Kisah ini
dituturkan oleh Habib Hamid bin Zaid bin Muhsin bin Salim Al-Aththas dari
Indonesia saat terakhir kali bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Hamid bi
Zaid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa (Hadramaut Yaman)
dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H, Habib Hamid menerima telepon dari Sayyid
Muhammad Al-Maliki di Mekah dan memintanya supaya datang ke Mekah untuk umrah
dan menemuinya.
Habib Hamid
memenuhi undangan tersebut dan bersama istrinya segera mempersiapkan segala
keperluan untuk keberangkatannya. Tiket dan visa sudah diurus oleh biro
perjalanan yang ditunjuk Abuya (panggilan hormat untuk Sayyid Muhammad
Al-Maliki).
“Saya hanya
mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya.” Kata Habib Hamid.
Hari kedua
Ramadhan, ceritanya, Sayyid Muhamad Al-Maliki kembali meneleponnya. Beliau
meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. “Kamu harus cepat
menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah.” Kata Sayyid Muhammad
Al-Maliki terkesan agak cemas. Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon
untuk memastikan Habib Hamid dan istrinya jadi berangkat. “Ketika itu Abuya bilang
agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah
saw dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar
secepatnya sampai di Mekah.”
Tepat pada 5
Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah. Di bandar udara,
dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad Al-Maliki dan membawanya ke
hotel yang telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian terbang ke Mekah.
“Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang
disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah
satu murid beliau untuk menemui orang yang paling saya kagumi, Sayyid Muhammad
Al-Maliki Al-Hasani. Sungguh tegang dan jantung berdetak lebih keras dari
biasanya.
“Sore itu,
seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Hamid di ruang kerjanya. “Beliau
memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di
Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf ( Bukit Duri ), Habib Abdullah
Al-Kaf, K.H Abdullah Faqih ( Langitan ) dan ulama lainnya. Saya jawab semua
baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan, agar nanti
berbuka puasa bersama dengannya.”
Ketika saat
berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad Al-Maliki menjemput Habib
Hamid. “Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia.” Tanya Abuya tiba-tiba, saat
Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.
“Saya
membawa dodol durian kesukaan Abuya!” jawab Habib Hamid.
Wajah Sayyid
Muhammad Al-Maliki tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh
itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada disitu. Beliau juga langsung
mencicipinya, kebetulan saat buka puasa tiba.
“Ada titipan
lagi buat saya?” tanya Abuya lagi.
“Ya, saya
membawa buah mangga dan kelengkeng”
Dahi Abuya
berkerut. “Kelengkeng? Buah apa itu ?” tanya beliau.
Habib Hamid
menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. “Abuya tampak suka
sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat isya” tutur Habib
Hamid.
Malam itu,
tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib berkesempatan shalat isya dan
tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki. Saat itu ikut berjamaah
beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid
Muhamad Al-Maliky memanggil Habib Hamid.
“Hamid bin
Zaid, kamu jadi imam Tarawih!” kata Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Habib Hamid
tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk
menjadi imam. Sementara di situ banyak ulama besar yang pasti lebih layak
menjadi imam shalat tarawih. Sekali lagi Sayyid Muhammad Al-Maliki memanggil
Habib Hamid.”Hamid bin Zaid, kamu yang akan menjadi imam.”
(“Sulit
dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di
belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya
gemetar. Membaca surah Al-Fatihah yang biasanya lancar di luar kepala pun,
menjadi terasa sanagt sulit. Alhamdulillah…..saya mampu melewati ujian berat
itu dengan baik, meskipun harus gemetaran.”)
Selesai
shalat tarawih, Sayyid Muhammad Al-Maliki membaca shalawat dan qasidah. “Menurut
murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah
Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Beliau juga sering berziarah ke makam istri pertama
Nabi saw bersama keluarganya. Sebelum meninggalkan masjid, beliau memanggil dan
menyuruh saya umrah malam itu juga.”
“Sebelum
saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin
berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi
wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan pertemuan
dengan para ulama Mekah, sangat menyita waktunya.”
Pada 10
Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat tarawih bersama dan
untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah. “Ajaklah istrimu untuk umrah dan
kembalilah untuk shalat shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya berangkat
umrah. Saya pun berpamitan sambil meminta izin untuk pergi ke Jeddah, sekadar
silaturrahmi ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin dengan
isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin mengizinkan
saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk
tidak pergi ke Jeddah.”
Pagi hari
tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Subuh bersama bersama Sayyid Muhamad
Al-Maliki. Beliau terkejut saat saya
berada di sampingnya.
“Kamu tidak
jadi pergi ke Jeddah?” tanyanya.
“Tidak
Abuya” sahut Habib Hamid.
“Bagus!”
jawab Abuya sambil memeluknya.
Malamnya,
seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat tarawih yang diakhiri
dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid
mendapat perintah Sayyid Muhammad Al-Maliki untuk umrah yang ketiga kalinya.
“Pada 12
Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat
kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya
memang tak enak saat beliau mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana
lain untuk saya besok.”
Rabu 13
Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi Imam Tarawih oleh
Sayyid Muhammad Al-Maliki. Saat itu jemaanya sekitar 200 orang, sebagian besar
adalah tamu-tamu Abuya. “Malam itu, beliau merasa letih dan kakinya kesemutan.”
Cerita Habib Hamid. Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca
sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil
Al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian.
Sayyid
Muhammad Al-Maliki kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24
jam terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya,
masih tekun menulis dan membaca buku.
Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga
penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. “Abuya
juga punya kebun buah yang cukup luas.” Kata Habib Hamid.
Akhirnya,
Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan.
Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di rumah sakit.
Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk.
” Apa kabar
Hamid bin Zaid ? kamu betah disini ?” tanya Abuya ambil memandangku. Seperti
biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang sakit.
” Kami tidak
lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma’la,
ke makam Syyidah Khodijah Al-Kubra. Ziarah kali ini aneh. Biasanya istri Abuya
tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca sholawat dan qasidah dari dalam
mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga bersama-sama membaca
Al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah saw.” Ungkap Habib Hamid.
Malamnya,
murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah,
tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. ” Sekitar jam 20.00. dokter datang,
dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!”
Saat Bulan
Purnama Tersaput Awan
Di luar
rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad Al-Maliki meminta izin kepada
dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau
keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit
selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya, ” Ada apa, Abuya ?”
Beliau menjawab, ” tidak ada apa-apa” .
Saat itu,
seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup
awan. “Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar
murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan ?”
Dari rumah
sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui
murid-murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang.
Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami
bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali
diselingi dengan tertawa lebar,” cerita Habib Hamid sambil mengenang peristiwa
penting itu.
Pertemuan malam
itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu
kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma
dan air zamzam. ” Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap
shalat shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar kerjanya.”
Di kamar
itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat
itulah, Sayyid Muhammad Al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan. ” Hai,
Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di Bumi ( maksudnya karpet ) ?”
“Terserah
Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana
mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya ?
“Saya akan
istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Beliau
kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku
dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu Beliau menengadah
menyebut, “Lailaaha illallah….”
“Innalillahi
wainna ilaihi raji’un………..” hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari
tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka
kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani wafat.
Jenazah
almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan
murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren. Tepat seusai shalat subuh,
ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. “Saya
pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan
jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau di makamkan, dekat dengan makam Sayyidah
Khadijah Al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat tarawih.”
Pemakaman
Sayyid Muhammad Al-Maliki
Jum’at
petang persis menjelang malam Nuzulul Qur’an, di Masjidil Haram, Mekah, jenazah
Sayyid Muhammad Al-Maliki di sholatkan. Dengan iringan tahlil dan tasbih (suatu
amalan yang jarang dilakukan, karena dianggap bid’ah bagi kaum Wahabi), sekitar
25 000 muslimin Mekah dan sekitarnya mengantarkan jenazah Ulama besar Ahlus
Sunnah wal Jama’ah ini (menurut cerita, bagi orang-orang yang menggotong
jenazah / berdekatan dengan jenazah, mereka mencium aroma harum yang wangi).
Sepanjang jalan yang dilewati konvoi dan iring-iringan, orang berjubel keluar
rumah dan toko, memberikan penghormatan terakhir pada ulama yang pernah
beberapa tahun mengisi pengajian di Masjidil Haram ini. Sebagian besar ada yang
mematikan lampu, tanda memberi hormat. Ada seorang pria berkulit hitam
berteriak histeris karena tekanan duka dan bela sungkawa itu.
Bahkan
pangeran Sultan bin Abdul aziz, perdana menteri dua Kerajaan Arab Saudi yang
juga merangkap menteri pertahanan dan penerbangan sipil, menyempatkan
bertakziah, mewakili raja Fahd, pada hari ke empat di Rushayfah. Pangeran
Sultan yang didampingi Gubernur Mekah, Pangeran Abdul Majid dan sejumlah
pejabat tinggi negara.
“Alah swt
telah memilihkan hari yang baik dan bulan yang baik buat Syekh Muhammad
Al-Maliki. Sebab pada bulan ini, Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk
melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya.” Kata Pangeran Sultan seperti dikutip
harian Al-Wathan.
Putra
mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, Kamis 4 November 2004, berkenan
menerima keluarga Sayyid Muhammad Al-Maliki di istana Ash-Shafa, Mekah.
Pangeran Abdullah sempat mendoa’kan Sayyid Muhammad Al-Maliki dan menyebut
beliau sebagai Ulama kebanggan Arab Saudi.
Dikutip dari
majallah Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar