Berita tentang
kedatangan seorang nabi di Jazirah Arab, pembawa ajaran agama dari langit yang
baru telah tersebar sampai di kalangan rakyat Mesir. Berita itu diperkuat oleh
kedatangan utusan Rasulullah saw, Hathib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan
surat kepada Muqauqis.
Setelah membaca
surat dari Rasulullah saw itu, dengan hati-hati dan penuh hormat Muqauqis
menyimpan surat tersebut dalam sebuah kotak yang terbuat dari gading. Lalu ia
minta agar Hathib bin Abi Balta’ah menjelaskan pribadi dan sifat-sifat
Rasulullah saw, apa saja yang diperbuat dan bagaimana keadaan para pengikutnya.
Ia mendengarkan penjelasan Hathib bin Abi Balta’ah dengan penuh perhatian.
Setelah
berpikir beberapa saat, Muqauqis berkata : “ Aku telah mengetahui bahwa seorang
nabi akan datang. Menurut perkiraanku, dia akan muncul di Palestina sebab di
sana banyak nabi bermunculan. Namun kenyataannya nabi terakhir itu muncul di
negeri Arab.Jika aku memeluk agama Muhammad, orang-orang Qibti tidak akan
menyetujuinya.”
Tak lama
kemudian ia memanggil sekretarisnya untuk menjawab surat Rasulullah saw. Bunyi
surat itu : “Surat Tuan telah saya baca, dan saya memahami dan mengerti apa
yang Tuan maksudkan. Sejak lama saya telah mengetahui akan datangnya seorang
nabi yang saya perkirakan akan muncul di negeri Syam. Utusan Tuan kami hormati
sebagaimana layaknya.Dan bersama ini saya kirimkan dua wanita yang punya
kedudukan tinggi di Qibti. Selain itu juga saya kirimkan sejumlah pakaian dan
ternak. Selamat Sejahtera bagi Tuan.”
Selain itu
secara lisan, Muqauqis berpesan kepada Hathib bin Abi Balta’ah agar apa yang
telah mereka bicarakan tidak kedengaran oleh seorangpun di Qibti, katanya :
“Saya tidak dapat memenuhi ajakan Muhammad untuk memeluk agama baru itu, karena
rakyat Qibti sangat kuat berpegang pada agama leluhur, Mereka tentu tidak
senang jika saya memeluk agama baru itu.”
Maka pulanglah
Hathib bin Abi Balta’ah ke Madinah bersama Maria dan Sirin serta seorang
pembantu. Tak lama kemudian Rasulullah saw yang baru kembali dari Hudaibiyyah,
menerima kedatangan Hathib bin Abi Balta’ah. Singkat cerita, Nabi saw kemudian
menikahi Maria Al-Qibtiyah, sedangkan Sirin dinikahkan dengan Hasan bin Tsabit.
Maria Al-Qibtiyah lahir di desa Hifn, dekat kota
kuno Anshina di sebelah timur sungai Nil. Di belakang namanya ada gelar
Al-Qibtiyah, karena ia berasal dari suku Qibti, Mesir, yang beragama Kristen
ortodoks. Ayahnya bernama Syam’un, asli Qibti, sedangkan ibunya berdarah Romawi
beragama Nasrani. Ketika menginjak remaja, ia dan saudaranya Sirin, diambil
oleh Muqauqis sebagai dayang-dayang.
Berbeda dengan
para istri Rasullah saw yang lain, Maria
Al-Qibtiyah adalah seorang sariyyah, yaitu istri yang sah menurut
syariat tapi tidak berstatus resmi sebagai istri sepenuhnya. Oleh karena ia
adalah “hadiah” dari Gubernur Mesir, Muqauqis. Jadi status sosialnya hamba
sahaya, tapi secara syariat sah sebagai istri. Di masa silam, masyarakat Arab
menyebut istri seperti itu sebagai ummul walad, ibu si anak.
Kehadiran
Maria Al-Qibtiyah ternyata membuat para
isteri Nabi tidak senang. Menurut mereka, Maria
Al-Qibtiyah tidak patut menjadi istri Nabi, karena ia keturunan budak
(hamba sahaya). Namun hal itu langsung dijawab oleh Allah swt, sebagaimana
firman-Nya dalam surah At-Tahrim ayat 1, : “ Wahai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan bagimu, demi menyenangkan
istri-istrimu ?”. Ayat itu juga merupakan ajaran kesetaraan, bahwa Islam tidak
membedakan status sosial, etnis dan jenis kelamin.
Pernah suatu
hari Maria Al-Qibtiyah yang berada jauh
dari masjid menemui Nabi Muhammad saw, lalu disuruh masuk ke rumah Hafshah,
salah seorang istri Nabi yang sedang pergi ke rumah ayahnya Umar bin Khatthab.
Ketika pulang
Hafshah melihat tabir kamar tidurnya tertutup, dan di dalamnya Rasulullah
sedang bersama Maria Al-Qibtiyah.
Melihat itu, Hafshah marah lalu menangis. Rasulullah membujuk Hafshah, dan
minta agar Maria Al-Qibtiyah meminta
maaf kepada Hafshah, yang juga diminta
untuk merahasiakan kejadian tersebut.
Namun, kejadian
itu segera terdengar oleh istri-istri Nabi yang lain. Tentu saja Rasulullah
marah dan bermaksud menceraikan Hafshah. Tapi Jibril menyarankan agar tetap
mempertahankan Hafshah, karena dia adalah wanita yang teguh beriman. Maka
Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terutama karena dia
menyesali perbuatannya telah memberitahukan kejadian tersebut kepada para istri
Nabi yang lain.
Sebagai
pendamping Rasulullah saw, Maria
Al-Qibtiyah adalah wanita yang tabah dan sabar. Betapa tidak, Maria Al-Qibtiyah yang berparas cantik jelita dan berperangai lemah lembut,
harus menghadapi kehidupan yang keras di negeri asing tanpa seorangpun yang
melindunginya, kecuali Allah swt dan Rasulullah saw.
Pada tahun kedua
bersama Rasulullah saw, Maria
Al-Qibtiyah mengandung (hamil). Dan untuk menghindari kecemburuan
istri-istri yang lain, Rasulullah saw memindahkan Maria Al-Qibtiyah ke sebuah rumah di dataran tinggi
Madinah yang udaranya cukup segar. Dia ditemani oleh saudaranya Sirin hingga
saat melahirkan, yaitu pada bulan Dzulhijjah Tahun ke 8 Hijriyah. Dan di bidani
oleh istri Abu Rafi’.
Ketika
Maria Al-Qibtiyah melahirkan, Rasulullah
saw menunggu di ruang lain sambil shalat dan berdoa. Dan ketika istri Abu Rafi’
keluar dari kamar sambil memperlihatkan bayi itu kepada Rasulullah saw. Beliau
gembira dan berterima kasih serta menyampaikan rasa hormatnya kepada bidan yang
baik budi itu.
Rasulullah saw (shollallahu ‘alaihi wa salam) lalu
mengangkat bayi lelaki tersebut dan memberinya nama Ibrahim (Nama datuk tertua
bangsa Arab).
Pada tahun ke 16
Hijriyah, Maria Al-Qibtiyah wafat, ketika itu Rasulullah saw, juga sudah lebih
dahulu wafat. Yang menjadi khalifah pada waktu itu adalah Umar bin Khatthab.
Istri Rasulullah saw ini Maria
Al-Qibtiyah di makamkan di Baqi’, Makkah.
Maria Al-Qibtiyah sebagai Ummul mu’minin (ibu
orang-orang mukmin) telah memberikan
keberuntungan dan karunia istimewa dari Allah swt (subhanahu wa ta’ala) dengan
melahirkan putra Rasulullah saw, yaitu Ibrahim.
Wa salamun ‘alal mursalin, Walhamdulillahi rabbil ‘alamin
http://anangkatut.blogspot.com/2013/10/wanita-mulia-dari-mesir-yang-membuat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar