Sultan ke
dua,Syarif Kasim ibni Sultan Abdurrahman Alqadrie
Sultan
Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819.
Sultan
Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan
Utin Candramidi. Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia
diangkat oleh ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 – 1790 yang dikehendaki
oleh Batavia. Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara.
karena Gusti
Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi bersama panglima
perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang
dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin. Kerajaan Mempawah dalam
rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar
tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali.
Kompeni
Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan
Pontianak dan Mempawah. Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia
di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim
sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang
dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa
Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Perjanjian yang berat sebelah itu
ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan
Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan dikedua di
kesultanan itu.
Rasa tidak
senang dan kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif
Kasim, bertambah besar dan disebabkan oleh beberapa hal: (1) usaha campur
tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya
oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk
mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya; (2) Syarif Kasim,
berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang
Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya
tanpa alasan jelas; (3) dan tindakan kekerasan dan tercela lainnya terhadap
lawan-lawan politiknya.
Tindakan
negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak
mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewaris tahta Kesultanan
Pontianak menggantikannya. Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana
menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari,
sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya.
Ketika
ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat
Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui
tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai
Sultan untuk sementara waktu, dengan pertimbangan: 1) Syarif Usman masih kecil
dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan; 2) Ia sangat
menghargainya saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya; 3) Syarif Kasim
berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia
akan melunasi hutang ayahnya.
Sampai akhir
kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi
hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan
lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain. Kesalahan
paling fatal adalah bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya
lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas
permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial
Belanda menugaskan Komisaris Broek Holts bersama sejumlah serdadunya untuk
datang ke Pontianak untuk melindunginya keamanannya.
Kesalahan-kesalahan
seperti itu harus dibayar mahal. Secara resmi Belanda berkuasa kembali di
Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford
Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak
pada 9 Agustus 1818.
Syarif Kasim
menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan
Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari
1819, dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di
Pontianak bernama Marianne’s Oord[11] (Rahman, 2000:112-113).
Taktik
Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini
tampaknya, menurut Alvin So (1990: … – …) dan Gunder Frank, 1989), merupakan
realisasi awal dari keserakahan Barat, dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan
ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara
sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui
hubungan eksploitatif. Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak
setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang
“membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri bernama
Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar