Sultan
ketujuh,Syarif thaha Putra Ratu Anom Bendara,Keponakan Hamid.II
(saat
itu,Hamid Ibni Sultan Muhammad dalam tahanan jepang,atau yang dikenal sebagai
Sultan Hamid.II,dikemudian hari)
Sultan
Syarif Thaha Alqadrie (Agustus – Oktober 1945).
Pembunuhan
Sultan Syarif Muhammad, beserta para kerabat istana, tokoh dan pemuka
masyarakat Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, yang dikenal
dengan Peristiwa Mandor,
ternyata
menghancurkan semangat, mental dan moril keluarga besar kesultanan, bahkan
masyarakat Pontianak dan Kalbar. Ternyata adalah sangat sulit mencari pengganti
Sultan Syarif Muhammad Alqadrie untuk diangkat sebagai sultan, karena beberapa
penulis (Rahman, 2000: 146-153; Yanis, 1983: 172-182, Rivai, 1995: 24-27,
Alqadrie, 1984:64) memperhitungkan sejumah 30 orang kerabat istana yang dekat
dengan lingkaran kekuasaan dan sekitar 24 orang terdiri dari sultan atau
panembahan, tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan Kalbar, dan Pontianak
khususnya, dari berbagai anggota kelompok etnis, termasuk Cina keturunan, juga
menjadi korban keganasan Balatentara Fasis Jepang.
Rapat di
istana Qadriah tanggal 29 Agustus 1945 untuk mencari pengganti Sultan Syarif
Muhammad yang dihadiri oleh Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai), wakil dari
pemerintah balatentara Jepang, para tokoh/pemuka masyarakat, cendekiawan
Pontianak, dan kerabat istana yang luput dari pembunuhan, akhirnya memutuskan
bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Muhammad dari puteri
keduanya bernama Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendara, dilantik sebagai
Sultan Qadriah Pontianak Ketujuh.
Sebenarnya
pengganti Sultan Syarif Muhammad, berdasarkan tata krama tradisional kerajaan,
seharusnya adalah salah seorang dari 5 (lima) puteranya, tetapi 4 (empat)
puteranya, menurut catatan Ansar Rahman (2000:154,173) dan Mawardi Rivai
(1995:25-26) juga menjadi korban keganasan Jepang.
Seorang
puteranya yang masih hidup, bernama Syarif Hamid Alqadrie — perwira KNIL —
sedang berada dalam tahanan Jepang di Batavia. Pengangkatan Syarif Thaha
sebagai sultan disetujui oleh sebagian kerabat istana termasuk Syarifah Maryam
— bibi atau kakak/embakyu bundanya — puteri tertua dari Sultan Muhammad, oleh
para pemimpin, tokoh pergerakan, sebagian masyarakat dan pemukanya, serta wakil
pemerintaha Jepang yang masih berada di Pontianak.
Berbeda
dengan kakekdanya, Sultan Syarif Muhammad yang masa kekuasaannya merupakan masa
pemerintahan terpanjang, 49 tahun, masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha,
sangat pendek, hanya sekitar 3 (tiga) bulan.
Dalam masa
pemerintahanya, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih
tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada
sekutu terlambat diterima di Pontianak.
Tiga dari
beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah:
(1) Berita
tentang kedatangan tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang;
(2) Pasukan
kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak
menuntut diangkatnya Sultan Pontianak
untuk menghindari kekosongan kekuasaan;
(3)
Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk
pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan
mendarat di Pontianak.
Berbeda
dengan masyarakat keturunan Arab yang banyak berbaur dengan masyarakat
setempat, mengikuti organisasi pergerakan dan berorientasi pada kepentingan dan
identitas penduduk mayoritas, sebagian besar anggota komunitas keturunan Cina
tampaknya memiliki jarak dengan masyarakat setempat.
Padahal,
pada pola pembauran ala Filipina, mereka membaur dan masuk ke dalam kehidupan
budaya mayoritas penduduk setempat yang beragama Katolik. Di Indonesia pada
umumnya, di Kalbar dan di Pontianak lebih khusus lagi, kalaulah mereka bersedia
masuk ke dalam agama yang dianut oleh penduduk mayoritas — saudaranya kelompok
etnis Melayu, Bugis dan Banjar, maka pembentukan PKO yang merisaukan saudaranya
tidak perlu terjadi.
Jarak antara
mereka — anggota kelompok etnis keturunan Cina dan penduduk setempat — tidak
dengan sendirinya berarti tidak ada komunikasi dan interaksi antara mereka.
Batas-batas budaya (atau eksklusivitas = tambahan penulis), menurut pengamatan
Baarth (1996:…..), dapat terjadi, walaupun anggota kelompok etnis saling
berbaur, perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh terjadi tidaknya
pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya
proses-proses sosial berupa pemisahan atau penyatuan.
Anggota
kelompok etnis keturunan Cina di Pontianak pada saat kekosongan kekuasaan yaitu
tidak adanya/ tidak jelasnya siapa pengganti Sultan Muhammad tampaknya merasa
tidak aman. Selama pemerintahan dinasti Al-Qadrie mereka merasa aman dan
terlindungi.
Selain itu,
mereka juga memiliki loyalitas cukup tinggi baik kepada kesultanan maupun kepada
NKRI yang segera akan terbentuk. Ini terbukti bahwa pada Peristiwa Mandor tidak
sedikit tokoh dan pemuka masyarakat keturunan ini ikut menjadi korban keganasan
balatentara Jepang (Yanis, 1983: 172-182, 219-221; Rivai, 1995: 24-27).
Masuknya
pasukan Dayak ke Pontianak untuk menuntut diangkatnya Sultan Pontianak
menunjukkan paling tidak tiga hal:
(1) Sejak
lama anggota kelompok etnis Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub kelompok
(anak suku) memiliki tanggung jawab dan komitmen yang besar terhadap jalannya
pemerintahan dan kemajuan daerah ini. Mahrus Effendy (1998:123) mencatat bahwa
kedatangan pasukan Dayak ini menunjukkan kesetiaan mereka terhadap kesultanan;
(2) Adanya
integrasi, pembauran yang kuat antara berbagai kelompok etnis, terutama keturunan
dan keluarga besar kesultanan dengan anggota kelompok etnis Dayak;
(3) Adanya
perasaan satu keluarga, satu ibu, antara kelompok etnis Dayak dan Melayu.
Perasaan bersaudara itu tidak akan pecah oleh intervensi politik praktis.
Kedatangan
tentara Australia atas nama sekutu dibawah Kolonel Cotton bersama pasukan
Belanda untuk melucuti tentara Jepang menambah suasana Pontianak menjadi kacau,
karena mereka dating ke Pontianak ternyata ingin mengembalikan kekuasaan
Belanda.
Mereka
menaikkan bendera Belanda di Kantor Residen. Keinginanan ini ditantang oleh
Pemuda Perjuangan Republik Indonesia (PPRI) dan Rakyat dengan berdemonstrasi
diberbagai tempat. Kondisi serba kacau ini menyulitkan Residen Asikin Noor dan
Syarif Thaha memimpin Pontianak.
Gubernur Jenderal
Belanda mengangkat Dr. Van der Zwaal tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Residen
Kalbar, sedangkan Asikin Noor dikembalikan ke Banjarmasin. Ia juga mendatangkan
Sultan Syarif Hamid II yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang ke Pontianak
untuk menjabat sebagai Sultan Pontianak.
Dengan
pertimbangan masih sangat muda dan Sultan Hamid II adalah pamannya sendiri,
Sultan Syarif Thaha menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II,
walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun
sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri (Alqadrie, 1979: 55; 1984:64)
Kesediaannya
menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan
sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta
kesultanan Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar