Sultan
ketiga,Syarif Usman ibni Sultan Abdurrahman Alqadrie
Syarif Usman
Alqadrie menduduki jabatan Sultan Qadriah Pontianak Ketiga menggantikan Syarif
Kasim dan pengangkatan ini mendapat dukungan dari sebagian terbesar rakyatnya.
Alasan mengapa Sultan Usman mendapat dukungan baik dari keluarga besar
Kesultanan Qadariyah dan sebagian besar rakyat Pontianak maupun dari Batavia
antara lain adalah penghargaan atas kesetiaan dan kesabarannya menjadi Pangeran
Ratu dan mengamankan kekuasaan Sultan Kasim selama 11 tahun.
Ia dikenal
jujur, dianggap dapat melunasi hutang-hutang ayahdanya, dan lebih umanah dan
mampu untuk membangun kesultanan Qadriyah.
Menyadari
terbatasnya kemampuan militer yang dimilikinya, Sultan Syarif Usman hampir
tidak berdaya menghadapi Belanda dengan persenjataan relatif lengkap walaupun
ia mendapat dukungan dari sebagian terbesar kerabat kerajaan dan penduduk
setempat. Ia melihat bahwa hampir tidak ada jalan lain kecuali sementara
“mengikuti” keinginan Pemerintah Kolonial Belanda dengan meneruskan perjanjian
yang telah dibuat pendahulunya, dengan menanda tangani perjanjian baru pada
tahun 1819, 1822 dan 1823.
Tiga buah
perjanjian tersebut di atas yang sangat mengikat dan merugikan fihak kesultanan,
rakyat dan dirinya antara lain adalah bahwa fihak kesultanan tidak lagi
memiliki kekuasaan dan penghasilan sepenuhnya tetapi kekuasaan pemerintahan dan
penghasilan kesultanan telah dibagi dua dengan Pemerintah Belanda di Batavia.
Bahkan, menyusul lagi ketentuan baru, berdasarkan catatan Rahman (2000:118)
Sultan tidak lagi mendapatkan separuh (50%) dari penghasilan kesultanan
sebagaimana ketentuan sebelumnya, tetapi Sultan hanya diberikan tunjangan
42.000 gulden setiap tahun.
Ketentuan
ini tidak saja menimbulkan kerugian bagi fihak kesultanan secara material,
tetapi juga merupakan penghinaan terhadap dan penghancuran martabat/marwah
(dignity) kesultanan yang berdaulat dan memperoleh dukungan dari rakyat.
Belanda memperlakukan sultan dan para pemuka Kesultanan Qadriah sebagai tidak
lebih dari para pegawai dan buruh kontrakan yang makan gaji dari Belanda. Hal
lain yang sangat memukul martabat kesultanan dan rakyat adalah diberlakukannya
perjanjian 14 Oktober 1823 yang menetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda
diperluas terhadap rakyat pribumi setempat disamping orang-orang Eropah dan
Cina (Rahman, 2000:118). Ini bermakna bahwa Pemerintah kesultanan telah
kehilangan kekuasaan dan ikatan terhadap rakyatnya.
Kondisi
penghancuran harga diri seperti ini ternyata telah menambah kebencian dan
pembangkangan terhadap Belanda baik dari sebagian besar kerabat istana maupun
dari tokoh/pemuka masyarakat, dan ini telah pula membesarkan Kampung Luar dan
kampung-kampung lain sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
Walaupun
kesulitan dalam keuangan dan dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari
kerabat kesultanan dan rakyat, Sultan Usman mampu membangun kembali Mesjid
Agung/Jami’ tahun 1821 yang pernah dirintis oleh ayahdanya Sultan Abdurrahman,
dan melanjutkan membangun istana kesultanan beserta tiang bendera kesultanan
pada 19 Januari 1845 yang masih dapat ditemui sampai sekarang.
Cengkeraman
kuku kolonialisme Belanda ke dalam setiap sendi kehidupan kesultanan dan rakyat
Pontianak ternyata merupakan penghalang utama bagi obsesi Sultan Syarif Usman
untuk membangun kesultanan Islam yang berwibawa dan sejahtera di Nusantara pada
umumnya dan di Kalimantan pada khususnya. Alasan ini merupakan salah satu
pertimbangannya untuk mengundurkan diri 5 (lima) tahun lebih awal dari
seharusnya.
Berdasarkan
tata aturan kerajaan seorang raja baru akan diganti setelah ia wafat, Syarif
Usman wafat tahun 1860 tetapi ia telah mengundurkan diri pada bulan April 1855.
Lima tahun sisa waktu hidupnya digunakannya bergabung dengan para “pembangkang”
untuk melawan Belanda.
Sebagian besar dari bahan dalam blogspot ini [http:// sayyidfajar.blogspot.co.id/ 2013/11/sultan-syarif-usman-alqadrie-1819-1855.html] adalah dari bahan tulisan saya (Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie) yang sudah disajikan dalam Makalah berjudul Pola Tingkah Laku Politik Lokal Pada Kesultanan Qadriah Pontianak Sampai Dengan Masa 1950 yg disajikan dlm seminar / workshop Internasional Naskah Kesultanan Melayu: Kepulauan Kalimantan (Borneo) dan Persekitarannya dilaksanakan di Kuala Lumpur, 22 – 22 Agustus 2006. Selain itu, bahan tulisan saya yg diambil/ dicaplok untuk bloc ini sudah saya terbitkan dalam dlm Bab II Buku saya berjudul Kalimantan & KalBar: Potensi, Fenomena dan Dinamika Sosial, Budaya & Politik dan Tantangan ke Depan. Jilid 1. Di terbitkan di Pontianak. Penerbit Top Indonesia.2012, dengan nomor ISBN: 972-602-1696-31-6. Bahan bloc ini yang diambil dari bahan tulisan saya berada pada halaman 19-21 dan ditulis tahun 2013. Namun, bahan ini tsb sudah saya tulis sejak 2006 dan dterbitkan 2012. Saya sangat berkeberatan dengan bloc ini karena bahannya diambil oleh penulisnya tidak seijin saya. Ketika menulis bahan bloc ini, penulisnya tidak mengutip nama saya (Syarif Ibrahim Alqadrie)sebagai penulis pertama bahan tulisan ini. Saya harap penulis bloc ini minta maaf kpd saya dan mwnghilangkan tulisan pada bloc ini. Kalau tdk saya akan laporkan penlisnya kepada Polisi.
BalasHapusTks atas pemuatan komenyar saya. Saya mohon pihak berwewenang dlm pengorganisasian dan pemuatan bloc ini dpt membantu saya utk mengingatkan penulisnya agar tdk melakukan plagiarisme lagi. Mohon diingatkan agar ia / penulis bloc ini minta maaf kpd saya melalui blocnya, kalau tidak saya akan lapor kepada Polisi. Tks banyak : Syarif I. Alqadrie
BalasHapus