Makam Syekh
Umar Sutadrana salah satu makam yang terkenal di Wonosobo. Bahkan sampai manca
negara, terutama Malaysia dan Singapura. Terletak di Dusun Kaligintung Desa
Guntur Madu Kecamatan Watumalang, makam kuna ini tak pernah sepi peziarah.
Konon, banyak berdoa di tempat itu banyak terkabulnya. Hanya saja, peziarah
sudah diwanti-wanti untuk tidak memohon hal-hal buruk, berbau kemaksiatan. Bila
pantangan ini dilanggar, akan diusir oleh penghuninya.
Dusun
Kaligintung berada di perbukitan. Pemandangan kanan kiri cukup indah. Hamparan
sawah menghijau dan gemericik air sungai mengalir menambah ketenangan desa di
ketinggian itu. Makam Syekh Umar Sutadrana terletak di pemakaman desa. Melewati
jalan kecil bercor melewati perkampungan.
Cungkup atau
rumah yang melindungi makam dibuat sedemikian rupa. Di dalamnya terdapat makam
Syekh Umar Sutadrana dan istrinya. Namun tidak berdampingan. Berada di bawah.
Selain itu di dalam makam juga terdapat tempat bersemedi. Dilengkapi kamar
mandi dan ruang dapur. Sehingga jauh dari kesan seram maupun horor.
Suasana
makam sangat sejuk. Angin berhembus leluasa dari perbukitan di kanan kompleks
makam. Tak heran bila peziarah betah berlama-lama di situ. Mereka datang dari
berbagai kota di Indonesia. Bahkan dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam
dan Australia.
Di buku tamu
yang disediakan juru kunci atau sesepuh desa Patah Tjitpto Suwiryo, tertulis
pengunjung dari Surabaya, Lumajang, Jakarta, Semarang, Solo dan kota-kota
sekitar Wonosobo. Siapa Syekh Umar Sutadrana, sehingga makamnya begitu dikenal
hingga negeri jiran?
“Beliau
datang dari Arab, keturunan ke-31 Nabi Muhammad. Datang ke Indonesia tahun 1820
bersama ayahnya Syekh Abdul Rahim. Sebagai pedagang sekaligus menyebarkan agama
Islam. Menginjakkan tanah Jawa pertama kali di Jogjakarta,”ujar Patah Tjipto
Suwiryo mengawali ceritanya.
Nama aslinya
hanya Umar, kemudian membaur dengan orang Jawa ditambahi Sutadrana. Lantas ia
bersama ayahnya menjadi prajurit Mataram. Berjuang melawan penjajah Belanda di
bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ketika Belanda berhasil memukul perlawanan
Pangerang Diponegoro, prajuritnya kocar-kacir. Syekh Umar dan ayahnya lari ke
Wonosobo. Bersembunyi di suatu tempat yang kini disebut Sudagaran. Hingga
memiliki 6 anak dari istri yang berasal dari Jogja.
“Enam
anaknya itu bernama Eyang Jami, Eyang Mangundrana, Noyodrono, Singodrono,
Surodipo, dan Abdullah. Singodrono itu Eyang saya, sedangkan Abdullah
menurunkan anak-anak yang kini berada di Singapura,”cerita pria beranak 7 itu dengan
runtut.
Meskipun
sudah lama bermukim di Sudagaran, ternyata tentara Belanda masih mencium
jejaknya. Akhirnya diputuskan, untuk pindah ke pinggiran kota agar lebih aman.
Dusun Kaligintung Desa Guntur Madu menjadi pilihan keluarga besar Syekh Umar
untuk menetap. Hingga akhir hayatnya, dia tinggal di desa tersebut. Sementara
anak keturunannya tersebar di berbagai kota sekaligus di Malaysia.
Makam Syekh
Umar dikeramatkan oleh penduduk setempat. Karena memiliki keanehan-keanehan.
Dikatakan Patah, sebelum dibangun, makam berada persis di bawah pohon wuru.
Daunnya lebat. Anehnya, daun-daun kering itu tak pernah jatuh di atas
pusaranya. Tetapi berada di pinggir-pinggir. Sehingga makam selalu bersih. Di
atas makam terdapat jalan setapak. Kata Patah, kalau ada orang ingin lewat di
jalan tersebut berpikir berulangkali. Pasalnya, seringkali terjadi keanehan.
Mendadak muncul cahaya putih yang berasal dari pusara.
Ketika akan
dibangun cungkup, Patah sangat berhati-hati. Sebab Syekh Umar sudah berpesan
tidak ingin dibuat cungkup yang menutupi keseluruhan makam. Namun diizinkan
untuk diperbaiki. “Sehingga makamnya tetap utuh seperti itu. Dua batu nisan
kuna tidak diganti, begitu juga tanahnya. Tembok di sekeliling tidak tertutup
rapat. Suasana makam cukup sejuk dan mendukung sekali untuk berdoa,”tandasnya.
Jangan
sekali-sekali datang ke makam dengan niat berdoa untuk kemaksiatan atau
keburukan. Peringatan itu disampaikan Patah Tjipto pada siapa saja yang hendak
berziarah. Permohonan atau doa hanya untuk kebaikan, tidak lebih. Dikatakan
pensiunan kepala sekolah SD Guntur Madu itu, pernah ada kejadian unik yang
dialami peziarah.
Pengunjung
dari Pati itu berziarah karena pikirannya sudah bumpet, terjerat hutang ratusan
juta. Saat berdoa khusuk, dia merasa di depannya ada sekotak uang. Reflek ia
ingin mengambilnya. Namun tak teraih, padahal berada tepat di depannya.
Kejadian semacam itu, kata Patah hanya sebagai gambaran. Untuk meraih cita-cita
perlu ada daya upaya. Tidak hanya dilakukan dengan doa, tapi diikuti oleh usaha.
Cerita lain
adalah ketika peziarah dari Madiun diusir dari makam oleh penghuninya.
Barangkali peziarah ini meminta hal-hal yang tidak diperkenankan. “Entah apa
yang diminta. Ketika sedang tahlilan mendadak dia merasa di sampingnya muncul
asap putih. Lama kelamaan menebal membentuk sosok pria bersurban putih. Lalu
mengucapkan kata-kata ‘pulang’ sembari tangannya mengusir peziarah itu. Karuan,
dia langsung meninggalkan makam,”ujarnya kepada Radar Semarang ketika
berkunjung ke rumahnya di Guntur Madu beberapa waktu lalu.
Kejadian itu
untuk memperingatkan para peziarah agar tidak memohon hal-hal yang neko-neko.
Pernah pula, seorang peziarah diwajibkan membersihkan lingkungan makam karena
ada tikus mati. Pada hari pertama datang, ada bangkai tikus. Terpaksa,
pengunjung membersihkan. Beberapa saat tertidur, ketika bangun, kembali
ditemukan bangkai tikus. Keanehan inilah yang membuat makam tersebut
dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Bagi mereka
yang benar-benar ingin terkabul cita-citanya harus melewati serangkaian godaan.
Saat berada di makam, akan muncul ular berjalan di dekatnya. Kemudian datang
harimau menguji keberaniannya.
“Terakhir
ada pocongan yang menghampiri lalu jatuh di pangkuannya. Apakah peziarah akan
mampu menghadapi berbagai cobaan itu,”katanya setengah bertanya.
Makam Syekh
Umar diresmikan pada awal tahun 1993. Ribuan masyarakat dari Palembang,
Jakarta, Bandung datang. Tidak ketinggalan keturunannya dari Malaysia dan
Singapura juga ikut menyaksikan. Makam diresmikan oleh Bupati Wonosobo yang
waktu itu masih dijabat oleh Sumadi.
Tiap tahun
peziarah dari Malaysia dan Singapura pasti datang. Semula hanya beberapa orang,
kini rombongan sampai ratusan. Mereka berasal dari organisasi keagamaan Rufaqa
dan Awariyun. Pernah pula bertandang Persatuan Islam dan Pencaksilat Singapura
(Prepensis) pada tahun 1994.
Patah
sendiri mengaku sering merasakan rindu bila 3 hari tak mengunjungi makam.
Suasana yang sejuk, membuat hati tentram. Dan sangat mendukung kekhusukan dalam
berdoa. Kehadiran para peziarah sedikit banyak berimbas positif pada
perekonomian warga setempat. Sejumlah rumah di Dusun Kaligintung mayoritas
tembok dan dibangun dengan bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar