Sayyid
Jalaluddinn bin Muhammad Wahid Al-Aidid lahir di Aceh, tahun 1603, merupakan
cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Juga merupakan keturunan Hadramaut
yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Ra, putri
dari Rasulullah Saw. Tepatnya keturunan yang ke-27 dari Nabi Muhammad Saw.
Ia sempat
menuntut ilmu ke negeri Timur Tengah. Saat ia tiba di kerajaan Goa Makassar
pada abad 17 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, sempat singgah terlebih
dahulu ke Banjarmasin untuk menyebarkan agama Islam. Di Makassar beliau
kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Oleh Sayyid Jalaluddin, Putra Mahkota
kerajaan Goa diberi nama Muhammad al-Baqir Imallombassi Karaeng Bontomangape
Sultan Hasanuddin. Dan Sultan Hasanuddin merupakan muridnya yang pertama, dan
berguru padanya selama 16 tahun. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru
kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf
diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya.
Beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah
agama yang beliau bawa merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu
Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah
tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah
disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan — seperti dikutip
Abd. Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk. dalam Bugis Makassar dalam
Peta Islamisasi, 1982 —merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi
kerajaan-kerajaan Bugis Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang, Dato’ di
Tiro dan kawan-kawan pada awal abad ke-17.
Ia menikah
dengan Daeng Ta Mameng binti Sultan Abdul Kadir Alauddin, seorang putri
bangsawan yang masih mempunyai darah kerajaan Gowa, dan mempunyai 5 orang anak.
Saat ia pertama datang ke Makassar banyak yang meragukan bahwa ia seorang
keturunan dari Hadramaut, karena pada saat itu faham Al-Aidid belum menyebar di
Indonesia, sehingga ia diacuhkan oleh sultan Makassar. Sehingga ia berpindah ke
Cikoang dan menyebarkan agama Islam disana.
Untuk tujuan
menyebarkan agama Islam itulah, Ia memulai tradisi upacara "Maudu
Lompoa." Dimana sengaja diselenggarakan upacara tersebut bertepatan dengan
tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu maulid Nabi Muhammad Saw. Ia menulis kitab Rate’
yang berisi inti dari ajaran agama Islam serta riwayat hidup Rasulullah Saw
hingga Jalaluddin Al-Aidid. Dimana isi dari kitab tersebut dibacakan pada
setiap peringatan maudu Lompoa tersebut.
Dalam
mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid
mengajarkan 3 hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya
upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-Ma’rifah, al-Iman dan al-Mahabbah.
Dengan
prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah
terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian dan
kelahiran Nabi Muhammad saw. Masyarakat Cikoang mengenal 2 proses kelahiran
beliau, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam syahadah
(dunia).
Kejadian di
alam ghaib berwujud “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala
makhluk yang daripadanyalah tercipta alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang —
khususnya para Sayyid — percaya bahwa Allah menyinari dan memberi cahaya langit
dan bumi (bertajalli) melalui “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai
pokok kejadian segala makhluk dan rahmat bagi seluruh Alam.
Sedangkan
kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini merupakan kelahiran dengan
membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegang. Karenanya sebagai upaya untuk
menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar kelahiran Nabi prosesi
peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral. Masyarakat Takalar
—khususnya para sayyid— meyakini
sepenuhnya kelahiran Rasulullah saw merupakan isyarat kemenangan. Dan
kemenangan harus diwujudkan dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa
kepada hasrat suci Nabi.
Saat perang
adu domba Belanda bergejolak antara suku Bugis di Buton dan suku Makassar di
Gowa, beliau ikut membantu dalam perlawanan melawan Aru Palaka, Raja Bone.
Kemudian, Saat perang mulai bergejolak dengan ditolaknya perjanjian Bungaya
oleh Karaeng Galesong, Karaeng Bontomaranu, serta Sultan Bima II Abdul Khair
Sirajuddin pada tahun 1667. Maka dengan perjanjian yang mengharuskan Karaeng
Galesong dan sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin untuk diserahkan kepada
pihak Belanda karena dianggap musuh yang paling besar dan berpengaruh, maka
mereka melarikan diri ke tanah Jawa. Sayyid Jalaluddin pun turut serta dalam
acara melarikan diri tersebut. Mereka mendarat pertama di ujung barat pulau
Sumbawa, sesampainya disana mereka berpisah. Dimana Karaeng Galesong, sultan
Bima II Abdul Khair Sirajuddin, serta laskar Karaeng Galesong melanjutkan
perjalanan ke tanah Jawa di arah barat. Sedangkan Sayyid melanjutkan perjalanan
ke arah timur hingga tiba di Bima. Dengan membawa seluruh harta yang mereka
bawa dari Makassar, dan mengganti nama selama perjalanan menjadi Mutahar.
Sayyid
Jalaluddin Aidid hidup di Bima sekitar 30 tahun, dimana Ia menyebarkan agama
Islam di Bima. Walaupun demikian, beliau tetap memiliki kendala yaitu belum
terkenalnya faham Al-Aidid sebagai bagian dari Hadramaut, dibandingkan dengan
nama-nama hadramaut lain seperti Assegaf, Kaff, dan yang lainya. Maka ia
menerima keraguan dari para sultan dan orang-orang kerajaan.
Sayyid
Jalaluddin Aidid wafat saat menyebarkan agama Islam di daerah pedalaman Bima
tahun 1693, dimana ia mencoba mengajak para penduduk asli yang masih tinggal di
puncak gunung untuk masuk kedalam agama Islam. Dengan alasan bahwa ajaran yang
dibawa oleh Sayyid jalaluddin Aidid adalah ajaran sesat. Para pihak Belanda
mencoba untuk mengadu domba, sehingga ditikamlah Sayyid Jalaluddin Aidid dengan
tombak oleh salah satu penduduk. Saat ia sekarat, Belanda menembaknya hingga
tewas.
Saat ini
makam Sayyid Jalaluddin Al-Aidid berada di Bima. Di puncak bukit salah satu
dusun terpencil di Bima, dimakamkan oleh para pengikut setianya serta para
penduduk yang mengikuti ajarannya. Saat ini tempat itu menjadi pemukiman yang
kental nilai Islaminya, baik dari segi kehidupan sehari-hari hingga tradisi
adat mereka. Doa tak putus-putusnya untuk Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid
Al-Aidid, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, dan ditempatkan di
syurga-Nya. Amin.
http://shoeap.blogspot.com/2010/09/sayyid-jalaluddin-bin-muhammad-wahid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar