Karawang berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah nama
suatu kesatuan wilayah danjuga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi
kali Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah,
Karwang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan
Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang
melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan
peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya
di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian juga adanya nama
Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu
pelabuhan Tarumanegara.
Pertama kali Citarum beberapa abad yang lalu merupakan
satu-satunya pilihan untuk jalur lalu lintas bagi kelancaran kegiatan
perdagangan, pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran sebagai penerus
kerajaan
Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII untuk
kepentingan yang sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu
pelabuhan penting kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten,
Tanggerang, Sunda Kelapa dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai
diperdagangan barang dagangan ke pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan
kering dan hasil pertanian yang banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.
Selain sebagai
pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan jalan darat dari Pakuan ibu
kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang dilewati adalah Cibarusah,
Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang,
Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, berakhir di Kawal
Menurut Amir
Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan darat
tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu.
Sebab dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Banten,
Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran
terkontrol secara baik.
Pentingnya
peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa pemerintahan Pajajaran dari
abad VIII sampai abad XVI M, yakni
hampir 800 tahun, akan tetapi sampai juga masapemerintahan Sulatan Agung
Mataram yang telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa
dan Aria Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda
dan Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang
datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut.
Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao, berlabuh
di kampung Nagasari Jebug.Perahun para pedagang ini tidak mau menelusuri Kali
Citarum yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu
hampir 5 Km, juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan
jika berhenti di pelabuhan Kampung Teluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua
tempat berlabuh itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung
sepanjang kira-kira 400 meter.
Dengan adanya
2 pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat bongkar, terjadinya jual
beli sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan minuman, tempat menginap
bagi yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan pemerintah Pajajaran ada
kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban, pengawasan lalu lintas barang dan
orang bepergian dan sebagainya.
Ke Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan
itulah rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu singgah yang menurut Buku
Rintisan Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura
Dalem. Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana ada kegiatan petugas
pemerintah di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak lain ialah pelabuhan
Karawang. Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat menjunjung peraturan kota
pelabuhan yang dikunjungi, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya dan
memberi izin untuk mendirikan musholla yang digunakan tempat untuk mengaji atau
peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi yang dipilih untuk
keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan pelabuhan.
Setelah beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh
Quro menyampaikan Da'wahnya di Musholla yang dibangunnya penuh keramahan.
Uraiannya tentang Agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan,
Karena Ia bersama santrinya langsung membericontoh. Pengajian Al Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena
Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap
hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatukan masuk Islam.
Berita tentang
dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar Prabu Angga
Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati
Cirebon, seperti sudah disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera
mengirim utusan yang dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah
Rasa untuk menutup Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba
ditempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca
ayat-ayatSuci Al Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang.
Putar Mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran
bergelar Prabu Siliwangi, itu mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren
Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang
Karancang yang cantik itu. Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan
syarat maskawinnya harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari
"tasbeh" yang berada di Negeri Mekah. Sumber lain menyatakan bahwa,
hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus masuk Islam, dan patuh dalam
melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi santri juga mengajukan syarat,
agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus ada yang menjadi Raja. Semua
hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu
ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro atau Mesjid
Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai penghulunya.
Perkawinan di
musholla yang senantiasa mengAnggungkan asma Allah SWT itu memangtelah membawa
hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung oleh Nyi Subang Karancang
yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya.
Nyi Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang harus berada di Istana
Pakuan Pajajaran, dengan tetap
memancarkan Cahaya Islam.
Putera pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang
setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara
Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan
dariUlama besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon.
Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka RadenWalangsungsang
menjadi Pangeran Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang,
Cirebon. Sedangkan Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sulatan
Mesir yang bernama Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu
adalah laki-laki bernama Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi
Munaligh untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Garut.
Adapun Raden
Nyi Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah, namanya diganti menjadi
Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai dua orang putera
masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya
meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada Syarif Nurullah, sebab Syarif
Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas dari para Ulama Mekah dan
Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di Cirebion. Demikianlah tahun 1475
ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan kedatangnya disambut dengan penuh
kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat.
Setelah usia Pangeran Cakraningrat cukup tua, Syarif
Hidayatullah dipercaya untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Susuhunan
atau Sunan. Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan
terutama dari Raden Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja
Majapahit Brawijaya V, yang diangkat menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I.
Dalam rangka pembangunan Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk
menetapkan kebijaksanaan tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang
para Sunan yang dikenal Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif
Hidayatullah diangkat menjadi ketua atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar
Sunan Gunung Jati.
Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa
kelak dari keturunan Raja Pajajaran ada yang menjadi Waliyullah, dan permohonan
Nyi Subang Karancang perkawinannyadengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja,
telah menjadi kenyataan. Sejarah juga mencatat, bahwa dengan berkembangnya
kerajaan Islam yang mendapat dukungan dari Wali Songo, maka pengaruh kerajaan
Majapahit dan Pajajaran semakin memudar. Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan
Pajajaran lumpuh sama sekali akibat dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah
Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan Gunung Jati, yang tidak lain masih
keturunanNyi Subang Karancang dari perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang
diselenggarakan di Mesjid Agung Karawang.
Adapun
kegiatan pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuahan
Karawang,rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari
pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syeh Quro,
sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di Masjid lebih
dititik beratkan pada ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian para santri
yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan Agama Islam,
terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan. Demikian juga
kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan
sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara penyebarannya Agama Islam oleh
Syeh Quro antara lain :
Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo,
maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para
Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2
limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon. (Edy Rusman)
Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih
dahulu sebuah Masjid, seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Rosulullah SAW, sewaktu melakukan Hijrah
dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih dahulu membangun Masjid
Quba.
Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui
pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al
Qur'an surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan tuhanmu
dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yangbaik, dan bertukar
fikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik
Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader
penyebaran Agama Islam (Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan masyarakat,
termasuk Nyi Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan situasi kondisi
masyarakat dan sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa
tempat pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo Kalapa
Kecamatan Lemah Abang.
Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama
generasi penerusnya adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga
sinarnya memancarkan terus di Karawang dan sekitarnya.
Diposkan oleh Edy Rusman
http://mutiara-fiqh.blogspot.com/2012/02/syech-quro-karawang.html#more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar