Beliau
adalah pembimbing besar kepada banyak santri untuk senantiasa cinta pada Allah
dan Rasul-Nya. Habib yang periang, bersahabat, penuh dengan senyum, dan tak
pernah membeda-bedakan siapa saja yang beliau temui.
Riwayat
Hidup dan Keluarga
Lahir
Habib Saggaf
bin Mahdi lahir di Dompu Nusa Tenggara Barat ( NTB ) Tanggal 15 Agustus 1945.
Pendidikan
Awal
Berawal dari
kalimat “NANTI kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja.
Berangkatlah tawakkaltu,” demikian nasihat Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad
al-Muhdhar ulama besar dari Bondowoso, Jawa Timur usai ‘meneliti’ kaki Saggaf
bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun. Namun Saggaf muda masih ragu. Pasalnya
sejak kecil ia tak pernah mondok. “Kepala seperti mau pecah mendengar perintah
itu. Tapi saya pergi juga ke Pesantren Darul Hadits di Malang,” kenang Habib
Saggaf, panggilan akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar.
Nyantri Di
Malang
Di depan
pintu ponpes, Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad
Bilfaqih Al Alawy. “Kamu musti belajar baca al-Qur’an,” kata Habib Abdul Qadir
seraya memegang kuping Saggaf. Sontak, sakit kepala dan keraguan Saggaf hilang.
“Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di
sini,” tekad Saggaf muda. Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan
cemerlang. “Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh
dan nahwu. Saya di sana 13 tahun,” kenangnya.
Belajar
Thariqat
Sepulang
dari Malang, Saggaf berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair selama 5
tahun dan i’tikaf di Makkah selama 5 tahun. Saggaf juga memperdalam tareqat di
Irak. Namun ia harus kembali ke Tanah Air. Guru tarekatnya yang beraliran
Syadziliyah, merekomendasikannya belajar tareqat di Mranggen, Kabupaten Demak
ke Syekh Muslih Abdurrahman. “Karena tareqat Syadziliyah agak sulit di
Indonesia, maka saya disuruh ke Mranggen yang beraliran Qadiriyyah. Syekh
Muslich Mranggen itu guru tareqat saya,” ungkap Saggaf kepada Gamal Ferdhi dan
Ahmad Suaedy dari the WAHID Institute. Dia pun lantas kembali ke Dompu,
Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama
berselang, Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-’Ashriyyah Nurul
Iman. Sebelum ke Parung, Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya,
Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam dan Afrika.
Habib Saggaf
juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya,
ia menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam.
“Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap ‘tukang makan orang,”
ujarnya lugas. Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena
ajaran Islam disalahpahami. “Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa
itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya
presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi,
jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru
mujahid,” himbaunya.
Untuk itu,
ia menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan
melalui mekanisme hukum. “Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada
polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti
ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok
orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak
Indonesia,” tandasnya.
Selain itu,
kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami.
“Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara
orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka.
Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki,
jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid,” himbaunya.
Sahabat Gus
Dur
Habib yang
selalu identik dengan sorban di kepalanya ini memang dekat dengan almarhum KH
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam sebuah kesempatan wawancara eksklusif
dengan almarhum pada pertengahan Ramadhan 1431 H (3/9/2010) lalu, dirinya
berkisah kepada Wiwit Rf dan Alamsyah M. Dja’far dari Wahid Institute mengenai
banyak hal, mulai dari awal mula merintis pesantren di Desa Warujaya, Parung,
Bogor, termasuk kisah kedekatannya dengan mantan presiden KH. Abdurrahman
Wahid.
Menurut
ceritanya, sekira tahun 2006 Gus Dur divonis mengalami gangguan ginjal sehingga
harus menjalani cuci darah secara rutin. Pada kali pertama menjalani cuci darah
keluarga sempat menjemput Habib Saggaf di Parung demi membujuk Gus Dur yang
‘bandel’ tak mau menjalani cuci darah. “Habib, saya minta tolong untuk
menasehati Gus Dur,” kata Habib Saggaf menirukan permohonan Yenny Wahid, putri
kedua Gus Dur. Permintaan tersebut diamini Habib. Ia lalu datang ke rumah Gus
Dur di Ciganjur. Anehnya, belum sempat mengutarakan niatnya membujuk, Gus Dur
malah sudah tahu kalau salah satu misi Habib adalah membujuk dirinya agar mau
cuci darah. Tapi bujukan Habib akhirnya berhasil. Gus Dur pun mau menjalani
cuci darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar