dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15
Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang
ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul
Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani
menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf
agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada
Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian
berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra.
Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang
menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku
ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam
dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir
karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh
Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu.
Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran.
Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar
terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya.
Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian
filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang
mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu
pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di
pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata,
”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka,
tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah
satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus
bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin
Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin
Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan
Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin
Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas,
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh
Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran.
Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa
agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini
merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi
bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan
ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan
bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah
kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul
Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir
menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara,
seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang
disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam
lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919
M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah.
Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo
tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah,
sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok
Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang.
Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330
H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat,
nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang
terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya
adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu,
ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung
kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling
menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abbas Al-Maliky saat
berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam
dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti
Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam
Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan
jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes
Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang),
Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy
Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr.
Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19
November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata
kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini
kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatuna Fatimah, datang….”
Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang
permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia
dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar