Beliau adalah salah satu sufi paling terkenal di lingkaran
Sufi di kawasan Baghdad pada pertengahan abad ke sembilan Masehi (abad ketiga
Hijrah). Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupannya. Beberapa keterangan
menyebutkan beliau pernah berkelana hingga keBasra, Yerusalem, Mekah, Mesir
danTunisia.Adadugaan bahwa beliau meninggalkanBaghdad dan Mekah lantaran beliau
menghadapi penentangan dari ulama-ulama lain, terutama ulama eksoteris.
Al-Kharraz meninggal sekitar tahun 899M.
Meski detail kehidupannya tak banyak diketahui, namun
beberapa aspek pemikirannya dapat diketahui karena beliau menulis beberapa
risalah yang sebagian masih ada hingga saat ini. Misalnya, Kitab al-Sidq
menguraikan maqamat di jalan Sufi. Syekh al-Kharraz memulai dengan menjelaskan
hubungan kejujuran dengan ketulusan dan kesabaran; kemudian beliau membahas
maqamat yang mesti dilalui para pencari Tuhan: tobat, ilmu tentang nafsu,
pengetahuan tentang kejahatan (setan), kehati-hatian, pengetahuan tentang
perintah dan larangan Allah; zuhud, iman, takut, malu, pengetahuan tentang
anugerah dan berkah Tuhan, cinta, ridha, dan kedekatan. Jalan menuju Tuhan
adalah zikir, dan ketika sang salik berhasil mendawamkan (melestarikan) zikir,
maka mata hatinya akan segera bercahaya dan tercerahkan dan pikirannya akan
jernih; dia akan didekatkan oleh Allah kepada diri-Nya, dan Allah akan
“bertahta” di hatinya. Maka dia akan
berbicara dan diam sembari terus berzikir tiada putus. Jiwanya akan mampu
melakukan percakapan intim (bermunajat) dengan Allah.
Dalam kitab lainnya, Kitab al-Diya (Kitab Cahaya) Syekh
al-Kharraz menguraikan ciri-ciri salik yang berhasil “bertatap muka” dengan
realitas Ilahi (ayn al-ayn) dan karenanya ia dikuasai oleh Yang Maha Absolut sehingga
dia menjadi orang “yang kebingungan dan takjub.” Orang semacam ini oleh Syekh
al-Kharraz dikelompokkan menjadi tujuh golongan. Pertama, ahl al-isyarat,
orang-orang yang mencari Allah melalui “isyarat dan kiasan”; kedua, ahl al-ilm,
orang-orang yang mencari Allah melalui “pengetahuan diskursif”; ketiga, ahl
al-mujahada, yakni orang yang mencari Allah melalui praktik mujahadah atau
perjuangan keruhanian; keempat, ahl al-khususiyya, orang khusus yang sampai ke
Allah melalui Allah, yakni “ditarik” oleh-Nya; kelima, ahl al-tajrid, orang
yang dipisahkan dari segala sesuatu kecuali Allah; keenam, ahl al-istila wa
tamkin, yakni para “penguasa” maqam mereka, yang mencapai “keabadian” dalam
keadaan tak memperhatikan dunia fana dan selalu hadir di dunia ghaib; dan
ketujuh, ahl al-muhabat, orang “terhormat,” orang-orang khusus dari yang
khusus. Mereka di bawah oleh Allah ke hadirat-Nya yang tanpa tempat. Manusia
jenis ini kehilangan semua atribut kemanusiaannya dan senantiasa terserap dalam
Keagungan Allah (Jalal)
Menurut al-Kharraz, Para Wali Allah memandang Tuhannya
melalui “hijab” sebab tajalli Allah tanpa hijab akan berakibat destruktif,
bahkan ketika Allah bertajalli langsung dalam bentuk yang bisa dicerap –
seperti kisah Musa yang pingsan setelah “melihat” tajalli Allah. Hijab ini
berbeda dengan hijab orang awam, yang berupa kekotoran dosa dan nafsu. Hijab
yang dikenakan atas Wali Allah adalah demi melindungi mereka dari kehancuran
total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar