BERHATI LEMBUT, BERJIWA KSATRIA
Ketika pada tahun ke-tujuh sebelum Hijriyah beliau lahir
dari ibu yang bernama Ummu Aiman yang mana si ibu dulunya pernah menjadi
pembantu dan pengasuh Rasulullah di masa kecil. Ketika mendengar kabar tersebut
betapa bahagianya Rasulullah dengan tampak dalam wajah beliau yang
berseri-seri. Hal itu disebabkan oleh dua hal, yang pertama bahwa Ummu Aiman
dulunya adalah pengasuh Rasulullah ketika meninggalnya Sayyidah Aminah. Bahkan
Rasulullah pernah berkata tentang Ummu Aiman, "Dia adalah ibuku setelah
ibuku (Aminah) dan dia termasuk dari keluargaku".
Maka dari itulah Rasullah sangat mencintainya, yang kedua
bahwa ayah beliau, Zaid, adalah teman akrab Rasulullah sekaligus tempat tukar
pendapat dalam suatu masalah. Begitu pula para sahabat pada waktu itu juga
senang dan gembira ketika mendengar kelahiran Usamah bin Zaid seakan-akan
tidaklah mereka bergembira seperti pada waktu itu, karena semua yang
menyenangkan Rasulullah juga membuat senang kepada para sahabat.
Pada waktu itu Usamah sejajar dengan Hasan bin Ali dari segi
umurnya, akan tetapi mereka berdua berbeda dalam bentuk fisiknya, Hasan bin Ali
berperawakan putih, tampan seperti kakeknya Rasulullah dan Usamah berkulit
hitam menyerupai ibunya yang berasal dari Habasyah. Akan tetapi Rasulullah
tidak memandang hal itu semua dan tidak membedakan di antara keduanya dalam
membagi kesayangan. Pernah pada suatu hari Rasulullah meletakkan Usamah di
pahanya dan Hasan bin Ali di salah satu pahanya yang lain, kemudian Rasulullah
memeluk keduanya di dada beliau yang suci seraya berkata, "Ya Allah,
sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya". Termasuk
bukti lain cinta Rasulullah kepadanya, pernah suatu ketika Usamah jatuh dan
kepalanya luka terkena daun pintu hingga mengalirlah darah di kepalanya banyak
sekali. Kemudian Nabi menyuruh Aisyah untuk menghilangkan darahnya akan tetapi
beliau enggan disebabkan Aisyah tidak tega terhadapnya, dan Rasulullah bangun
melakukan sendirian dengan mengusap darah yang mengalir di kepala usamah dengan
penuh rasa kasih sayang.
Tatkala Usamah menginjak masa dewasa tampak dalam dirinya
kemulyaan perangainya dan besar wibawanya di mata para sahabat, dilain itu
beliau termasuk orang yang sangat cerdas, wara' juga pemberani yang mana
keberanian beliau tidak dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lain.
Pada waktu perang Uhud Usamah bersama-sama beberapa pemuda
menghadap Rasulullah untuk diperbolehkan mengikuti jihad, dan Rasulullah
memilih diantara mereka yang sudah memenuhi kriteria dalam jihad fisabilillah
dan menolak yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, dan Usamah termasuk
orang yang ditolak Rasulullah karena dia masih sangat kecil sekali untuk
mengikuti peperangan, maka kembalilah Usamah dengan deraian air mata yang
membasahi di kedua pipinya.
Pada perang Khandaq sekali lagi Usamah bersama beberapa
pemuda dari sahabat meminta supaya diizinkan untuk mengikuti perang tersebut
dan akhirnya Rasulullah menyetujuinya sedangkan pada saat itu Usamah masih
berumur lima belas tahun.
Di saat di mana orang muslim hampir mengalami kekalahan di
medan Hunain, Usamah tetap tegar di medan perang bersama beberapa para sahabat
di antaranya Abbas dan Abi Sofyan untuk menemani Rasulullah dalam melawan kaum
kafir yang mana akhirnya kaum muslimin dapat mengalahkan orang-orang kafir
dengan pertolongan Allah SWT.
Begitu pula dalam perang Mu'tah Usamah ikut serta di
dalamnya, di bawah pimpinan ayahnya sendiri Zaid bin Haritsah, Usamah dengan
beraninya menghadapi orang-orang Romawi yang terkenal akan kehebatan dalam
peperangan, meski beliau masih berumur di bawah delapan belas tahun, di waktu
itu juga ayah yang beliau sayangi meninggal sebagai syahid. Akan tetapi
semangat Usamah tidak luntur sama sekali sekalipun ayahnya meninggal di hadapan
kedua matanya. Usamah berperang dengan gagah berani di bawah pimpinan Khalid
bin Walid yang akhirnya Allah memberikan kemenangan yang gemilang atas orang
Romawi.
Di tahun sebelas Hijriyah Rasulullah memerintah para sahabat
untuk menyiapkan bala tentara untuk memerangi orang-orang Romawi, dan termasuk
serta Usamah, sedangkan umur beliau belum genap dua puluh tahun, tatkala bala
tentara akan berangkat menuju medan perang, Rasulullah mengalami sakit keras
dan berhentilah para rombongan untuk menunggu akan keadaan Rasulullah.
Berkatalah Usamah saat kejadian pada saat itu, "Tatkala sakit Rasulullah
bertambah parah, aku bersama beberapa sahabat menghadap Rasulullah. Kemudian
aku masuk kepada beliau. Aku mendapati beliau diam tidak berbicara sama sekali.
Hal itu disebabkan sangat parahnya penyakit Rasulullah. Tiba-tiba Rasulullah
mengangkat tangannya ke langit kemudian meletakkannya di dadaku, aku mengetahui
bahwa beliau mendoakanku. "
Tatkala Rasulullah wafat telah disepakati bahwa tongkat
estafet kepimpinan untuk menggantikan Rasulullah pada saat itu yaitu Abu bakar,
dan beliau meneruskan jejak Rasulullah untuk mengirim bala tentara ke Romawi di
bawah pimpinan Usamah, akan tetapi sebagian dari kaum Ansar meminta kepada Umar
bin Khattab untuk mengusulkan kepada Abu bakar bahwa dalam memimpin pasukan
dibutuhkan orang yang lebih tua dari Usamah, akan tetapi tatkala Abu bakar
mendengar usulan Umar tersebut beliau marah dengan memegang jenggot Umar seraya
berkata, "Rasulullah memerintahnya (Usamah) dan engkau memerintahkan aku
untuk meninggalkannya. Demi Allah tidak akan kulakukan hal itu". Ketika
mendengar perkataan Abu Bakar itu melunaklah hati Umar begitu pula para sahabat
lainnya.
Berlalulah para rombongan perang di bawah pimpinan Usamah
bin Zaid dengan didampingi Khalifatur rasulillah Abu-bakar. Pada saat itu
Usamah duduk di kendaraan dan Abu-bakar yang nota benanya sebagai khalifah
berjalan dibawahnya. Melihat pemandangan yang janggal tersebut Usamah pun
berkata, ”Wahai khalifatur rasulillah, demi Allah, naiklah atau aku akan
turun". Maka Abu bakar pun manjawab, ”Demi Allah, jangan kamu turun, dan
demi Allah aku tidak naik kendaraan. Sama sekali aku tidak mengotori kedua
kakiku dalam sabilillah sekalipun sesaat saja". Kemudian dibalas oleh
Usamah dengan jawaban yang penuh makna, "Aku menitipkan kepada Allah
agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah." Berlalulah rombongan
Usamah bin Zaid dan mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah
dan mereka pun berhasil menguasai beberapa daerah di Palestina juga
menghancurkan kewibawaan Negara Romawi yang pada waktu itu ditakuti oleh
lawan-lawan perang. Kemudian Usamah kembali dengan posisi duduk di tempat di
mana ayahnya dulu meninggal sebagai syuhada dan barang-barang rampasan perang
pun berhasil dia bawa pulang.
Melihat keberanian Usamah tersebut, sahabat Umar memberikan
kepadanya sebuah pemberian yang banyak sekali bahkan bagian yang beliau berikan
kepada anaknya tidak sebanding dengan apa yang diberikan kepada Usamah.
Sampai-sampai Abdulullah bin Umar mengadu kepada ayahnya, "Wahai ayahku,
engkau berikan kepada Usamah empat ribu dinar, dan yang engkau berikan kepadaku
tiga ribu dinar, tidaklah aku ini anakmu yang selayaknya engkau berikan lebih
banyak daripada dia?" Maka Umar menjawab, "Sesungguhnya Ayahnya
(Zaid) sangat dicintai Rasulullah daripada ayahmu ini dan dia (Usamah) sangat
dicintai Rasulullah daripada kamu". Mendengar jawaban tersebut ridholah
hati Abdullah bin Umar terhadap pemberian yang diberikan oleh ayahnya. Bahkan
setiap bertemu dengan Usamah, Umar bin Khattab menyambutnya dengan ucapan,
"Selamat datang pemimpinku".
Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang berani dalam
membela agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya, dari
sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah meniru
sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.
DIPOSKAN OLEH MY JE_BLOGGER
http://kisahwali.blogspot.com/2008/02/sayyidina-usamah-bin-zed.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar