Teladani
Kehidupan Kaum Salaf
Bicara
dengan tokoh muda habaib yang kritis ini, banyak hal baru yang kita dapati,
terutama pandangan-pandangan berkaitan dengan isu isu hangat yang menyangkut
kehidupan kaum muslimin di tanah air.
Suatu pagi
di hari Sabtu (2/3/2013), alKisah mendapat kesempatan untuk mewawancarai ulama
muda jebolan Rubath Al-Jufri Madinah ini di kediamannya yang terbilang asri dan
luas di bilangan Klender, Jakarta Timur. Habib Muhammad Ridho bin Ahmad bin
Yahya lahir di Jakarta, 29 Desember 1973. Ayahnya Habib Ahmad bin Muhsin bin
Adbullah bin Ibrahim bin Zein bin Yahya. Datuknya, Habib Ibrahim bin Zein,
adalah kakeknya yang pertama kali datang dari Hadhramaut ke Indonesia. Ia
berlabuh di Palembang dan menjadi guru dan penasehat agama bagi Sultan
Badaruddin I. Kemudian Habib Ibrahim bin Zein diambil menjadi menantu oleh sang
sultan Kesultanan Palembang Darussalam.
Sedangkan
ibunya Syarifah Ruqayyah adalah putri Habib Muhammad Al Attas, seorang wulaiti
(kelahiran Hadhramaut) yang menikahi perempuan pribumi asal Betawi, Kebon
Nanas, Kebayoran Lama. Kakek ummi ini kemudian sempat kembali ke Hadhramaut
untuk suatu urusan, namun wafat disana sebelum kembali ke Indonesia.
Habib Ridho
menempuh pendidikan dasarnya di sebuah pesantren hingga tingkat Tsanawiyyah.
Kemudian ia melanjutkan studinya ke Madrasah Aliyah Negeri I Mampang Prapatan.
Sambil menempuh sekolah formal, ia juga menempuh pendidikan di Madrasah Ats-Tsaqafah,
pimpinan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, di Bukit Duri. Tidak itu saja,
kemana Sayyidil Walid mengajar, ia usahakan untuk mengikuti pelajarannya, baik
di madrasah maupun majelis majelis yang dibina ulama kebanggaan kaum muslim
Jakarta ini.
Sekitar
tahun 1993, ia berangkat ke Madinah untuk belajar di Rubath Al-Jufri, yang
diasuh oleh Al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Ia belajar di Rubath
yang banyak diimpi impikan para pelajar Nusantara itu hingga tahun 2000.
Kegemarannya terhadap pelajaran ilmu fiqih seperti terpuaskan dengan diajar
Habib Zein bin Smith, yang dijuluki para ulama dengan sebutan “Syafi’iyyu
Zamanihi” (Imam Syafi’i di Masanya). Disana pula ia banyak mengenal sosok sosok
ulama besar habaib lainnya, seperti Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri dan
Habib Muhammad Al Haddar, mertua Habib Zein dan Habib Umar bin Hafidz.
Satu hal
yang sangat dipegannya sebagai prinsip dalam belajar di awal-awal kedatangannya
di rubath tersebut ialah, selama belajar di rubath ia tak akan berbicara dalam
bahasa lain kecuali bahasa Arab. Prinsip lain yang ditanamkan nya ialah target
khatam satu kitab dalam beberapa bulan, baik dengan muthala’ah dihadapan guru
maupun dengan sesama santri yang lebih senior darinya. Target nya, ia harus
menguasai kitab itu dan mampu mengajarkannya kepada yang lain.
Setelah
empat tahun di Rubath, Habib Ridho meminta izin kepada Habib Zein untuk
istifadah (mengambil faidah ilmu) kepada ulama ulama Madinah lainnya. Ulama ulama Madinah banyak dikenal mutafannin
(kealimannya dalam suatu bidang tertentu).
Di antara
mereka itu ialah Syaikh Sayyid Ahmadu Asy-Syinqithi Al-Hasani, yang Habib Zein
juga mengambil ilmu darinnya. Syaikh Ahmadu adalah salah satu tokoh ulama
senior di Madinah. Usia nya sedikit lebih tua dari Habib Zein. Sekalipun Habib
Zein juga seorang yang dikenal kepakarannya, beliau tak segan-segan untuk
mendulang ilmu dari ulama-ulama lainnya. “Demikian akhlaq yang juga dicontohkan
guru kami , Habib Zein, yang juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmadu, padahal keduanya
sama sama dikenal kealiman dan kepakarannya,’’ kata Habib Ridho. Habib Zein
dalam bertutur penuh mutiara hikmah. Namun yang lebih berkesan baginya
bagaimana tutur itu tampak dalam setiap perbuatan Habib Zein. Tindak tanduk
beliau itu adalah cara mendidik beliau.
Selain itu,
Habib Ridho juga belajar kepada Syaikh Muhammad Faal, yang belum lama ini
meninggal dunia. “Kepada beliau ini, ana mengaji kitab kitab tafsir ushul fiqh
Al-Luma’ dan Al-Muwafaqat. Semoga Allah ta’ala merahmati beliau’’. Ujarnya mengenang
sosok sang guru. Begitu pula ia mengaji kepada Syaikh Shafwan Ad-Dawudi, yang
banyak menulis dan mentahqiq kitab. Syaikh Shafwan diantaranya menulis kitab
tentang ushul fiqh, mufradat (kosa kata) Al-Quran, dan manaqib para sahabat dan
tabi’in. kepadanya, habib muda yang
tengah menanti kelahiran anak yang ketujuh ini mengaji ushul fiqih, tajwid,
ulumul Qur’an, hadits, dan lain lain.
Adapun di
rubath sendiri pendidikan nya langsung ditangani oleh Habib Zein, dengan
mengkaji kitab kitab fiqh, nahwu, balaghah, hadits dan sebagainya, dari kitab
kitab yang kecil hingga besar. Rubath Al-Jufri memang menekankan kualitas dan
disiplin ilmu pengetahuan nahwu, fiqh, dan sirah. Dalam sehari materi fiqih
lebih dominan diajarkan , bisa empat sampai lima kali pertemuan.
Habib Zein
juga menerapkan sistem pendidikan sehari belajar-sehari ikhtibar (ujian). Pada seminggu sekali juga diadakan
ujian nahwu, fiqih dan sirah. Kalau sudah masuk ujian mingguan itu, semua
santri tenggelam dalam muraja’ah (mengulang-ulang materi pelajaran). Kegiatan
seperti muhadharah (latihan pidato)
setiap malam jum’at juga diadakan bagi santri rubath. Pada malam Rabu rutin
dibacakan kitab Shahih Al-Bukhari, yang dilanjutkan dengan kegiatan bercerita
ramah.
Kira kira
beberapa tahun sebelum dirinya usai belajar disana, kegiatan muhadharah dan
ceramah diganti materinya. Dulu biasanya
ceramah agama umum, kemudian diganti
menjadi ceramah yang mengulas kitab, seperti materi materi fiqih dalam
Safinah, Zubad, dan lainnya. Ceramah ini tak memegang bahan, tetapi harus
dengan kekuatan hafalan dan luasnya pengertian atas matan kitab yang diulas.
Tujuannya sudah tentu agar santri Rubath Al-Jufri terasah pengetahuannya dengan mendalam.
Bersama
sejumlah jebolan Rubath Al-Jufri , ia juga membangun sebuah komunitas alumni
yang dinamai “Alumni Thaiba” (Keluarga Madinah). Tapi nama itu juga bisa
menjadi singkatan “Alumni Thalabah Madinah”.
Membangun
Al-Fath
Sepulangnya
dari belajar di Rubath Al-Jufri selama kurang lebih tujuh tahun, Habib Ridho
langsung terjun ke masyarakat. Ia berupaya agar dapat mengaplikasikan
pengetahuannya ditengah umat. Ia mengasuh sebuah majelis rutin mingguan, yakni
sebuah kegiatan pengajian khatam Al-Quran. Ia juga melakukan pengkaderan
beberapa orang santri , mereka kemudian mengajak jama’ah lainnya untuk
bergabung dalam majelis tersebut. “Ana mencontoh kebiasaan di rubath dulu, yang
setiap Kamis ba’da subuh ada halaqah membaca Al-Quran dengan membagikan juz juz
kepada santri-santri. Biasanya, dalam tempo beberapa pekan kemudian, halaqah
itu berkumpul lagi untuk membaca doa khatam
Al-Quran. Nah, ana aplikasikan tradisi di rubath itu disini, dengan
membagikan satu atau dua juz kepada jama’ah. Lalu pada beberapa waktu kemudian
setelah dikhatamkan kami berkumpul lagi untuk menggelar majelis doa khatam Al
Quran”, katanya.
Sambil
mengisi berbagai ta’lim tersebut, Habib Ridho melanjutkan studinya ke Institud
Agama Islam Al-Aqidah, hingga selesai dan menyandang gelar S.Pd.I. Suatu
ketika, enam atau tujuh tahun yang lalu, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri,
guru seniornya di Rubath Al-Jufri Madinah, berkunjung ke Jakarta. Kesempatannya
untuk bertemu sang guru berbuah suatu amanah untuk mengasuh majelis yang
namanya diberi langsung oleh Habib Salim Asy-Syatihiri, yakni “Majelis
Al-Fath”, yang diambil dari nama masjid Al-Imam Habib Abdullah bin Alawi
Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim.
Sistem
dakwah yang ditekankan Majelis Al-Fath adalah melakukan pembinaan dan
pengkaderan , baik di pusat maupun cabang cabang majelis, seperti di Menteng,
Pasar Rumput, Klender, Pulo Gebang,
Cipulir, Rawabelong. Di masing-masing cabang iu, kader kader yang telah senior
dalam didikan Habib Ridho ditugasi untuk menjadi pemimpin majelis sekaligus
manager yang mengatur kegiatan kegiatan dakwah, pendidikan, dan pengajaran
agama. Cita cita sebahagian majelis asuhannya ini terwujud dengan berdirinya
lembaga pendidikan seperti TPA, PAUD,
dan Madrasah Diniyyah. Bahkan target kedepan juga muncul lembaga seperti
pesantren, yang diharapkan ada disetiap kelurahan. Adapun kurikulum nya digodok
dengan meng-input materi materi yang didapati dari Rubath Al-Jufri dengan
mengkondisikannya sesuai lingkungan dan keadaan setempat.
Intinya,
bagaimana dakwah ini tidak sebatas ajang tabligh, tapi juga benar benar peran
nyatanya terasa bagi masyarakat sekitar, apalagi di tengah ancaman derasnya
budaya asing yang tak mendidik dan tak terkendali, seperti yang tampak dewasa
ini. “Ini memang bukan kerja individu atau mengandalkan sosok pribadi, tapi ini jadi tanggung jawab semua
pihak yang punya kepedulian,” demikian pandangan habib yang senang mengoleksi
kitab ini.
Program
jangka panjang majelis yang diasuhnya ialah membangun sebuah Islamic Centre lengkap dengan segala aktivitas dan
sarana prasarananya. Alhamdulillah usaha usaha ini sudah mulai dirintis di
kediamannya di Klender dengan membina
sejumlah santri putra sejak tiga tahun lalu. Habib Ridho juga tengah merintis
pembangunan pesantren yang lebih permanen diatas lahan seluas satu hektar di
daerah Citeureup, Kabupaten Bogor.
Cita cita
lainnya yang juga tak kalah luhur adalah membentuk tim pengajar agama dan
pendakwah di kalangan terpelajar di perkantoran perkantoran dan pabrik pabrik
di ibu kota dan sekitarnya. “Dakwah kita selama ini kan umumnya terfokus di
masjid, mushalla dan majelis ta’lim. Ini sesuatu yang memang sangat baik, sudah
umum, dan lumrah. Namun kita juga ingin menyasar ke kaum urban berpendidikan
itu, lantaran kita selama ini dakwah dan perngajaran kita jarang yang masuk
kekalangan itu”, ujarnya penuh semangat.
Ajak Mereka…
Habib Ridho
menengarai, merebaknya masalah ditengah umat dewasa ini cukup memprihatinkan, dan ini tak lepas dari
tipu daya musuh musuh islam. Umpamanya tentang fenomena kelompok Wahabi. Dakwah
mereka merebak ditengah kaum terpelajar, mahasiswa dan pekerja perkantoran.
Dalam dakwahnya mereka menyertakan permusuhan dan kebencian dengan hujatan atas
dakwah kita. Melihat hal ini, Habib Ridho menjelaskan perlunya sinergi dakwah
yang disesuaikan dengan dosis pengetahuan di masyarakat.
Masyarakat
itu punya standar pengetahuan yang berbeda beda. Ajak mereka melihat amar
ma’ruf nahi munkar , isi dengan pengetahuan pengetahuan agama disertai hujjah
dan jawaban atas tuduhan sesat wahabi itu dengan ilmu bukan dengan emosi. Peran
kita untuk menjawab semua tuduhan itu adalah merangkul mereka dengan dakwah ilallah dan dakwah yang
bermuatan ilmu. “Seperti kita tahu, dalil dalil yang dituduhkan mereka kepada
sikap keberagamaan kita ini sangat rentan , kaku, dan dangkal. Kita,
Ahlussunnah, tidak kurang dalil. Dalil kita ini sangat penuh dan banyak,”
katanya.
Alhamdulillah,
bersama beberapa kawan yang aktif dalam dakwah, ia kini membangun sinergi
dengan visi dan misi yang sama, seperti denga Habib Muhammad Ahmad Fad’aq, yang
aktif menulis. Habib Muhammad Fad’aq diantaranya menulis kitab menangkis
tuduhan bid’ahnya peringatan maulid, sebagaimana pernah diulas alKisah beberapa
waktu lalu.
“Wahabi dari
tahun 1900-an awal sudah ada, tapi ‘jualan-nya nggak laku. Di Madinah dan
Makkah dari dulu banyak ulama kita yang jebolan sana. sedikitpun tak ada
diantara kelompok Wahabi yang berani menghujat dakwah dan ta’lim ulama ulama
kita, karena mereka sadar siap yang mereka hadapi. Mereka tek berani mengusung
paham mereka dengan klaim ingin memurnikan ajaran agama dari hal hal yang
mereka tuduhkan saat ini sebagaimana yang kita maklumi bersama . lihat saja,
disana ada Syaikh Nawawi Banten, Habib Utsman bin Yahya, dan masih banyak lagi
hingga yang terakhir ada Syaikh Yasin Al-Fadani, dan ada K.H. Hasbiyallah,
ulama Betawi di kampung ini yang pernah mengenyam pendidikan disana. Ulama
ulama kita dimasa itu banyak yang bermukim untuk mengajar disana. Kelompok itu
tak berani untuk berdebat dan melempar tuduhan ini itu seperti yang ramai
sekarang ini. Ini jadi tandanya apa? Fenomena apa?” katanya penuh perhatian.
Fenomena
Wahabi yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini, menurutnya, memang
sengaja dan cenderung diciptakan untuk memecah belah umat Islam, dan disana ada
penyokong dananya, yang diambil keuntungan dengan perselisihan ini.
Berikutnya
juga ada kecenderungan kaum Allamadzhabiyyah (anti madzhab), yang dengan
konsepnya menyamaratakan yang keliru dan yang benar, menolak pandangan
pandangan fiqih dan madzhab, bahkan menganggap bahwa era madzhab telah usang.
“Mereka sendiri ingin membangun sebuah pemahaman baru, dengan fatwa fatwa yang
lepas dari acuan yang dibakukan salaf. Seakan akan kedudukan mereka seperti
para imam madzhab. Padahal mereka hidup dengan pemikiran yang telah
terkontaminasi. Sedangkan para imam madzhab itu adalah generasi yang paling
dekat dengan masa Nabi Muhammad saw dan yang dipuji beliau…,” katanya.
Jangan Cuma
Nilai
Salah satu
kritik yang dilontarkan Habib Ridho tentang kondisi pendidikan kita adalah
mindset lebih menekankan output nya pada angka, nilai, bukan sikap pekerti
(Suluk dan akhlaq). Orang orang dulu punya adab di hadapan orang tua, guru,
saudara yang lebih tua, karena mereka diajarkan seperti itu. Dan guru juga
mencontohkan bukan semata dengan kata kata, tapi juga sikap. Ketika belajar
tentang zuhud, umpamanya, gurunya juga orang yang mencontohkan sikap zuhud itu.
Tapi sekarang orang lebih mengejar nilai. Bukan kebiasaan atau kemahiran ,
apalagi aplikasi dalam kehidupan.
Sistem belajar
orang orang dulu jauh lebih bagus . ketika murid duduk bersama gurunya dalam
halaqah, mereka menyimak setiap perkataan guru dan terjalin hubungan ruhani
dengan gurunya hingga diluar kelas (halaqah). Maka terbangunlah tarbiyyah ruh
(pendidikan ruhani) di dalam lingkungannya. Guru benar benar menjadi teladan
dalam aktivitas murid.
Masih menurut Habib
Ridho, pola pikir yang tepat adalah pola pikir yang sebagaimana
diajarkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , sedangkan kita kini
dihadapkan pada pola pikir Barat, yang materialistis. Inilah perang ideology,
yang sering luput dari perhatian kita semua. Maka dari itu, mencari ilmu dan
wawasan boleh boleh saja dimasa kini yang serba mudah diakses, tapi carilah
ilmu dan wawasan yang menambah manfaat buat bekal di akhirat kelak.
Mengakhiri
perbincangan pagi itu, Habib Ridho berpesan , mengutip nasihat Habib Abdullah
bin Alawi Al Haddad, “Lazimkanlah Al Quran, ikutilah sunnah, dan ambillah
teladan kaum salaf, sehingga hidayah Allah Ta’ala senantiasa mengiringi…”
Sumber :
Majalah alKisah no.06/Maret2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar