Niatkan di
dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada
kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk
selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan
dakwah dari mana pun mereka berasal.
Kampung
Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar
bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.
Nama kampung
itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan
makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari
makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena
letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan
menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir
laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali
ini dilahirkan.
Habib Ahmad
bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari
sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik
anaknya.
“Gaya
mendidiknya itu gaya wulaiti,” kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya
saat sang ayah masih ada di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi
seseorang yang lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu
sangat tegas dalam mendidik keluarganya.
“Ayah saya tergolong
galak. Tegas sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami
harus bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam
empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib Ahmad.
Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya dengan wajah
sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan ayahnya yang seperti itulah
yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi seperti sekarang.
“Walidi
(ayah saya) galak. Ana nggak boleh banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini,
ada itu, tetap nggak boleh keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau
dimarahin. Kalau walidi habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi
duduk-duduk santai, ana deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah,
berkahnya sekarang ini amat terasa,” tuturnya.
Tekad Besar
Selain
menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh
orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumahnya.
“Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari dasar-dasar pelajaran
agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di samping kalau di rumah didikan ayah
saya terus saya dapatkan.”
Selepas
SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang diasuh oleh
Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu, ia melanjutkan
pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq, Bekasi,
yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang diasuh Habib Hamid An-Nagib
B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa ustadz. Selain kepada pembina dan
pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf
(yang kini telah mendirikan pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul
Habib), Ustadz Muhammad Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat),
Ustadz Zaki Mulachela, dan asatidz lainnya.
Di pesantren
ini ia benar-benar menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai
cita-citanya: belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia
dapat pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.
“Uang nggak
punya, persiapan nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu
pokoknya saya berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program
jadi berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin
beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke sana.
Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua persiapan yang
saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat apa nggak nantinya,”
kisah Habib Ahmad.
Sampai
akhirnya, suatu ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya.
Hingga, dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap
seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya di
negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh hari ia
persiapkan.
Harapan
besarnya akhirnya kesampaian. Ia berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil,
cita-citanya memang jadi orang yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar
kelas 1 SD, kalau ada yang tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan
tangkas Ahmad Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”
Merasakan
Kenikmatan
“Selama di
Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di malam-malam
Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat itu, kita merasakan
nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah terus-menerus,” kisah Habib
Ahmad seputar masa-masa belajarnya di Hadhramaut.
Selain
kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri itu, Habib Ahmad juga merasakan
nikmat dalam belajar. Di samping belajar, ia juga dididik untuk mengajar.
Bahkan di samping tugas mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada
sejumlah santri.
Setelah
dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan
kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah ke
daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.
“Kami
disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke daerah-daerah
Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di sana. Karenanya, kami
pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.
Saat masuk
ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin. Ada makam
shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin. Wallah, indah sekali,”
kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj dakwah sampai 40 hari.
Selama di
Hadhramaut, ia tidak hanya belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi,
sebagaimana para santri lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di
Hadhramaut, ia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan
Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad Syihab,
Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus (atau yang
dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan guru Hadhramaut lainnya.
Di antara
kenangan manis lain yang ia rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah
keinginannya sejak dulu untuk bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf
Jeddah. Sekali waktu, ia berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah.
Kesempatan itu pun sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi
menjumpai tokoh besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang
beredar.
Saat ia
mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu sedang terbuka.
Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun terbuka. Ia terus masuk
ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan dalam pun terbuka. Lalu ia
menyusuri anak tangga menuju lantas atas untuk dapat menuju kamar Habib Abdul
Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah, pintu kamar pun sedang terbuka.
Itu menjadi
kenangan yang tak terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah
udzur dan hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan
secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan
keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar baginya.
Sewaktu
kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai, bersama empat kawan lainnya ia
mendalami program kurikulum takhasus (pendalaman).
Singkat
cerita, setelah selama beberapa tahun ia menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004
Habib Ahmad pun pulang ke kampung halaman.
Sebelum
kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya, yaitu memakaikan imamah di
kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan di dalam hati bahwa semua ini
dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di
atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf,
dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.
Tak Merasa
Berat
Setelah
pulang, pertama kali ia mengajar di mushalla tempat ayahnya mengajar
sebelumnya. Jadi, apa yang dilakukannya itu tak lain untuk meneruskan dakwah
orangtua.
Waktu demi
waktu ia pun terus menjalani khuruj dakwah, sebagaimana yang dipesankan
gurunya. Di antaranya ke Pulau Seribu, yang telah menjadi rutinitas baginya,
bahkan terkadang sampai ke negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura, di
samping undangan-undangan dakwah yang dilayangkan kepadanya.
Saat ini ia
membina majelis secara berkala. Ada yang harian, seperti yang masih terus
berjalan sejak awal kepulangannya dari Hadhramaut, yaitu di mushalla dekat
rumahnya. Ada yang mingguan, seperti malam Jum’at, yang digunakannya selain
untuk mengaji kitab sekaligus juga untuk mengajak jama’ahnya membaca kitab
Maulid bersama-sama, serta pengajian umum Ahad pagi, bagi mereka yang tidak
bisa hadir di malam hari. Ada juga yang bersifat bulanan.
Habib Ahmad
juga aktif mengajar di beberapa masjid, majelis ta’lim, kantor, perusahaan.
Kini dakwahnya melebar lintas kalangan, mulai dari kalangan awam, santri,
pelajar, mahasiswa, pengusaha, hingga sampai politisi. Baginya, mereka semua
adalah lahan amal baginya untuk berdakwah.
Ar-Rausyan
adalah nama yang dipilihnya untuk majelis yang ia asuh. Ar-Rausyan adalah nama
salah satu cabang keluarga pada qabilah Al-Habsyi, sebagai nisbah daerah asal
mereka di Hadhramaut. “Supaya orang mudah mengingatnya. Itu saja.”
Mengenai
terjalnya medan dakwah yang harus ia jalani, kepada alKisah ia mengatakan,
“Alhamdulillah, dakwah generasi kita sekarang ini lebih enak dari generasi
salaf kita. Generasi salaf itu dakwahnya berat. Sangat jauh dengan kondisi
sekarang. Jadi kalau kita bilang kita saat ini dalam berdakwah itu pahit atau
berat, kita malu sama salaf kita.
Kita kini,
kalau masuk sebuah daerah, kita disambut. Kalau salaf kita, tak sedikit yang
disambit sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Memang di suatu daerah ada yang
senang dan ada yang nggak senang sama dakwah kita, tapi tetap saja tak
sebanding dengan jalan dakwah yang telah dirintis oleh para salaf. Jujur saja, kita
ini belum seberapa.
Para salaf
itulah yang telah membuka lahan. Sementara kita yang sekarang tinggal enak
melenggang di atas lahan yang telah dibuka oleh mereka. Kalau masalah pahit,
misalnya karena kita ada jalan kakinya, ada naik geteknya, itu kan hanya
sesekali. Tetap saja kita lebih sering enaknya, naik mobil-lah, naik
pesawat-lah.
Karenanya,
sewaktu sudah enak, ketika kita masuk ke suatu daerah, kita jangan lupa untuk
tetap menjaga adab. Misalnya, kalau masuk suatu daerah, kita harus sowan kepada
orang-orang tua di sana. Kalau ada makam shalihin, kita ziarahi. Ada yang
sakit, kita tengokin. Ada sekumpulan keluarga Alawiyyin, kita ikut kumpuli,
kemudian kita saling bersilaturahim bersama mereka. Mereka akan senang luar
biasa. Ini bagian dari akhlaq seorang dai yang semoga tak terlewat oleh
rekan-rekan dai lainnya.”
Bagi Habib
Ahmad, semua kegiatan dakwah yang dilakukannya semata-mata karena ia ingin
membahagiakan hati Baginda Rasulullah SAW.
Saat ditanya
apa harapan ke depannya, ia menjawab sederhana, “Ingin menjadi orang yang
paling bermanfaat untuk orang lain.”
Benar yang
dikatakannya, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara umat
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”
http://zulfanioey.blogspot.com/2012/06/habib-ahmad-bin-alwi-al-habsyi-kita-ini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar