Pelajar Dua
Tanah YamanAwalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya
dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah
membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman.
Hingga kini, sudah cukup banyak pelajar dari Indonesia yang berkesempatan
menimba ilmu di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Dari sekian banyak
pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di kota Tarim tersebut, hampir tidak
pernah terdengar ada di antara mereka yang juga mendatangi kota Zabid, Yaman
Utara, untuk tujuan yang sama. Padahal, kota Zabid juga terkenal sebagai kota
pusat ilmu.Seperti halnya Tarim, sejak dulu hingga saat ini, kota Zabid banyak
melahirkan ulama-ulama besar. Hingga dikatakan bahwa Zabid adalah Tarimnya
Yaman Utara. Adalah Habib Quraisy, atau lengkapnya adalah Habib Muhammad
Quraisy bin Mujtaba Alaydrus, satu di antara sedikit sekali pelajar Indonesia
yang pernah tercatat menimba ilmu di Rubath Zabid, setelah beberapa tahun
sebelumnya berguru di Rubath Tarim, Hadhramaut.Meski masih terbilang muda usia,
perjalanan hidup Habib Quraisy, pemuda kelahiran Malang 31 Juli 1975, sarat
dengan hikmah, terutama pada masa-masa belajarnya di kota Zabid, Yaman Utara
tersebut. Saat ini, putera dari pasangan Habib Mujtaba bin Mushthafa Alaydrus
dan Syarifah Maryam binti Muhammad Ba’bud ini dipercaya untuk melanjutkan
majlis rauhah kakeknya, Habib Muhammad bin Husain Ba’bud, Lawang, Jawa Timur,
yang sempat vakum cukup lama, yaitu sejak wafatnya Habib Muhammad sekitar lima
belas tahun yang lalu.Hikmah Sakitnya Sang KakekBeberapa tahun silam, sewaktu
Habib Muhammad bin Husain Ba’bud sedang menjalani operasi prostat sekitar lima
tahun sebelum tutup usia, isteri Habib Muhammad Ba’bud yang bernama Syarifah
Aisyah binti Husain Bilfagih, berharap agar ada dari salah seorang cucunya yang
mau menemaninya. Di antara para cucunya itu, Habib Quraisy, yang pada saat itu
masih berusia sekitar 12 tahun, bersedia memenuhi keinginan sang nenek.Habib
Quraisy pun kemudian tidur di kamar Habib Muhammad, pada ranjang yang berbeda.
Ternyata, kebiasaan itu terus berlanjut, bahkan setelah Habib Muhammad sembuh
dari sakitnya. Quraisy kecil tetap tidur satu kamar dengan Habib Muhammad bin
Husain Ba’bud dan isterinya, Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih. Praktis,
sebagian besar waktu dari masa kecilnya, dihabiskannya bersama dengan Habib
Muhammad. Tinggal sehari-hari bersama dengan Habib Muhammad Ba’bud tentunya
merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Ketimbang merasa sebagai
cucu, ia sendiri akhirnya lebih merasa bagaikan anak dari Habib Muhammad. Sejak
saat itu, Habib Quraisy kerap terlihat mendampingi Habib Muhammad pada
majlis-majlisnya. Ia juga mulai mengikuti pelajaran-pelajaran di Darun
Nasyi’ien, pondok pesantren yang didirikan dan diasuh oleh kakeknya
tersebut.Setelah kurang lebih sekitar lima tahun mendampingi sang kakek, pada
tahun 1993, Habib Muhammad wafat. Sekitar satu tahun setelah wafatnya Habib
Muhammad, Habib Quraisy yang kala itu mulai beranjak remaja meninggalkan tanah kelahirannya
dan merantau ke negeri seberang, Martapura, Kalimantan Selatan.
Keberangkatannya ke Martapura kala itu ternyata menjadi awal langkah panjang
perjalanannya dalam mengarungi pengembaraan keilmuannya di kemudian
hari.Paspornya tak TerpakaiSekitar tahun 1994, ia mendengar kabar tentang Habib
Umar Bin Hafidz yang mulai membuka pondok Darul Musthafa di Hadhramaut.
Mendengar kabar itu, ia ingin sekali berangkat ke sana. Maka ia pun mulai
mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk mengurus pembuatan paspor. Rupanya
takdir Allah SWT berkata lain. Setelah paspornya sudah jadi, karena disebabkan
faktor biaya dan faktor-faktor lainnya, ia tak kunjung berangkat.Namun semangat
kuat dalam dirinya untuk ingin mengaji, membawa langkah kakinya ke bumi
Martapura. Ia sendiri sebenarnya menyadari bahwa pendidikan di Pondok Pesantren
Darun Nasyi’ien, tempatnya tumbuh besar selama ini, cukup bagus pula bagi
dirinya. Akan tetapi karena pesantren tersebut ada dalam lingkungan keluarganya
sendiri, ia khawatir dirinya tidak akan berusaha maksimal dalam menuntut
ilmu.Pada waktu itu, banyak santri Darun Nasyi’in yang berasal dari Banjar.
Suatu hari terdengar kabar tentang rencana penyelenggaraan haul KH Anang
Sya’rani Arif, seorang ulama besar di Martapura. KH Anang Sya’rani Arif adalah
kawan seperguruan KH Syarwani Abdan, Tuan Guru Bangil. Saat itu, salah satu
cucu KH Anang Sya’rani Arif yang merupakan santri pondok Darun Nasyi’in,
mengajaknya untuk menghadiri acara haul tersebut.Sesampainya di Martapura ia
berjumpa dengan Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi, tokoh Alawiyyin di
sana kala itu. Ia kemudian diajak shalat berjamaah bersama Habib Abubakar.
Seusai shalat, Habib Abubakar yang saat ini berdomisili di Surabaya mengatakan
kepadanya, “Ente semestinya jangan di sini, ente harus ke Tarim.” Demikian
pesan Habib Abubakar kepadanya saat perjumpaannya pertama kali di Martapura
pada waktu itu.Memang, pada dasarnya dirinya pun berpikir seperti itu. Ia
sendiri menyayangkan paspornya yang sudah jadi, tapi akhirnya tidak terpakai.
Tapi ia sempat berpikir, insya Allah pintu untuk menuntut ilmu di Tarim harus
melewati Martapura dulu. Setelah batal berangkat ke Tarim pada saat itu, maka
daripada tidak pergi sama sekali, ia memutuskan lebih baik ia mengaji dulu di
kota Martapura.Pada awalnya, ia tidak bermaksud tinggal di rumah Habib
Abubakar. Akan tetapi setelah pertemuan itu akhirnya ia hidup bersama Habib
Abubakar selama enam bulan pertama keberadaannya di Martapura. Karena ingin
mandiri, setelah enam bulan ia memutuskan untuk kos, dan tidak lagi tinggal
serumah dengan Habib Abubakar.Di Martapura, ia menaruh simpati pada cara
mengajar Tuan Guru Zaini. Sekitar dua tahun lamanya ia melazimi
majelis-majelisnya Guru Ijai, panggilan akrab Tuan Guru Zaini. Materi
pengajaran Guru Ijai yang diikutinya, kebanyakan lebih menekankan pada aspek
tashawuf. Meski sistem pengajaran Guru Ijai hanya seperti pada sebuah pengajian
di majlis ta’lim, namun apa yang ia dapat dari pelajaran-pelajaran tashawuf
yang disampaikan Guru Ijai itu dirasakannya sangat membekas pada dirinya.
Selain pada Guru Ijai, di sana ia juga sempat masuk Madrasah Darussalam, sebuah
lembaga pendidikan agama terbesar (pondok pesantren dan madrasah) di Martapura
yang didirikan oleh Tuan Guru Kasyful Anwar. Ia juga sempat belajar ilmu-ilmu
alat (perangkat tata bahasa Arab) kepada Guru Syukri di rumahnya.Lebih Banyak
yang Tak ResmiHabib Quraisy, yang saat ini telah dikarunia tiga putera bernama
Muhammad, Ahmad, dan Husain dari hasil pernikahannya dengan Syarifah
Mas’adurridha binti Abdullah Al-Hamid, akhirnya pada tahun 1997 ditakdirkan
juga berangkat ke Hadhramaut, sebagaimana yang telah menjadi impiannya selama
ini. Keberangkatannya ini tak terlepas dari berkat doa kedua orang tuanya dan
peran penting Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi yang membiayai
keberangkatannya tersebut.Dari Martapura, ia sempat menghubungi Habib Ali bin
Muhammad Ba’bud, pamannya, untuk menyampaikan rencana kepergiannya. Saat itu
Habib Ali mengatakan ia harus izin kepada guru tempat ia belajar selama ini,
yaitu pada Guru Ijai. Sewaktu ia mengutarakan kepada Guru Ijai, Guru Ijai malah
mengatakan bahwa ia harus meminta izin pada Habib Ali. Akhirnya, ia pun
menganggap ini sebagai restu dari keduanya. Sebelum terbang meninggalkan
Indonesia menuju Hadhramaut, dari Martapura ia sempat pulang dulu ke Lawang
untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya dan sanak keluarga lainnya.
Sesampainya di Hadhramaut, ia masuk pada Rubath Tarim, asuhan Habib Hasan bin
Abdullah Asy-Syathiri. Pada tahun pertama, pelajaran-pelajaran awalnya masih
dibimbing oleh salah seorang santri senior yang berasal dari Banten, Indonesia.
Ustadz Muhaimin, namanya.Beberapa waktu kemudian, ia menjadi satu-satunya
pelajar dari Indonesia yang memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib Hasan.
Setiap hari bersama Habib Hasan, sekitar pukul sembilan pagi, ia mempelajari
kitab At-Tanbih dalam fiqih dan kitab Ihya’ dalam tashawwuf. Sementara setiap
hari Rabu dan Sabtu, ia menghadiri halaqah umum Habib Hasan di Rubath. Ia juga
sempat mengkhatamkan kitab Bidayatul Hidayah pada Habib Hasan pada majlis
rauhahnya setelah Ashar. Saat hendak mempelajari kitab itu, Habib Hasan
memesankan kepadanya, pahami isi kitab tersebut dengan baik, kemudian amalkan
apa saja yang ada di dalamnya.Saat itu, ia bukanlah santri yang memiliki
keistimewaan tersendiri hingga memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib
Hasan seorang diri dari Indonesia. Mungkin kebanyakan santri dari Indonesia
saat itu banyak yang sungkan untuk menghadiri halaqah tersebut, begitu
pikirnya. Belakangan, setelah kepulangannya ke Indonesia, sejumlah santri
Indonesia lainnya mengikuti jejaknya untuk mengikuti halaqah Habib Hasan di
pagi hari tersebut.Sekalipun ia sendiri merasa bekal ilmunya masih sedikit,
namun kesan kuat dari pelajaran-pelajaran adab yang didapatnya sewaktu di
Martapura, menimbulkan himmah tersendiri di dalam dirinya. Apalagi, ia juga
memperhitungkan bahwa keberadaannya di sana tidak akan lama, yaitu hanya
sekitar dua tahun saja. Karena itu ia ingin mempergunakan kesempatan berada di Hadhramaut
dengan sebaik-baiknya.Karena pertimbangan rencana waktu yang singkat itu, ia
mensiasatinya dengan lebih mengejar faham di setiap pelajarannya dan tidak
mengejar hafalannya. Di Rubath, pagi hari ia belajar ilmu Nahwu, sore dan malam
hari ia belajar ilmu Fiqih dan beberapa materi lainnya. Berdasarkan petunjuk
dari Habib Salim, di malam hari ia juga mendatangi beberapa ulama yang ada di
sana. Sehingga ia cukup banyak memgikuti majelis-majelis ilmu di luar kurikulum
Rubath itu sendiri.Berdiri di Pintu Pabrik RotiSuatu saat, Habib Salim pergi ke
kota Madinah. Karena tujuannya mendatangi Rubath adalah secara intensif
mengikuti pelajaran-pelajarannya Habib Salim, maka saat kepergian Habib Salim
itu, ia berpikir untuk mencari kesempatan dengan mengisi waktu belajar di
tempat lain. Ia pun akhirnya teringat dengan cerita-cerita Habib Abubakar bin
Hasan Al-Attas Az-Zabidi tentang kota Zabid. Nisbah Az-Zabidi di belakang nama
Habib Abubakar sendiri memang dikarenakan dulu Habib Abubakar sempat menimba
ilmu di kota Zabid tersebut. Habib Abubakar tampaknya bangga dengan kota Zabid
itu, hingga dalam kitab Iqdul Yawaqit yang dicetaknya, ia menuliskan namanya
dengan tambahan kata Az-Zabidi di belakang namanya. Ketika di Zubad,
orang-orang di sana masih mengingat Habib Abubakar. Bahkan ia juga ditunjukkan
kamar tempat Habib Abubakar tinggal dulu.Maka bersama dua sahabatnya, yaitu
Habib Abdul Qadir Alaydrus (dari Purwakarta) dan Musthafa Al-Hamid (dari
Tanggul), ia memutuskan pergi ke kota Zabid, melalui kota Shan’a. Karena tidak
mempunyai uang, maka uang tiket kepulangan ke Indonesia milik Habib Musthafa
Al-Hamid dipinjamnya sebagai ongkos menuju kota Zabid. Sesampainya di sana,
tidak seberapa lama, seluruh uang yang dipegang olehnya dan kedua sahabatnya
tersebut pun habis. Karena himmahnya pada ilmu, kepergiannya ke Zabid memang
dapat dikatakan lebih banyak nekatnya. Karena di Rubath Zabid itu, hanya
dirinya dan kawannya sajalah pelajar yang berasal dari Indonesia. Tidak ada
sanak saudara atau bahkan kawan seperguruan lainnya.Setelah hampir sekitar dua
bulan lamanya di Zabid, salah seorang sahabatnya, Habib Musthafa Al-Hamid,
pulang terlebih dahulu. Karena tak mempunyai uang sepeser pun, akhirnya ia
berusaha menghubungi beberapa pihak di Jakarta agar dapat meminjamkan uang
kepadanya untuk mengganti uang tiket ongkos kepulangan sahabatnya itu. Tidak
mudah rupanya mencari uang untuk menggantikan uang kawannya tersebut, sekalipun
akhirnya ada juga dari orang yang dihubunginya di Jakarta yang mau memberikan
uang kepadanya untuk keperluan itu.Di Rubath Zabid, berbeda sekali kondisinya
dengan Rubath Tarim. Kalau di Rubath Tarim, ada pondokan dan makanan, sementara
di Rubath Zabid yang ada hanya tempatnya saja. Kelihatannya Rubath Zabid memang
cenderung sudah tidak terurusi lagi. Setiap hari ia makan di tempat itu juga,
kemudian jalan sendiri ke rumah para guru. Terkecuali salah seorang gurunya,
yaitu Syaikh Muhammad ‘Izzy yang setiap hari datang ke Rubath.Ia mengalami
kehidupan yang sangat payah di Rubath tersebut. Tapi subhanallah, sekalipun
seringkali harus menahan tidak makan, yang namanya rizqi itu memang selalu ada.
Allah SWT memang tak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh
berusaha dalam kebaikan. Saat itu ada seorang anak kecil yang mungkin
memperhatikan dirinya. Dari rumah tempat tinggalnya, terkadang ia membawakan
makanan pada sebuah mangkuk dari seng. Makanannya itu dari bahan sejenis gandum
dengan ada rasa sedikit kecut. Karena sering menahan lapar, maka saat si anak
kecil itu membawakan makanan kepadanya, rasa dari makanan tersebut nikmatnya
luar biasa. Mungkin kalau di Indonesia, makanan itu tidak termakan olehnya.Di
Rubath Zabid itu, sebenarnya ada juga yang masak dengan biaya urungan sesama
santri yang tinggal di sana. Tapi karena ia tidak pegang uang sama sekali, ia
tidak ikut urungan. Setelah beberapa lama, akhirnya ada juga yang memperhatikan
kondisinya itu dan menaruh belas kasihan. Bahkan karena itu, akhirnya
keberadaannya memberi manfaat kepada santri-santri lainnya yang ada di Rubath
tersebut. Kisahnya bermula dari informasi yang disampaikan kepada tiga pabrik
roti yang letaknya tidak jauh dari Rubath. Kepada pemilik tiga pabrik roti
tersebut diinformasikan, bahwa saat itu ada dua pelajar dari Indonesia yang
kondisinya serba berkekurangan. Rupanya mereka kasihan dan menaruh simpati
kepadanya. Akhirnya setiap hari, ia dan kawannya dipersilahkan mengambil roti
kesana setiap hari. Setiap habis maghrib, ia berangkat ke pabrik roti itu,
mengetuk pintu, mengucapkan salam, kemudian berdiri di pabrik roti tersebut.
Pokoknya, hampir seperti yang dilakukan para pengemis saja. Mereka pun sudah
paham dan kemudian segera memberikan roti kepadanya. Sekalipun yang datang cuma
berdua, ia dan kawannya, tapi biasanya mereka memberi hingga sepuluh potong
roti. Karena itu, kawan-kawan santri yang ada di Rubath pun akhirnya
mendapatkan roti juga dari pemberian itu. Untuk sarapan dan makan malam, ia
selalu makan roti hasil pemberian ketiga pabrik roti tersebut. Kalau makan
siang, baru ia makan nasi bersama-sama di dalam Rubath.Selain masalah makanan,
ia juga kerepotan pada masalah ketersediaan air. Bila ingin mandi, ia hanya
dijatahi 3 liter air dan untuk wudhu 1 liter air. Bangunan kamar mandinya pun
setengah badan. Alhamdulillah, tidak seberapa lama ia di sana, ada orang yang
berkenan membantu untuk membangun kamar mandinya itu hingga jadi benar-benar
tertutup.Walhasil, pada awalnya ia memang membayangkan beratnya hidup sewaktu
akan berangkat ke Tarim. Sesampainya di Tarim ternyata kehidupan yang dihadapi
tidak sesulit yang ia bayangkan. Tapi sewaktu ia sampai di Zabid, bayangan
pertamanya tentang kesulitan hidup muncul kembali menjadi kenyataan. Sewaktu di
Hadhramaut, tubuhnya cukup gemuk. Di Zabid, ia menjadi langsing, demikian ia
mengisitilahkannya. Itu dikarenakan ia banyak berjalan kaki hingga berkilo-kilo
meter jaraknya untuk menuju rumah para guru. Tapi rupanya ia menikmati kondisi
itu. Sekali lagi ia merasa, pengaruh ajaran yang diterimanya sewaktu di
Martapura yang banyak membicarakan adab dan menekankan aspek tasawuf, menjadi
bekal yang sangat berharga baginya.Sehari, 8 sampai 9 GuruKepada Syech Muhammad
‘Izzy, ia membaca kitab fiqh Ibn Qasim dan kitab ushul fiqh Al-Waraqat. Di luar
itu, ia keluar mendatangi rumah para ulama di sana. Di kota Zabid, mayoritas ulamanya
bermadzhabkan Syafi’i. Begitu juga para ulama tempat ia menimba ilmu. Ada salah
seorang di antaranya yang bermadzhab Hanafi, yaitu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi.
Tapi karena keluasan ilmu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi, ia dapat berfatwa dalam
dua madzhab, Hanafi dan Syafi’i.Di Zabid, ia benar-benar memanfaatkan waktunya
semaksimal mungkin. Ia sadar, bahwa ia tak akan bertahan lama di kota Zabid
ini. Untuk itu, setiap kali ia mulai bertemu dengan mereka dan meminta waktu
untuk belajar kepada mereka, ia selalu meminta agar tidak memulai pembacaan
kitab dari awal, tetapi kelanjutan dari bacaan yang telah dibaca di Rubath
Tarim. Dalam satu harinya, ia bisa mendatangi delapan hingga sembilan guru.Di
antara guru-gurunya sewaktu di Zabid adalah Syekh Muhammad bin Ali Al-Baththah,
yang merupakan dzurriyah dari pengarang kitab Kawakibudduriyah, Syekh Muhammad
Sulaiman Asy-Syarafi Al-Hasani, Syekh Ali Muhammad Abdullah Sulaiman Washil
Al-Hasani, Syekh Sa’id Dabwan Al-Abdali, Syekh Muhammad Al-‘Imbari Al-Ahdal
(keluarga ‘Imbari di kota Zabid adalah keluarga yang memegang sehelai rambut
Rasul yang mereka dapatkan dari Turki yang karena itu di antaranya kota Zabid
banyak diziarahi). Guru-gurunya tersebut adalah para mufti di kota Zabid.
Selain itu, ia juga mendatangi sejumlah pemuda alim di kota Zabid dan belajar
dari mereka. Dari para gurunya itu, ia mendapatkan ijazah tertulis pada setiap
kitab yang ia baca.Ia juga sempat mendatangi Baitul Faqih dan Murawa’ah, suatu
daerah yang terletak berdekatan dengan kota Zabid. Para ulamanya di sana sangat
bersahaja. Sekalipun ternyata mereka adalah para alim besar, namun cara
berpakaiannya tidak berbeda dengan warga biasa lainnya. Ia bertabarruk kepada
mereka dengan meminta ijazah dan sanad kitab dari para ulama di sana.Kembali
bersama Habib SalimSetelah sekitar enam bulan di kota Zabid, ia melanjutkannya
Baidha’, masih di wilayah Yaman Utara. Selama sekitar empat bulan ia tinggal di
Rubath Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, tempat Habib Umar bin Hafidz dulu
menimba ilmu. Rubath ini sekarang diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Habib
Husain (putera paling tua), Habib Zain, dan Habib Ibrahim (putera paling
bungsu). Kepada Habib Husain ia membaca kitab Bidayatul Hidayah sedangkan
kepada Habib Ibrahim ikut pada majlis rauhahnya. Di Baidha’, ia juga membaca di
antaranya kepada Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Mardam, dan Syaikh
Abdullah Syu’aibi. Ia mendapatkan ijazah dari para gurunya itu dan mendapatkan
sanad-sanad kitab dari mereka. Sewaktu di Baidha’, sekalipun ia tetap dalam kondisi
tidak mempunyai uang, tapi kehidupannya tidak sesulit sewaktu di Zabid.
Kesehariannya hampir seperti di Rubath Tarim. Makanan dan sebagainya disediakan
dari pondok. Bedanya, di Rubath Al-Hadar ini, rekan-rekan pelajarnya banyak
yang berasal dari Somalia.Suatu saat, haul Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar
diperingati di Yafi’. Maka ia pun bermaksud pergi ke Yafi’ untuk menghadirinya.
Di Yafi’ ia juga hendak berziarah kepada seorang ulama yang diakui kewaliannya,
yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Hariri. Habib Salim Asy-Syathiri sendiri
mengatakan bahwa Syaikh Al-Hariri ini acap berjumpa dengan Habib Abdullah bin
Alwi Al-Haddad secara yaqzhatan. Subhanallah, di dalam peringatan haul di Yafi’
itu ia berjumpa dengan Habib Salim yang baru saja pulang dari kepergiannya yang
cukup lama ke kota Madinah.Sewaktu di Yafi’, sekalipun singkat, akhirnya ia
bersempatan membaca kitab kepada Syaikh Al-Hariri dengan niat tabarrukan. Ia
sendiri di Yafi’ cuma dua hari, karenanya ia sengaja mengambil kesempatan-kesempatan
seperti itu. Ia membaca kitab Muqaddimah fi Syarhil Burdah lil Bajuri. Sewaktu
peringatan haul, Syaikh Al-Hariri juga diminta berbicara. Di antara
kata-katanya yang sangat berkesan baginya dan selalu diingatnya adalah saat
Syaikh Al-Hariri mengatakan, “Bahwa jika kecintaan kepada keluarga Rasulullah
SAW benar-benar tertanam di hati seseorang, maka jangankan kepada para sahabat
Nabi SAW, kepada seorang muslim yang paling rendahpun ia tak akan pernah
mencaci.” Syaikh Al-Hariri adalah seorang ulama yang bagaikan mabuk cinta
kepada Nabi. Dari waktu ke waktu, lisannya terus menerus menyebut nama
Rasulullah SAW.Selesai acara haul, Habib Salim mengajaknya kembali bersama ke
Tarim. Jadi, sewaktu Habib Salim berangkat ke Madinah, ia berangkat pula ke
Zabid. Sepulangnya Habib Salim dari Madinah, ia ikut pulang bersama Habib Salim
ke kota Tarim. Dua karton kitab miliknya beserta tas besar yang berisi
perlengkapan pribadinya diikatkannya di atas mobil yang ditumpanginya bersama
Habib Salim tersebut.Perjalanan pulang ke kota Tarim bersama Habib Salim
menjadi perjalanan yang sangat mengesankan baginya. Sepanjang perjalanan di
atas mobil, ia perhatikan Habib Salim selalu melaksanakan shalat sunnah. Di
sepanjang perjalanan, Habib Salim juga selalu menyempatkan diri menziarahi
maqam-maqam para ulama yang dilewati, seperti di Aden, Mukalla, Ta’iz, hingga
sampai kembali di kota Tarim.Kepulangannya kembali ke kota Tarim saat itu
terjadi pada bulan Rabiul Awwal. Beberapa bulan lamanya ia kemudian meneruskan
kembali pelajaran-pelajarannya dengan Habib Salim di Rubath Tarim. Hingga pada
bulan Ramadhan tahun itu juga, ia kembali ke Indonesia. Kalau di total
waktunya, pengembaraan keilmuannya di luar negeri memakan waktu sekitar empat
tahun. Tiga tahun di Hadhramaut dan setahun di luar Hadhramaut. Namun waktu
yang “cuma” empat tahun itu benar-benar telah dimanfaatkannya secara maksimal.
Awalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu
dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya
berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman. Perjalanan
panjangnya itu kini menjadi buah yang menjadi bekal baginya dalam mengabdi pada
Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, peninggalan kakeknya tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar