Nasib tragis Ibnu Muqlah yang dikenal sebagai “Imam
Khattatin” (pemimpin para Kaligrafer)
Adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah
ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah, dilahirkan pada
tahun 272 H/887 M. Ibnu Muqlah artinya “anak si biji mata” yang berarti anak
kesayangan. Sedangkan Muqlah adalah gelar ayahnya. Ada yang meriwayatkan
sebagai nama ibunya, yang apabila ayahnya (kakek Ibnu Muqlah) mempermainkannya,
selalu memanggilnya dengan kata-kata: “Yaa muqlata abiha!” (“Wahai biji mata
ayahnya!”).
Ibnu Muqlah
yang dikenal sebagai “Imam Khattatin” (pemimpin para Kaligrafer) dan
saudaranya, Abu Abdillah mendapat bimbingan kaligrafi dari Al-Ahwal
al-Muharrir, salah seorang murid Ibrahim al-Syajari yang paling masyhur, hingga
keduanya menjadi kaligrafer sempurna yang paling menguasai bidangnya di Baghdad
pada permulaan zaman tersebut.
Kejeniusan Abu
Ali Ibn Muqlah dan pengetahuan mendasarnya tentang geometri (ilmu ukur) membawa
kemajuan penting satu-satunya di bidang kaligrafi Arab. Keberhasilan Ibnu Muqlah adalah mengangkat
khat gaya Naskhi, lihat contoh kaligrafi khat gaya Naskhi :
Gaya Naskhi menjadi gaya yang paling populer dipakai,
setelah abad sebelumnya didominasi oleh khat gaya Kufi, contoh kaligrafi gaya
Kufi :
Gaya lain yang ditekuninya Ibnu Muqlah adalah khat Tsulus,
yang nantinya banyak berpengaruh pada karya Ibnu Bawab. Contoh kaligrafi khat
gaya Tsulus :
Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya
baru tulisan, akan tetapi pada penerapan kaidah-kaidah yang sistematis untuk
kaidah khat Naskhi yang berpangkal pada huruf alif.
Sistem
penulisan Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik (yang
dibuat dari tarikan diagonal pena), huruf alif vertikal dan lingkaran.
Diciptakannya sebuah titik belah ketupat sebagai unit
ukuran. Kemudian mendesain kembali bentuk-bentuk ukuran (geometrikal) tulisan
sambil menentukan model dan ukuran menurut besarnya dengan memakai titik belah
ketupat, standar alif dan standar lingkaran. Tiga poin inilah, yaitu titik
belah ketupat, alif vertikal, dan lingkaran yang dikemukakan oleh Ibnu Muqlah
sebagai rumus-rumus dasar pengukuran bagi penulisan setiap huruf.
Prinsip-prinsip
geometrikal ini mendobrak cara penulisan Arab sebelumnya yang cenderung nisbi.
Metode penulisan baru ini disebut al-Khath al-Manshubi (kaligrafi yang
tersandar). Meskipun kaidah-kaidah tersebut tidak sekaku awal perintisan Ibnu
Muqlah, namun perkembangan kaligrafi selanjutnya banyak dipengaruhi oleh
kepiawaiannya dalam memperindah tulisan.
Buah karyanya
yang dipercaya masih ada sampai sekarang hanyalah yang tersimpan utuh di Museum
Irak, Baghdad. Tulisan yang terdiri dari sembilan halaman ini, yang disebut
Naskhi dan Tsulus, ditilik dari cara dan gaya penulisannya dianggap benar-benar
berasal dari tangan Ibnu Muqlah sendiri.
Sumber lainnya
menyebutkan bahwa di Andalusia ada sebuah mushaf al-Qur’an yang sangat masyhur,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalil al-Saquny bahwa di salah satu masjid
dari sekian banyak masjid Sevilla didapat mushaf juz IV dengan huruf-huruf
tulisan yang mirip dengan huruf-huruf Kufi.
Dikuatkan oleh
Abu al-Hasan ibn Tufail bahwa mushaf itu ditulis dengan menggunakan khat Ibnu
Muqlah. Sumber tersebut berasal dari Majalah Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiyah
juz awal, halaman 95, tahun 1377 H, dalam suatu ulasan tentang perpustakaan dan
kitab-kitab di Spanyol Islam.
Pada mulanya Ibnu Muqlah mengabdi pada beberapa kantor
pemerintahan, menyumbangkan kemahiran dari bakat yang dimilikinya sebagaimana
yang dilakukan oleh para kaligrafer lainnya. Untuk pekerjaan tersebut ia mendapat upah enam dinar sebulan.
Karirnya mulai
menanjak setelah ia mempunyai hubungan yang erat dengan Abu al-Hasan ibn Furat
yang mengawalnya ke puncak prestasi yang meyakinkan, sehingga ia mulai populer
dan banyak mendapat sorotan dari segenap kalangan.
Bahkan, dalam
suatu catatan disebutkan bahwa tulisan Ibnu Muqlah pernah digunakan dalam
pembubuhan surat perdamaian (hadnah) antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi,
surat itu tetap dalam pegangan pemerintah Romawi, hingga Sultan Muhammad al-Fatih
menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Romawi Timur.
Ibnu Muqlah
memulai karirnya sebagai pegawai pemungut pajak di provinsi Persia, sekaligus
mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaannya berbalik ketika ia menjadi
pejabat bawahan al-Imam al-Muqtadir Billah pada tahun 316H, yang membawanya
sukses untuk menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad.
Berkat keuletan
luar biasa dan prestasi yang tampak sangat menonjol, ia berhasil menaiki
jenjang kedudukan perdana menteri (wazir) untuk tiga orang khalifah Abbasiyah,
yakni khalifah al-Muqtadir (908-932 M), khalifah al-Qahir (932-934 M) dan
khalifah al-Radhi (934-940 M).
Akan tetapi
nasib Ibnu Muqlah sangat malang, ia telah mendapat tekanan-tekanan berat akibat
masalah-masalah kekhalifahan yang sedang bergolak dengan segala kekisruhannya;
tatkala penindasan, korupsi dan intrik-intrik politik dari ambisi kekuasaan
yang merajalela. Sistem kepemimpinan kekhalifahan pada waktu itu ternyata telah
menyiksanya dengan beragam penganiayaan.
Ibnu Muqlah diangkat menjadi pembantu
(wazir) khalifah al-Radhi, namun ia juga mempunyai musuh yang menfitnahnya
hingga ia ditangkap dan dipecat dari jabatannya.
Ia
berkali-kali masuk penjara, hartanya disita dan ia dibuang ke Persia, sampai
suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham.
Hal itu
mendorongnya mendekati Ibnu Raiq, Perdana Menteri di Baghdad, bawahan khalifah
yang naif itu. Namun Ibnu Raiq tidak bisa menyembunyikan kedengkiannya, bahkan
membusukkan namanya di hadapan khalifah al-Radhi. Maka Ibnu Muqlah mendapat
hukuman lagi dengan mempertaruhkan tangan kanan dan kirinya.
Akhirnya
khalifah al-Radhi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh tabib istana
untuk mengobati luka tangan Ibnu Muqlah yang sudah terpotong, hingga ia sembuh.
Akan halnya
dengan Ibnu Raiq begitu melihat sikap khalifah al-Radhi tersebut, ketika
teringat akan permintaan Ibnu Muqlah untuk duduk di kursi kementeriannya, dan
itu kelak akan menjadi saingannya. Maka dibuatlah tindakan yang lebih bengis
melengkapi kekejaman sikap sebelumnya.
Ibnu Raiq
menjatuhkan hukuman potong lidah dan menjebloskan Ibnu Muqlah ke dalam penjara,
hingga ia mendekam bertahun-tahun dengan segala duka derita yang tak
terkirakan.
Di dalam penjara
itu Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan lengan tangannya yang terpotong dan
dengan itu pun ia menulis, begitu pula ketika mengambil air wudhu.
Ibnu Muqlah
meninggal dunia tahun 328 H/940 M dan dimakamkan di istana sultan. Mendengar
peristiwa itu, keluarganya menuntut agar jenazahnya dibongkar dan diserahkan
kepada keluarga. Kemudian anaknya menguburkan di rumahnya sendiri. Dari rumah
anaknya, istrinya yang dikenal dengan nama Dinariyah menggalinya kembali dan
menguburkan di rumahnya di Istana Umm Habib Baghdad.
http://anangkatut.blogspot.com/2013/08/nasib-tragis-ibnu-muqlah-yang-dikenal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar