Sultan
Keenam,Syarif Muhammad ibni Sultan Yusuf Alkadrie
Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944).
Putera
tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie — Syarif
Muhammad bin Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 8 Januari 1872, diangkat sebagai
Sultan Pontianak Keenam pada tanggal 6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23
tahun.
Syarif
Muhammad merupakan sultan terakhir dari dinasti Alqadrie yang berkuasa dan
memimpin pemerintahan pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda. Sultan dari generasi
selanjutnya, tidak lebih hanya merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai ketua
atau kepala dari istana yang mewakili kerabat atau keluarga besar untuk
kelanjutan dinasti dan budayanya. Bahkan menurut beberapa penulis sejarah
(Rahman, 2000:138; Alqadrie, 1979:89) Syarif Muhammad adalah sultan yang
mewarisi sisa-sisa kekuasaan yang “diberikan” Belanda.
Enam belas
tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada
Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Isinya (Rahman, 2000:138) antara lain
adalah: (1) Pemerintah Hindia Belanda secara aktif menentukan personalia
kesultanan; (2) Belanda memberlakukan Hukum Pidana dan Perdata di lingkungan
kesultanan; (3) Seluruh pegawai kesultanan digaji oleh pemerintah Belanda. Dua
hal mendasar terkandung di dalam perjanjian yang sangat mengikat ini adalah:
pertama, apa yang disebut globalisasi yang berkarakter penundukan dan
penciptaan ketergantungan di Indonesia, khususnya di sektor hukum, sebenarnya
dimulai di Kesultanan Pontianak pada 1912[12]; kedua, perjanjian ini tidak lain
menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak,
karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah
Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan
hak-hak asasi manusia.
Meskipun
kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin
direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui
di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan
moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian
yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta
organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat
kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending
Protestan, dan sebagainya.
Kesemua ini
telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa
kekuasaan Sultan Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun,
dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini.
Sultan
Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah
mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia
pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping
pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan.
Di bidang
ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti
dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin,
Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal
swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan
Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan
perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor
ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan
berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan
maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya.
Peranannya
dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan
Sultan Mohammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan — Belanda dan
Jepang ketika Nusantara masih dikuasai masing-masing oleh pemerintahan kolonial
Belanda dan oleh pemerintahan bala tentara Fasis Jepang sejak 1942 – yang
berdampak negatif yaitu diperketatnya kontrol pemerintah kolonial Belanda
terhadap hampir semua kegiatan dan sektor kehidupan rakyat, dan ditangkap dan
dibunuhnya 30 orang kerabat kesultanan, para pemuka, pemimpin dan tokoh
masyarakat Pontianak yang semuanya berjumlah sekitar 10.000 ( Yanis, 1983:
170-182; Alqadrie, 1984:65) oleh Militer Fasis Jepang, termasuk Sultan Muhammad
serta ayah penulis makalah ini, Syarif Akhmad Alqadrie.
Sultan
Muhammad ditangkap Balatentara Jepang pada malam hari Senin, 24 Januari 1944.
Penangkapan pada gelombang berikutnya dilakukan Balatentara Jepang terhadap
tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan, dan mereka dijatuhi hukuman mati pada
tanggal 28 Juni 1944. Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad
dikuburkan baru dapat ditemukan (Rahman, 2000:146,155; Yanis, 1983: 182-183),
dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang
selamat dari pembantaian Jepang (Rivai, 1995:26).
http://alqadrie.com/index.php/2013/01/16/periode-sultan-muhammad-alqadrie/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar