Menurut ceritanya Sang
syekh adalah salah seorang yang menyebarkan agama Islam di derah Banten Selatan.
Dengan peninggalannya berupa Batu Qur’an yang sekarang banyak
berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mandi di sekitar patilasan,
karena disana ada kolam pemandian yang ditengah kolam tersebut terdapat batu
yang bertuliskan Al-Qur’an.
Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji,
beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke 6).
Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten,
dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin
dan beliau diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun
menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk
mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan
kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat
berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh
Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah
menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan
kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke
Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke
Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup
untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam
perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa
pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah
China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan
Ratu Jin dan mempunyai putra satu.
Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli
China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat
menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak
menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus
menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat
tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada
seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana
Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di
Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang
termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana
Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang
menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa
kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya
termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan
kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh
seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang (Tubagus Bu`ang),
beliau adalah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke 2) dari
Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat
pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi
pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah
dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran
itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke
daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada
Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul
Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin di
pulau Menjeli China, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu
beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi
ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah
melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua
perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai
beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh.
Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke
Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau
menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu
besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan
telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di
sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat
Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di
sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa.
Sehingga akhirnya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan
Banten, selain menjadi seorang Sultan beliau pun mensyiarkan islam di daerah
Banten dan sekitarnya.
Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah
Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten (Nyi Mas Ratu Sarinten) dalam
pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang
memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah
Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal
terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya
sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi
tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang
semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya
seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di
Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana
Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah
lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari
Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama
islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan
Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru
sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut
menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon
waru itu tidak ada yang lurus.
Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau
mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri
ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh
Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya
harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa
harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT
tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau
adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka
atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki
harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bai`at oleh beliau,
lalu beliau pun berbicara “Saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak
buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan
saya”. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat
Yasin di lehernya dan diberi nama Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki
Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari
semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah :
1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa
2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana
3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang
4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya
5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri
6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang.
2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana
3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang
4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya
5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri
6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang.
Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di
banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah
pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada
tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam
beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Keterangan :
§ Sultan
Agung Abdul Fatah Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan
Kecamatan Tirtayasa Kawadanaan Pontang Serang Banten.
§ Cibulakan
terdapat di muara sungai Kupahandap Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang
Banten
§ Makam
Cicaringin terletak di daerah Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten
§ Ujung
Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur Kawadanaan Cibaliung kebupaten
Pandeglang Banten
§ Gunung
Anten terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung
§ Pakuan
Lumajang terletak di Lampung
§ Gunung
Pangajaran terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat
latihan silat macan.
§ Majau
terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes Pandeglang Banten
§ Mantiung
terletak di desa sumur batu kecamatan Cikeusik Kewadanaan Cibaliung Pandeglang.
§ Ki
Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung kecamatan Cimanuk
Pandegang Banten.
http://humaspdg.wordpress.com/2010/03/21/syekh-maulana-mansyuruddin-cikadueun-pandeglang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar