Selalu Shalat Jum'at di Makkah
Beliau mempunyai banyak kelebihan. Selalu shalat Jum'at di
Makkah, dan menjadi murid Nabi Khidhir
Syeikh Abdussamad sering membagi daging binatang rusa dan
kijang kepada penduduk dusun Muning, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya.
Daging itu diperoleh dengan cara menyumpit binatang tersebut yang lewat di
bawah pohon tempat Beliau duduk ber-juntai setiap hari. Namun kebiasaan tersebut
tidak dilakukan pada hari Jum'at, karena dia pergi ke Makkah untuk melakukan
shalat Jum'at.
Pekerjaan menghadang dan mengintip binatang itu disebut
menyanggul yang berasal dari kata sanggul. Inilah asal mula Syaikh Abdussamad
diberi gelar Datu Sanggul, atau Datuk Sanggul.
Datu Sanggul, seperti dikutip dari Riwayat Datu Sanggul,
saduran M. Zaini A.D., pada suatu hari diminta Nabi Khidhir As untuk mengantar
Datu Daha ke Makkah. Datu Daha ingin shalat di sana. Datu Daha adalah anak
angkat Nabi Khidhir setelah dia mengalami peristiwa yang luar biasa. Datu
Sanggul menyanggupi permintaan itu, dengan syarat Datu Daha harus memegang
dirinya erat-erat dengan mata tertutup sampai ada perintah membukanya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian Datu Daha diizinkan
membuka mata dan ternyata sudah tiba di Makkah. Mereka lalu ke masjid dan
menjalankan shalat Jum'at.
Datu Daha kemudian minta kesediaan Datu Sanggul untuk
mengantarkan lagi ke Makkah tapi kali itu untuk naik haji. Menanggapi
permintaan itu Datu Sanggul minta agar Daha menunggu hari Jum'at. Setelah itu Beliau
lenyap dari depan mata Datu Daha.
Diceburkan ke Laut
Datu Daha adalah orang yang pernah bertemu Nabi Khidhir
ketlka dia dalam kondisi yang sangat letih setelah diceburkan oleh kapten kapal
karena kapal layar yang mereka tumpangi menuju Tanah Suci tiba-tiba berhenti di
tengah laut tanpa sebab yang jelas. Untuk mencari kejelasan itu, dengan bantuan
paranormal, Datu Daha diceburkan ke dalam laut. "Si Fulan ini harus
tinggal di tengah laut," kata si paranormal kepada kapten kapal setelah
menghitung-hitung bayangan ghaib.
Begitu tubuh Datu Daha tercebur ke laut, kapal itu pun
bergerak melaju seperti semula dan meninggalkan Datu Daha di tengah laut.
Setelah 30 jam terombang-ambing di laut, akhirnya Datu Daha terdampar di
pantai. Ketika hampir pingsan, Beliau berdoa kepada Allah SWT mohon
keselamatan.
Kemudian Beliau berjalan menelusuri pantai hingga kelelahan
dan jatuh pingsan.
Ketika siuman, dia melihat banyak makam sejauh mata
memandang dalam keadaan rapi. Namun Beliau tidak melihat bangunan rumah.
"Pasti kuburan ini ada yang mengurus," pikirnya. "Namun,
siapa?"
Karena kelelahan, Beliau terduduk sambil menoleh kiri-kanan,
hingga tampak olehnya sebuah gubuk. Dengan tertatih-tatih dia datangi gubuk itu
dan di-dapatinya seorang lelaki tua sendirian di dalamnya.
"Assalamu'alaikum," ujarnya.
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.
Singkat kata, orang tua itu adalah Nabi Khidhir, yang
mengaku sebagai pengurus pemakaman tersebut, yaitu makam orang-orang yang mati
tenggelam di laut, seperti yang dialami Datu Daha. Jawaban itu diberikan
setelah Datu Daha menceritakan pengalamannya sendiri.
Mengetahui bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir, Datu Daha
menyatakan keinginannya untuk pergi haji.
"Kalau Ananda ingin menunaikan ibadah haji, besok aku
ikutkan kepada Syaikh Abdussamad. Tiap hari Jum'at dia singgah kemari sebelum
ke Makkah," jawab Nabi Khidhir.
Begitulah, Datu Daha akhirnya bertemu Datu Sanggul dan
dibawa keMakkah.
Berbulan-bulan kemudian, Datu Daha bertemu para penumpang
kapal layar yang ditumpangi dulu. Mereka heran mengetahui Daha telah tiba di
Makkah lebih dulu daripada mereka. "Bukankah Anda dulu dilempar ke laut,
kok bisa duluan sampai di Makkah? kata salah seorang di antara mereka,
keheranan.
"Itu semua kehendak Allah," jawab Datu Daha. Namun
dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Nabi Khidhir. Dalam keheranan itu,
mereka akhirnya berkesimpulan bahwa kemungkinan Datu Daha adalah wali, bukan
orang sembarangan.
Ketika ibadah haji selesai, Datu Daha pun diantar pulang
oleh Datu Sanggul dengan cara yang sama. Namun dia di-turunkan di ujung kampung
Daha, Borneo, tempat asal Datu Daha. "Dari sini Anda jalan ke rumah,
supaya orang kampung melihat Anda sudah kembali dari Tanah Suci," pesan
Datu Sanggul.
Begitulah, dalam sekejap mata, Datu Daha telah melihat
kembali kampung-nya dan Datu Sanggul lenyap dari depannya.
Hari itu orang-orang kampung Daha terheran-heran melihat
Datu Daha telah kembali. Mereka bertanya-tanya, tapi tidak dijawab oleh Daha.
"Aku pulang atas kekuasaan, kodrat, dan iradat Allah. Aku tak kuasa
menjelaskannya," kata Datu Daha.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, orang-orang kampung
menunggu kembalinya para jamaah lainnya sesama penumpang kapal layar. Namun
ternyata mereka juga menyatakan keheranannya.
Mereka menceritakan bahwa Datu Daha dibuang ke laut karena
ada sesuatu yang aneh ketika kapal tiba-tiba terhenti di tengah laut. Namun
ketika sampai di Jeddah, mereka heran meli¬hat Daha juga sudah ada di sana
de¬ngan selamat. "Kami terkejut, apa ini benar Datu Daha, atau kami salah
lihat," tutur mereka.
Begitu juga ketika ibadah haji selesai. Pada hari Jum'at
sorenya dia sudah tidak ada lagi di Makkah, padahal menurut pengakuannya dia
tiba pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at.
Cerita itu membuat warga kampung percaya bahwa Datu Daha
memang naik haji dan dia adalah wali yang patut dihormati.
Dalam Balutan Asap Putih
Datu Sanggul, atau Syaikh Abdus-samad, atau Syaikh Ahmad
Sirajul Huda,Beliau berguru kepada Datu Suban, seorang ulama besar yang
ditemuinya dalam mimpi, yang tinggal di Kalimantan Selatan.
Setelah mendapat restu dari ibunya, dia berlayar ke
Kalimantan melalui selat Bangka Belitong dan kota Banjarmasin hingga tiba di
Kampung Muning, Pantai Munggu tayuh Tiwadak Gumpa Rantau Tapin, Kalimantan
Selatan, pada tahun 1750 M.
Singkat cerita, Datu Sanggul menjadi murid kesayangan Datu
Suban dan diberi sebuah kitab pusaka yang berbentuk segi delapan. Rupanya
ketika' kitab itu diserahkan, itulah akhir hayat Datu Suban, karena tak lama
kemudian dia wafat dalam balutan asap putih yang mengepul ke udara ketika
tengah berjalan meninggalkan tempat upacara penyerahan kitab tersebut.
Setelah mengamalkan ilmu hakikat dan ilmu laduni dari
gurunya itu, Datu Sanggul diberi kelebihan oleh Allah, seperti menceburkan diri
ke air sungai dan berwudhu tapi badannya tidak basah kecuali yang wajib wudhu.
Tiap hari Jum'at bersembahyang Jum'at di Mas-jidil Haram, Makkah.
Dia juga berteman dengan Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (
Datu Kelampayan ) sejak tahun 1760, yang bertemu setiap shalat Jum'at di Makkah.
Syaikh Muhammad Arsyad ingin mempelajari kitab pusaka Datu
Suban yang bersegi delapan. Namun Datu Sanggul meminjamkan hanya sebelah
sehingga kitab itu berbetuk rencong dan disebut kitab Barencong, dengan
catatan: bila ingin melanjutkan kajian dalam kitab itu, Maula Al-Banjari harus
turun ke tanah Jawi dan menemuinya di Kampung Muning sambil membawa kain putih
seukuran lima helai kain sarung.
Ternyata ketika tiba saatnya untuk mempelajari kitab itu,
Syaikh Muhammad Arsyad Banjari tidak berhasil menemui Datu Sanggul di Kampung
Muning, karena ia sudah wafat.
Teringat pada pesan agar memba¬wa kain putih berukuran lima
kain sarung Syaikh Muhammad Arsyad pun menduga bahwa ketika itu agaknya Datu
Sanggul sudah mendapat firasat dari Allah akan meninggal bila belahan kitab
Barencong itu diserahkan.
Sumber: Al Kisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar