Sekitar pertengahan tahun 1772 M /
1180 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
akan
mengakhiri masa belajarnya setelah menuntut
berbagai cabang ilmu pengetahuan
selama
kurang lebih 25 tahun di Makah
Almukarramah
dan 5 tahun terakhir di Madinah Almunawarah
(1742 – 1772) selanjutnya kembali ke
Makah
Almukarramah sebagai persiapan untuk
kembali
ke Tanah air. ( Yang pada waktu itu disebut
Tanah Jawi ).
Pada suatu hari jum ’at pertengahan
tahun
tersebut, Syeh Muhammad Arsyad
Albanjari bertemu dengan salah seorang keluarga
bernama Muhammad Nafis ( Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari )didalam
Masjidil haram
yang sejak 30 tahun yang lalu telah terpisah.
Beliau langsung saja menanyakan
tentang sejak
kapan saja Syekh Muhammad Nafis
berada di
Makah Almukarramah, beliau menjawab, sejak
kurang lebih satu jam yang, Syekh
Muhammad
Arsyad Albanjari bertanya lagi tentang
dengan
sarana Kapal apa saja dari Jawi ke Mekah Almukarramah ini, yang pada waktu itu
satu –
satunya sarana angkutan dari Jawi ke
tanah Suci
hanya dengan Kapal layar yang
memerlukan waktu pelayaran antara 3 s/d 5 bulan.
Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
hanya
menjawabnya dengan isyarat yang
pengertiannya tidak dengan angkutan Kapal
Layar. Kemudian ditanyakan lagi kapan
saja
kembali ke Jawi, itupun tidak
dijawabnya dengan
lisan, akan tetapi dijawabnya dengan isyarat
yang pengertiannya Insyallah satu jam
kemudian. Bagi Syekh Muhammad
Arsyad
Albanjari sebagai Ulama besar dan sangat
A ’rif cukup mengerti, bahwa hal-hal
demikian sebagai
suatu keajaiban yang perlu dilakukan
penelitian
lebih jauh. Pada hari jum ’at berikutnya
beliau bertemu lagi dengan Syekh Muhammad
Nafis
Ibnu Albanjari didalam Mesjid Harum,
namun
tidak sempat berkata apa-apa beliau
sudah menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Kemudian pada hari jum ’at berikutnya
lagi
( jum’at ketiga ) Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat akan keluar dari
Mesjidil
Haram melalai pintu menuju ke Syamiah
langsung bertemu dengan Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari yang sekaligus
dirangkulnya dengan erat seraya
berkata, saya
juga tahun ini akan kembali ke Tanah
Jawi setelah
kurang lebih tiga puluh tahun bermukim di
Tanah Suci, nanti di Martapura Insya
Allah kita
akan bertemu kembali serta ada hal-hal
yang
perlu kita bicarakan lebih luas, rangkulan
terhadap Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
dilepaskan dan pada saat bersalaman
sebagai
tanda perpisahan langsung saja Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
berkata,
diharap agar jangan sampai menemui
saya
setelah berada di Martapura kemudian
langsung menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Setelah musim Haji tahun 1772 M =
1186 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
setelah mendapat restudari Guru-guru beliau,
baik di
Mekah maupun di Madinah, beliau segera
akan
kembali ke Tanah Air ( Jawai ) bersama-
sama dengan teman beliau, yaitu Syekh
Abdussamad
Alpalimban, Syekh Abdul Wahab Bugis
serta
Syekh Abdurrahman Masri asal Betawi.
Beliau istirahat di Jakarta beberapa hari
bersama teman-
teman beliau dan sempat memberikan
petunjuk
membetulkan arah Qiblat Mesjid
Jembatan Lima Jakarta tanggal 7 Mei 1172 M. Mereka
berpisah di
Jakarta dan kembali ke Daerah asal
mereka
masing-masing. Setelah berada kembali
beberapa bulan di Martapura, beliau menanyakan
keadaan Syekh Nafis Ibnu Idris Albanjari
yang
pada waktu itu hanya dikenal sebagai
Muhammad Nafis. Syekh Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari adalah pengarang Kitab “
ADDRUNNAFIS “ SEBAGAI Kitab ilmu
Tashauf
yang terkenal berbobot berat dan
terlarang bagi
orang a ’wam mempelajarinya karena dikhawatirkan akan menimbulkan
kesalahan
pemahamannya yang dapat
menimbulkan
kesesatan dibidang akidah ahlussunah
waljama ’ah. Beliau adalah kelahiran serta
bertempat tinggal di wilayah Kabupaten
Banjar di
Martapura dan masih satu rumpun
keluarga
dengan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari,
dari segi usiapun kemungkinan besar
tidak jauh
perbedaannya. Sampai saat ini belum
diketemukan petunjuk-petunjuk
tentang : 1. Tanggal/bulan dan tempat kelahirannya.
2.
Perkawinan serta keturunannya. 3.
Guru – guru
serta tempat belajarnya. 4. Cabang –
cabang ilmu pengetahuan apa saja yang
dikuasainya
selain ilmu Kalam dan ilmu Tasauf. 5.
Dimana
saja beliau menyusun Naskah Kitab
ADDARUNAFIS serta Naskah aslinya kepada
siapa saja beliau menyerahkannya. Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
meninggal
dunia di Anak Desa Sampit, Desa
Bahungin ( sekarang desa Binturu ) Kecamatan
Kelua. Pada
masa hangat-hangatnya perlawanan
rakyat
dibawah pimpinan Penghulu Rasyid
terhadap Serdadu Belanda di wilayah Tabalong dan
sekitarnya, maka rakyat pendukung
perjuangan
Peghulu Rasyid mengadakan pemukiman
baru
di anak desa yang dinamakan “ SAMPIT “ artinya
kecil, ( lokasi anak Desanya tidak terlalu
luas )
mereka setiap saat siap bertempur
melawan
serangan Serdadu Belanda disamping mereka
juga membuka areal persawahan dan
perkebunan dalam anak Desa tersebut.
Peserta pemukiman baru di Anak Desa
SAMPIT
tersebut antara lain : – Orang tua keluarga Gst.
Musa. – Orang tua keluarga Gst. Bakri.
– Orang
tua keluarga Gst. Muhammad. – Orang
tua
keluarga Gst. Irawan. – Orang tua keluarga Gst.
Iwih. – Orang tua keluarga Gst. Haji
Darmawi. –
Orang tua keluarga Gst. Yusuf. – Orang
tua
keluarga Marjuni. – Orang tua keluarga Haji
Sulaiman.
Setelah selesai perang Banjar kemudian
terbukanya Jalan Desa Bahungin, maka
pemukiman anak Desa Sampit tersebut
secara berangsur-angsur pindah tempat
tinggal ke Desa
Bahungin dan sekitarnya. Keluarga yang
paling
akhir meninggalkan anak Desa Sampit
ke Desa Bahungin adalah Saudara Marjuni dan
Saudara
H. Sulaiman yang meriwayatkan secara
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang dikumpulkannya dari tahun 1945
– 1960
sebagai tahun terakhir pemukimannya
di Anak
Desa Sampit. Kedua keluarga tersebut
termasuk keluarga yang berada serta dihormati
oleh
penduduk dan bahkan mendapat
simpatik
tersendiri dari para tamu/penziarah asal
Martapura, Banjarmasin Marabahan, Muara Tewi,
Rantau, Pelaihari, Kota Baru, Kandangan
Barabai,
Amuntai dan tidak jarang dari luar
Daerah
Kalimantan Selatan yang menziarahi Makam
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari
yang dimakamkan di Komplek Kuburan
Muslim
Sampit ( Desa Bahungin / Desa Binturu istilah
baru ).
Dari para penziarah tersebut yang
sepanjang
bisa diingat-ingatkan sejak tahun
1945-1960 mengenai riwayat singkat Syekh
Muhammad
Nafis Albanjari dimaksud, kemudian
diceritakannya kembali pada kami hari
Kamis
tanggal 18 April 1991 dirumah kediamannya di
Desa Binturu kecamatan Kelua.
Riwayat singkat dimaksud dibagi
menjadi 2
( dua ) fase : – Fase pertama ialah
riwayat pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari di dalam Masjid Makkah
Almukarramah sekitar pertengahan tahun 1772 M
sebanyak 3 kali
pertemuan . – Fase kedua ialah riwayat
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari melarikan diri atau menghindarkan diri
dari
pertemuannya kembali dengan Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari yang
tadinya dia
sudah menolak atas usulan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat
pertemuannya yang
ketiga di masjidil Haram.
Isi Riwayat fase kedua : Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari tetap memandang
perlu
menemui Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari untuk mendiskusikan atau
bertukar pendapat mengenai hal-hal berkenaan
dengan
masalah keagamaan. Didapat informasi
bahwa
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari pada waktu itu berada di Desa Astambul,
Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari ditemani
oleh dua
orang pembantu , tidak diceritakan,
beliau ke Astambul itu naik perahu atau berjalan
kaki.
Sesampainya di Astambul, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis satu hari sebelumnya
sudah berangkat menuju Rantau ( Tapin ).
Perjalanan
Syekh Muhammad Arsyad diteruskan
menuju
Rantau, ternyata Syekh Muhammad
Nafis sudah berangkat menuju Tatakan dan
bermalam.
Kemudian perjalanan diteruskan dan
sesampainya di Kandangan, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis sudah berangkat menuju
Pantai Hambawang, perjalanan
dilanjutkan dan
sesampainya di Pantai Hambawang
ternyata
Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat
menuju Amuntai, sesampainya di
Amuntai
ternyata beliau sudah berangkat menuju
Kelua.
Perjalanan tetap dilanjutkan dan sesampainya di
Kelua ternyata Syekh Muhammad Nafis
baru saja
berangkat ke Desa SAMPIT. Sementara
Syekh
Muhammad Nafis berada di Kelua hanya beberapa jam, masyarakat sudah
melakukan
kontak dengan tokoh-tokoh anak Desa
SAMPIT
antara lain dengan Gst. Musa dll. Karena
rencana akhir dari Syekh Muhammad Nafis akan
istirahat
di Anak Desa SAMPIT, maka masyarakat
disana
menyambutnya dengan penuh anyusias.
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
langsung
saja istirahat dirumah Gst. Musa serta
duduk di
atas kasur, kurang lebih 15 menit.
Kemudian datanglah rombongan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari dan langsung juga
menuju dan
mau istirahat dirumah Gst. Musa, hal
ini atas
petunjuk dari tokoh-tokoh masyarakat Kelua.
Begitu Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
memasuki rumah Gst. Musa dan setelah
beradu
pandang dengan Syekh Muhammad Nafis, pada
saat itu Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari berpulang kerahmatullah
tanpa ada
kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati
antara Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari. Hal ini barangkali sesuai dengan isyarat
pada saat perpisahan pada pertemuan
yang
ketiga di Masjiddil Haram. Sampai saat
ini belum
ada petunjuk mengenai perjalanan Syekh Muhammad Idris Albanjari ke Wilayah
Hulu
Sungai sampai ke Anak Desa SAMPIT
Kecamatan
Kelua, apakah dengan berjalan kaki atau
naik perahu atau bertunggangan, demikian
juga
mengenai hari dan tanggal serta tahun
berapa
persisnya kejadian itu. Demikian
Riwayat pada fase kedua Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari sebagai Ulama Besar dan ahli di
bidang
Ilmu Tashauf dengan Kitabnya bernama
“ ADDARUNNAFIS “. BUKTI-BUKTI
SEJARAH :
Sebuah Komplek Kuburan Muslim
dengan areal
kurang lebih 6 berongan, disana banyak
Kuburan yang telah berusia tua dan bahkan
Nissannya sebagian besarnya dalam
bentuk
sebelum abad kita ini. Lokasi Kuburan
Muslim
tersebut di Anak Desa SAMPIT Desa Bahungin
Kecamatan Kelua.
Diantaranya terdapat sebuah Kubah
Kuburan
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang senantiasa diziarahi oleh
masyarakat dan
bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan
Selatan sejak
dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Kubah tersebut dibangun oleh H. YUSRAN,
salah
seorang Ulama Kubah tersebut
berukuran : –
Panjang 2 meter – Lebar 1,95 meter –
Tinggi 1,60 meter – Teras 70 cm. – Atap dari
sirap.
Terdapat satu buah pesanggrahan tempat
istirahat para penziarah yang dibangun
oleh
Camat Darwin, BA pada beberapa tahun yang
lalu. Sekarang bangunan tersebut
nampaknya
kurang terawatt dengan baik.
Pesanggrahan
tersebut dibangun dari Kayu berukuran : –
Panjang 4 meter – Lebar 3 meter –
Atap dari
seng – Dinding/Lantai dari papan.
Satu buah kitab yang dikarang oleh
beliau bernama ADDARUNNAFIS dalam bahasa
Melayusebanyak 38 halaman. Catatan : a.
Pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad nafis Ibnu
Idris Albanjari di Makkah Almukkarramah
pada
pertengahan tahun 1772 = 1186 H. b.
Penyusutan
Naskah Kitab ADDARUNNAFIS
sebagaimana tercantum dalam halaman pertama
Kitab
tersebut ialah dalam tahun 1200 H. c.
Kemungkinan meninggalnya Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari sekitar dalam tahun
1201 H.
1180 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
akan
mengakhiri masa belajarnya setelah menuntut
berbagai cabang ilmu pengetahuan
selama
kurang lebih 25 tahun di Makah
Almukarramah
dan 5 tahun terakhir di Madinah Almunawarah
(1742 – 1772) selanjutnya kembali ke
Makah
Almukarramah sebagai persiapan untuk
kembali
ke Tanah air. ( Yang pada waktu itu disebut
Tanah Jawi ).
Pada suatu hari jum ’at pertengahan
tahun
tersebut, Syeh Muhammad Arsyad
Albanjari bertemu dengan salah seorang keluarga
bernama Muhammad Nafis ( Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari )didalam
Masjidil haram
yang sejak 30 tahun yang lalu telah terpisah.
Beliau langsung saja menanyakan
tentang sejak
kapan saja Syekh Muhammad Nafis
berada di
Makah Almukarramah, beliau menjawab, sejak
kurang lebih satu jam yang, Syekh
Muhammad
Arsyad Albanjari bertanya lagi tentang
dengan
sarana Kapal apa saja dari Jawi ke Mekah Almukarramah ini, yang pada waktu itu
satu –
satunya sarana angkutan dari Jawi ke
tanah Suci
hanya dengan Kapal layar yang
memerlukan waktu pelayaran antara 3 s/d 5 bulan.
Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
hanya
menjawabnya dengan isyarat yang
pengertiannya tidak dengan angkutan Kapal
Layar. Kemudian ditanyakan lagi kapan
saja
kembali ke Jawi, itupun tidak
dijawabnya dengan
lisan, akan tetapi dijawabnya dengan isyarat
yang pengertiannya Insyallah satu jam
kemudian. Bagi Syekh Muhammad
Arsyad
Albanjari sebagai Ulama besar dan sangat
A ’rif cukup mengerti, bahwa hal-hal
demikian sebagai
suatu keajaiban yang perlu dilakukan
penelitian
lebih jauh. Pada hari jum ’at berikutnya
beliau bertemu lagi dengan Syekh Muhammad
Nafis
Ibnu Albanjari didalam Mesjid Harum,
namun
tidak sempat berkata apa-apa beliau
sudah menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Kemudian pada hari jum ’at berikutnya
lagi
( jum’at ketiga ) Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat akan keluar dari
Mesjidil
Haram melalai pintu menuju ke Syamiah
langsung bertemu dengan Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari yang sekaligus
dirangkulnya dengan erat seraya
berkata, saya
juga tahun ini akan kembali ke Tanah
Jawi setelah
kurang lebih tiga puluh tahun bermukim di
Tanah Suci, nanti di Martapura Insya
Allah kita
akan bertemu kembali serta ada hal-hal
yang
perlu kita bicarakan lebih luas, rangkulan
terhadap Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
dilepaskan dan pada saat bersalaman
sebagai
tanda perpisahan langsung saja Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
berkata,
diharap agar jangan sampai menemui
saya
setelah berada di Martapura kemudian
langsung menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Setelah musim Haji tahun 1772 M =
1186 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
setelah mendapat restudari Guru-guru beliau,
baik di
Mekah maupun di Madinah, beliau segera
akan
kembali ke Tanah Air ( Jawai ) bersama-
sama dengan teman beliau, yaitu Syekh
Abdussamad
Alpalimban, Syekh Abdul Wahab Bugis
serta
Syekh Abdurrahman Masri asal Betawi.
Beliau istirahat di Jakarta beberapa hari
bersama teman-
teman beliau dan sempat memberikan
petunjuk
membetulkan arah Qiblat Mesjid
Jembatan Lima Jakarta tanggal 7 Mei 1172 M. Mereka
berpisah di
Jakarta dan kembali ke Daerah asal
mereka
masing-masing. Setelah berada kembali
beberapa bulan di Martapura, beliau menanyakan
keadaan Syekh Nafis Ibnu Idris Albanjari
yang
pada waktu itu hanya dikenal sebagai
Muhammad Nafis. Syekh Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari adalah pengarang Kitab “
ADDRUNNAFIS “ SEBAGAI Kitab ilmu
Tashauf
yang terkenal berbobot berat dan
terlarang bagi
orang a ’wam mempelajarinya karena dikhawatirkan akan menimbulkan
kesalahan
pemahamannya yang dapat
menimbulkan
kesesatan dibidang akidah ahlussunah
waljama ’ah. Beliau adalah kelahiran serta
bertempat tinggal di wilayah Kabupaten
Banjar di
Martapura dan masih satu rumpun
keluarga
dengan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari,
dari segi usiapun kemungkinan besar
tidak jauh
perbedaannya. Sampai saat ini belum
diketemukan petunjuk-petunjuk
tentang : 1. Tanggal/bulan dan tempat kelahirannya.
2.
Perkawinan serta keturunannya. 3.
Guru – guru
serta tempat belajarnya. 4. Cabang –
cabang ilmu pengetahuan apa saja yang
dikuasainya
selain ilmu Kalam dan ilmu Tasauf. 5.
Dimana
saja beliau menyusun Naskah Kitab
ADDARUNAFIS serta Naskah aslinya kepada
siapa saja beliau menyerahkannya. Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
meninggal
dunia di Anak Desa Sampit, Desa
Bahungin ( sekarang desa Binturu ) Kecamatan
Kelua. Pada
masa hangat-hangatnya perlawanan
rakyat
dibawah pimpinan Penghulu Rasyid
terhadap Serdadu Belanda di wilayah Tabalong dan
sekitarnya, maka rakyat pendukung
perjuangan
Peghulu Rasyid mengadakan pemukiman
baru
di anak desa yang dinamakan “ SAMPIT “ artinya
kecil, ( lokasi anak Desanya tidak terlalu
luas )
mereka setiap saat siap bertempur
melawan
serangan Serdadu Belanda disamping mereka
juga membuka areal persawahan dan
perkebunan dalam anak Desa tersebut.
Peserta pemukiman baru di Anak Desa
SAMPIT
tersebut antara lain : – Orang tua keluarga Gst.
Musa. – Orang tua keluarga Gst. Bakri.
– Orang
tua keluarga Gst. Muhammad. – Orang
tua
keluarga Gst. Irawan. – Orang tua keluarga Gst.
Iwih. – Orang tua keluarga Gst. Haji
Darmawi. –
Orang tua keluarga Gst. Yusuf. – Orang
tua
keluarga Marjuni. – Orang tua keluarga Haji
Sulaiman.
Setelah selesai perang Banjar kemudian
terbukanya Jalan Desa Bahungin, maka
pemukiman anak Desa Sampit tersebut
secara berangsur-angsur pindah tempat
tinggal ke Desa
Bahungin dan sekitarnya. Keluarga yang
paling
akhir meninggalkan anak Desa Sampit
ke Desa Bahungin adalah Saudara Marjuni dan
Saudara
H. Sulaiman yang meriwayatkan secara
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang dikumpulkannya dari tahun 1945
– 1960
sebagai tahun terakhir pemukimannya
di Anak
Desa Sampit. Kedua keluarga tersebut
termasuk keluarga yang berada serta dihormati
oleh
penduduk dan bahkan mendapat
simpatik
tersendiri dari para tamu/penziarah asal
Martapura, Banjarmasin Marabahan, Muara Tewi,
Rantau, Pelaihari, Kota Baru, Kandangan
Barabai,
Amuntai dan tidak jarang dari luar
Daerah
Kalimantan Selatan yang menziarahi Makam
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari
yang dimakamkan di Komplek Kuburan
Muslim
Sampit ( Desa Bahungin / Desa Binturu istilah
baru ).
Dari para penziarah tersebut yang
sepanjang
bisa diingat-ingatkan sejak tahun
1945-1960 mengenai riwayat singkat Syekh
Muhammad
Nafis Albanjari dimaksud, kemudian
diceritakannya kembali pada kami hari
Kamis
tanggal 18 April 1991 dirumah kediamannya di
Desa Binturu kecamatan Kelua.
Riwayat singkat dimaksud dibagi
menjadi 2
( dua ) fase : – Fase pertama ialah
riwayat pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari di dalam Masjid Makkah
Almukarramah sekitar pertengahan tahun 1772 M
sebanyak 3 kali
pertemuan . – Fase kedua ialah riwayat
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari melarikan diri atau menghindarkan diri
dari
pertemuannya kembali dengan Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari yang
tadinya dia
sudah menolak atas usulan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat
pertemuannya yang
ketiga di masjidil Haram.
Isi Riwayat fase kedua : Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari tetap memandang
perlu
menemui Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari untuk mendiskusikan atau
bertukar pendapat mengenai hal-hal berkenaan
dengan
masalah keagamaan. Didapat informasi
bahwa
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari pada waktu itu berada di Desa Astambul,
Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari ditemani
oleh dua
orang pembantu , tidak diceritakan,
beliau ke Astambul itu naik perahu atau berjalan
kaki.
Sesampainya di Astambul, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis satu hari sebelumnya
sudah berangkat menuju Rantau ( Tapin ).
Perjalanan
Syekh Muhammad Arsyad diteruskan
menuju
Rantau, ternyata Syekh Muhammad
Nafis sudah berangkat menuju Tatakan dan
bermalam.
Kemudian perjalanan diteruskan dan
sesampainya di Kandangan, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis sudah berangkat menuju
Pantai Hambawang, perjalanan
dilanjutkan dan
sesampainya di Pantai Hambawang
ternyata
Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat
menuju Amuntai, sesampainya di
Amuntai
ternyata beliau sudah berangkat menuju
Kelua.
Perjalanan tetap dilanjutkan dan sesampainya di
Kelua ternyata Syekh Muhammad Nafis
baru saja
berangkat ke Desa SAMPIT. Sementara
Syekh
Muhammad Nafis berada di Kelua hanya beberapa jam, masyarakat sudah
melakukan
kontak dengan tokoh-tokoh anak Desa
SAMPIT
antara lain dengan Gst. Musa dll. Karena
rencana akhir dari Syekh Muhammad Nafis akan
istirahat
di Anak Desa SAMPIT, maka masyarakat
disana
menyambutnya dengan penuh anyusias.
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
langsung
saja istirahat dirumah Gst. Musa serta
duduk di
atas kasur, kurang lebih 15 menit.
Kemudian datanglah rombongan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari dan langsung juga
menuju dan
mau istirahat dirumah Gst. Musa, hal
ini atas
petunjuk dari tokoh-tokoh masyarakat Kelua.
Begitu Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
memasuki rumah Gst. Musa dan setelah
beradu
pandang dengan Syekh Muhammad Nafis, pada
saat itu Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari berpulang kerahmatullah
tanpa ada
kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati
antara Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari. Hal ini barangkali sesuai dengan isyarat
pada saat perpisahan pada pertemuan
yang
ketiga di Masjiddil Haram. Sampai saat
ini belum
ada petunjuk mengenai perjalanan Syekh Muhammad Idris Albanjari ke Wilayah
Hulu
Sungai sampai ke Anak Desa SAMPIT
Kecamatan
Kelua, apakah dengan berjalan kaki atau
naik perahu atau bertunggangan, demikian
juga
mengenai hari dan tanggal serta tahun
berapa
persisnya kejadian itu. Demikian
Riwayat pada fase kedua Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari sebagai Ulama Besar dan ahli di
bidang
Ilmu Tashauf dengan Kitabnya bernama
“ ADDARUNNAFIS “. BUKTI-BUKTI
SEJARAH :
Sebuah Komplek Kuburan Muslim
dengan areal
kurang lebih 6 berongan, disana banyak
Kuburan yang telah berusia tua dan bahkan
Nissannya sebagian besarnya dalam
bentuk
sebelum abad kita ini. Lokasi Kuburan
Muslim
tersebut di Anak Desa SAMPIT Desa Bahungin
Kecamatan Kelua.
Diantaranya terdapat sebuah Kubah
Kuburan
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang senantiasa diziarahi oleh
masyarakat dan
bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan
Selatan sejak
dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Kubah tersebut dibangun oleh H. YUSRAN,
salah
seorang Ulama Kubah tersebut
berukuran : –
Panjang 2 meter – Lebar 1,95 meter –
Tinggi 1,60 meter – Teras 70 cm. – Atap dari
sirap.
Terdapat satu buah pesanggrahan tempat
istirahat para penziarah yang dibangun
oleh
Camat Darwin, BA pada beberapa tahun yang
lalu. Sekarang bangunan tersebut
nampaknya
kurang terawatt dengan baik.
Pesanggrahan
tersebut dibangun dari Kayu berukuran : –
Panjang 4 meter – Lebar 3 meter –
Atap dari
seng – Dinding/Lantai dari papan.
Satu buah kitab yang dikarang oleh
beliau bernama ADDARUNNAFIS dalam bahasa
Melayusebanyak 38 halaman. Catatan : a.
Pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad nafis Ibnu
Idris Albanjari di Makkah Almukkarramah
pada
pertengahan tahun 1772 = 1186 H. b.
Penyusutan
Naskah Kitab ADDARUNNAFIS
sebagaimana tercantum dalam halaman pertama
Kitab
tersebut ialah dalam tahun 1200 H. c.
Kemungkinan meninggalnya Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari sekitar dalam tahun
1201 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar