Jurus
Dakwah Ahlul Bid’ah Hasanah
Suasana
hotel Montana Malang begitu tenang menjelang maghrib, ketika Media Ummat datang
untuk menemui seorang habib muda, muballigh, penerjemah, sekaligus penulis
produktif yang telah menulis banyak buku seperti buku Mana Dalilnya 1 dan 2 dan
buku Ahlul Bid’ah Hasanah 1 dan 2. Beliaulah Habib Novel bin Muhammad
Al-Aydrus.
MU baru bisa
menemui Habib Novel pada pukul 21.15 WIB. Rupanya agenda yang begitu padat
membuat beliau tidak bisa menyisihkan banyak waktu. Malam itu, Habib muda ini
menyampaikan taushiyah di Majelis Taklim wal Maulid Riyadhul Jannah yang
dilaksanakan di Masjid Sabilillah Malang.
Setelah
melakukan pembicaraan singkat di hotel, MU diajak satu mobil bersama panitia
dan Habib Novel menuju lokasi pengajian. Dalam perjalanan itu, MU menyaksikan
bagaimana Habib Novel begitu banyak berdoa dan bertawassul kepada datuk-datuk
dan guru-guru beliau. Rupanya itulah kebiasaan beliau sebelum menyampaikan
pengajian.
Salah satu
dari sekian banyak akhlaknya, yang MU saksikan langsung, beliau tidak mau
dihormati, tidak mau dibedakan dengan yang lain (orang awam). Misalnya saat
parkir dalam lokasi acara majelis, beliau diberikan tempat yang dekat parkirnya
dengan majelis, tapi beliau menolak, “saya ini hamba, jangan
dilebih-lebihkan,pintanya, subhanallah.
Mondok 7
Bulan
Habib Novel
dilahirkan di Surakarta, 27 Juli 1975. Sejak dari SD sampai SMP, Habib Novel
sekolah di Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Surakarta, kemudian meneruskan SMA-nya
di sekolah negeri. Karena banyak menghabiskan waktu di sekolah umum,Habib Novel
awalnya kurang suka dengan bacaan buku-buku agama. Sampai-sampai ia sempat
mempertanyakan, “apa nikmatnya membaca buku agama..?
Namun, darah
agamis dari datuk-datuknya tetap hidup. Suatu ketika, ia justru merasa
penasaran dengan buku-buku agama. Ia lalu mencoba membaca buku tasawwuf yang
berjudul pembersih jiwa. Eh, ternyata ketagihan. Selanjutnya, ia jatuh hati,
dan mulai mendalami ilmu agama.
Selepas
lulus SMA pada tahun 1994, Habib Novel tak melanjutkan keperguruan tinggi.
Dengan restu sang ibu, yang awalnya keberatan karena tidak ingin hidup
berjauhan dengan sang putra, Habib Novel berangkat ke Pesantren Darul Lughoh
Wad Da’wah, Desa Raci, Pasuruan, Jawa Timur. Pesantren tersebut diasuh
(almarhum) ustadz Hasan Baharun. Ibunya, hanya mengizinkan belajar di sana
selama satu semester.
Sebagai
lulusan SMA negeri, yang sama sekali belum mengenal kehidupan pesantren dan
bahasa Arab, tentu tidak mudah bagi Habib Novel untuk menguasai bahasa Arab
dalam waktu singkat. Tapi, ada kata-kata kakeknya (almar hum) Habib Ahmad bin
Abdurrahman Alaydrus, yang tinggal di Kudus, yang sangat memicu semangatnya: Jika kamu mampu
menguasai bahasa arab, kamu telah menguasai setengah ilmu.
Setiap hari,
katanya ia memaksakan diri menghafalkan tak kurang dari 90 kata kerja. Sambil
ronda, ketika bercengkrama dengan teman, ketika duduk santai di tengah lapangan
sambil minum kopi bersama kawan-kawan, di atas tempat tidur, kamus kata kerja
hampir tidak pernah berpisah dari kamus. Alhamdulillah, dalam waktu dua bulan
saya sudah dapat bercakap-cakap de ngan bahasa arab ,kata Habib Novel.
Setelah
selesai satu semester, sesuai pesan ibunya, ia meninggalkan pesan tren atas
restu ustadz Hasan, Pulang lah, apa yang kamu pelajari sudah cukup, insyaallah
berkah!. Kata-kata
Insyaallah berkahitulah
yang hingga kini membekas dalam hatinya. Semoga doa beliau ini terkabul, kenang Habib
Novel.
Sepulang
dari pesantren, Habib Novel melanjutkan ngajinya kepada Habib Anis dan beberapa
habaib dan kiai lainnya.
Meluruskan
Bid’ah
Mengenai bid’ah,
kata Habib Novel, bid’ah itu sendiri terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah dan
bid’ah dhalalah. Sayangnya selama ini kata bid’ah sudah begitu melekat dengan
stigma negatif, yang setiap pelakunya itu ahli neraka.
Mereka berhasil
menempatkan kata bid’ah sebagai sesuatu yang buruk. Maka saya harus berjuang
merebut kembali istilah bid’ah agar tidak dikonotasikan negatif,kata Habib Novel
bersemangat.
Menurutnya,
Syaikh Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang berada di Arab Saudi saja tidak
berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik lisan ketika
berdakwah maupun tulisan dalam berbagai kitab dan bukunya. Apalagi muslim Sunni
Indonesia adalah mayoritas.
Salah satu
upaya untuk membentengi ummat adalah dengan menerbitkan buku. Buku pertama yang
ditulisnya, dengan judul Mana Dalilnya, diburu masyarakat. Melalui buku itu, Habib
Novel menjelaskan bahwa
ri’tual-ritual kaum Ahlussunnah wal jamaah di Indonesia yang dituduh semuanya
bid’ah dhalalah ternyata dasar atau dalilnya jelas. Selanjutnya, habib Novel
juga menerbitkan buku yang hampir mirip dengan judul yang lebih bombastis,
Ahlul Bid’ah Hasanah.
Sesuai namanya,
isi buku ini mengupas dalil dan sumber berbagai amaliah Ahlusunnah wal Jama’ah
yang selama ini di klaim sebagai bid’ah dan sesat, serta mencantumkan pendapat
para ulama yang kuat. Lebih praktis dan tegas. Pada buku Mana Dalilnya, saya
menggunakan kerangka berpikir Wahabi. Sementara buku ini kerangka berpikirnya
tengah-tengah: Wahabi dan kaum santri,katanya.
Saat ini,
bila ada yang mempengaruhi dan menuduh dengan berbagai label negatif terkait
dengan Ya Sinan, tahlilan, shalawatan, misalnya, ummat tidak hanya diam,
apalagi terpengaruh, mereka mulai berani membantah, dengan mengutarakan
dalil-dalil yang kerap disampaikan Habib Novel, atau minimal tidak terpengaruh.
Semangat
habib muda ini dalam membentengi aqidah ummat begitu tinggi. Untuk mendukung
dakwahnya, kini Habib Novel juga merambah bisnis kaus oblong dengan berbagai
gambar dan kata-kata ciri khas Ahlusunnah wal Jama’ah yang menggugah. Ini
diproduksinya sendiri menggunakan label Abah, singkatan Ahlul Bid’ah Hasanah
Pada
produksi kaus, saya menggunakan kata-kata yang menyentuh tapi tidak provokatif,
seperti ziarah kubur, Ya-Sinan, tahlilan, maulidan, kemudian diarahkan de ngan
menggunakan tanda panah ke kata surga. Kemudian, kalimat lebih baik gila dzikir
daripada waras namun tidak dzikir,kata Habib Novel.
Semoga
perjuangan jihad fi sabililah yang beliau lakukan demi menegakan dan menjaga
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah menda pat kebaikan dan ridho Allah SWT dan
senantiasa diberikan pertolongan oleh Allah SWT beserta seluruh keluarga dan
keturunannya di dunia maupun di akhirat.
Tegas dan
Lugas
Habib Novel
bin Muhammad Alayd rus, menikah dengan Syarifah Fathimah Qonita binti Ali
Al-Habsyi, cucu Habib Anis Al-Habsyi. Habib Novel menyapa jamaah melalui
Majelis Ar Raudhah yang ia pimpin di kediaman beliau di Solo, Jawa Tengah yang
juga disiarkan melalui Radio Al Hidayah 107.6 FM Solo pada Jum’at malam Sabtu
pukul 20.00 WIB. Kajian rutin Ar Raudhah ini juga disiarkan secara live melalui
streaming video dalam situs Ar Raudhah Solo.
Sepertinya,
sungguh tepat bila ia memutuskan untuk terjun ke lingkungan bawah yang selama
ini awam wawasan keberagamaan. Selama ini mereka kebanyakan beragama hanya
ikut-ikutan. Namun mereka amat mendambakan kebaikan, sehingga mereka pun taat
mengikuti berbagai ritual ibadah. Tidak hanya yang yang wajib, namun juga yang
sunnah, seperti shalawatan, tahlilan, Maulidan, dan sebagainnya. Pada
gilirannya, sikap taqlid mereka itu disalahgunakan oleh sekelompok tertentu
untuk menebar ajakan agar meninggalkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.
Bukankah
mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati..?.
Seolah
mendapat ilham dari Allah SWT, Habib Novel gencar membendung paham Wahabi,
sebuah paham yang kerap menjadi embrio dalam pemahaman kelompok-kelompok ummat
yang ekstrem. Caranya dengan membentengi aqidah ummat dari berbagai aliran yang
menyimpang dari doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Sebab, menurutnya, Wahabi itu
sesungguhnya kecil, ummatlah yang membesarkannya dengan menjadi pengikutnya.
Masih
menurut Habib Novel, ummat Islam yang berpaham Wahabi itu tidak akan bisa
berubah dengan berbagai mauizhah dan dialog. Mereka hanya akan berubah dengan
hidayah Allah. Dialog, sehebat apa pun dan segencar apa pun, tidak efektif bila
hidayah Allah belum turun. Masalahnya, keduanya, baik Ahlussunnah maupun
Wahabi, sama-sama menggunakan dalil dan hadits yang hampir sama, hanya pemahamannya
yang berbeda.Seribu ulama Wahabi dan seribu ulama Ahlusunnah, bila beradu ilmu,
masing-masing tidak akan menemukan titik temu. Umumnya, seseorang yang keluar
dari Wahabi bukan karena ilmu, namun hidayah dari Allah SWT,kata habib yang
beberapa kali memberikan taushiyah di Kota Malang ini.
Ada salah
satu kisah menarik di Jawa Timur. Seorang pemuda Wahabi meyakini bahwa pahala
mengirim hadiah surah Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak sampai
kepadanya, dan dia berdebat habis-habisan dengan koleganya yang seorang
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Tiba-tiba
datang salah seorang habib, dan diadukanlah perkara tersebut.
Menariknya,
dengan ringan sang habib hanya menjawab, Insya Allah sampai, buktikan saja
sendiri.
Malam
harinya, pemuda Wahabi tersebut merasa penasaran dan ia pun ingin membuktikan
saran sang habib, mengirim hadiah surah Al-Fatihah khusus untuk ayahnya, yang
telah lama menghadap-Nya. Ketika tidur di malam itu juga, ia bermimpi bertemu
sang ayah. Bahkan dalam mimpinya itu ayahnya berkata, “Kenapa tidak dari
dahulu kamu mengirimkan hadiah ini untuk ayah, nak..?Kontan saja ketika terbangun di pagi harinya ia merasa
begitu trenyuh. Bahkan ia menjadi mempercayai mimpinya tersebut.
Tidak lama
kemudian, ia mengisahkan mimpinya itu kepada teman debatnya. Sejak saat itu, ia
pun menyakini dan selalu mengatakan kepada khalayak bahwa hadiah Al-Fatihah
untuk orang yang telah meninggal itu sampai.
Artinya,
perpindahan aqidah itu bukan karena ilmu, melainkan hidayah dari Allah SWT.
Mungkin, seseorang yang baru mulai memasuki ajaran Wahabi masih bisa
dipengaruhi dan diberi pemahaman untuk kembali. Tapi bagi yang sudah menjadi
Wahabi sangat sulit. Menurut Habib Novel, mengutip perkataan Habib Ali Al-Habsyi,
orang yang telah terkena penyakit Wahabi, susah sembuhnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar