kawasan kesultanan, yaitu Kampung Dalam
Bugis, Jungkat, Peniti, Wajok (sekarang termasuk kecamatan Siantan), dan Sungai
Kakap serta sepanjang Sungai Jawi (sekarang bagian dari Kabupaten Potianak dan
kota Pontianak). Pendatang lain berasal dari Banjar, Serasan, Sampit, Pulau
Bangka, Belitung, Tambelan, Melaka, dan Kamboja sehingga kawasan pemukiman
mereka masing-masing dinamai Kampung Banjar, Sampit, Bangka, Belitung, Serasan,
Tambelan dan Kampung Kamboja. Para pendatang dari Banjar yang sangat terkenal
adalah Haji Muhammad Kahfi datang tahun 1846 dan Haji Muhammad Yusuf tahun 1884
yang masing-masing mendirikan Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon
(Alqadrie, 1984:80) , karena isterinya adalah seorang wanita Vietnam.
Kedatangan
mereka sangat menguntungkan kesultanan baik secara psikologis, sosial, ekonomi
dan politik, karena mereka dan keturunan mereka adalah pendukung setia
kesultanan, mengindentifikasikan diri sebagai Melayu Pontianak, maupun secara
material dan finansil merupakan sumber ekonomi berupa penghasilan atau
pendapatan kesultanan. Mereka, terutama Bugis Makasar, datang ke kawasan
kesultanan ini dimotivasi oleh faktor budaya (cultural factor), yaitu siri’
masiri’ (Alqadrie dalam Latif Usman, 2000:146-161), sehingga mereka menjadi
petani sangat produktif dan pekebun yang mengusahakan tanam-tanaman tahunan
(year-round trees) yang cepat menghasilkan uang (cash crops) sebagai tabungan hari
depan.
Paling
kurang tiga hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yusuf Alqadrie.
Pertama, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Boemi tahun 1870 yang mengizinkan
pemilik modal membuka perkebunan dan mengelola hutan.
Sejak saat
itu sub sektor perkebunan karet di kawasan kesultanan ini mulai mengalami
primadona, dan eksploitasi hutan mulai dilakukan. Modal swasta Belanda mulai
berdatangan ke dalam dua sub sektor ini. Alasan utama keluarnya UU tersebut
adalah bahwa Belanda memerlukan dana untuk biaya perang Aceh (1873-1907) dan
perang Lombok (1894), dan bahwa UU itu merupakan alat kontrol dan penghancur
mobilisasi, soliditas dan solidaritas rakyat, terutama sub kelompok etnis
Melayu, Dayak, Bugis, Banjar, keturunan Arab, yang dicurigai terpusat di luar
kota kesultanan (luar bandar) khususnya di kawasan hutan dan pedesaan, dengan
memasukkan penduduk dari Pulau Jawa, Ambon dan Nusa Tenggara Timur. Kedua,
Sultan Yusuf semakin kehilangan kekuatan dan kekuasaannya, karena ia tidak
memiliki kekuatan maritim, seperti kapal perang dan persenjataan lengkap yang
dapat dihandalkan. Padahal secara geopolitik dan geostrategis, pertahanan dan
kekuatan Kesultanan Pontianak terletak pada maritimnya yang didukung oleh
armada kapal perangnya.
Ketiga, pada
10 Agustus 1886 dibuat pula perjanjian perbatasan Kesultanan Pontianak dan
kerajaan Landak ditandatangani oleh Sultan Yusuf Alqadrie dan Pangeran Kusuma
Dinata, Wakil Panembahan Landak, dengan disaksikan oleh Residen Belanda.
Perjanjian itu mengkhiri pertikaian antara kedua kerajaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar