MENEMUKAN
GURU SEJATI
Ia
benar-benar mendapati "ilmu yang luar biasa"
Dari teladan
yang di berikan sang guru.
P
ribadinya
santai lagi homuris namun, ia juga seorang yang serius , apalagi saat bicara
perihal dakwah dan tarbiyah. Pesan-pesan keagamaan,terutama tazki- yatunnafs (penyucian jiwa), atau biasa di
sebut tasawwuf, banyak ia sampaikan saat menemui AlKisah di sela-sela
kesibukannya berdakwah dan mendidik santrinya, Bertempat di kediamannya, di
Desa Duwet, Situbondo, Jawa Timur, ia tampak fasih bicara seputar thariqah,
baik teori maupun aplikasinya, Maklum, ia kini aktif sebagai seorang pembina
majelis thariqah.
Tidak
seperti berdakwah dengan metode tabligh, berdakwah lewat thariqah
menuntut adanya ikatan erat antara guru dan setiap muridnya yang harus selalu
di kelola secara tepat di setiap saat. Padahal jamaah nya terdiri dari beragam
orang dengan latar belakang dan status sosial. Tentu saja, ini membutuhkan
ketekunan, ketulusan, keseriusan dan kesabaran ekstra.
Beruntung, thariqah yang ia sebarkan adalah Thariqah Alawiyah
yang jua sering di sebut thariqah sahlah atau thariqah yang mudah, sehingga
cukup lentur dengan berbagai situasi dan kondisi. Kekayaan khazanah thariqah
ini juga sangat membantunya dalam membina jamaahnya, yang awam sekalipun.
Alawiyah
Naqsyabandiyah
Muhsiniyah
Pada
kenyataannya, Thariqah alawiyah, yang bermuara kepada Sayyidina Ali KW,
memiliki sanad dengan semua thariqat
Ahlussunah Waljamaah, termasuk naqsyabandiyah , yang bermuara pada
Sayyidina Abu bakar RA. Sumber kedua sahabat utama itu tentu saja Rasulullah
SAW. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi , dalam Iqdul Yawaqit, banyak menyebut kaitan dua thariqah. Bahkan Habib
Abdurahman bin Mustafa Alaydrus menulis sebu- ah risalah khusus tentang
Naqsyabandiyah.
Atas dasar itulah ia memadukan keduanya.
Harapannya masyarakat luas bisa mengakrapi dunia thariqah, segaligus beroleh
sanad keilmuan dari kalangan hababaib. Namun, tetap,ia amat ketat dalam,
menanam- kan prinsip-prinsip pokok Thariqah Alawiyah yang termuat pada lima
asasnya : Ilmu, amal,wara,khauf, dan ikhlas.
Tuntutan syari'at tentu tak lepas dalam
aktivitas thareqatnya. Dalam hal ini ia tak sendirian. Sejumlah alumnus Darul
Musthafa Tarim dan beberapa Kiayi serta guru setempat turut bersamanya dalam
bimbingan syariat pada ikhwan thariqat.kerja sama itu dengan sendirinya juga
memunculkan suasana dakwah yang baik dan terorganisir.
saat ini majelis thariqah yang ia
bina melebarkan sayapnya ke berbagai pelosok. Ada sekitar sepuluh pengurus tingkat wilayah, mulai dari Kabupaten
Situbondo sebagai pusatnya, Surabaya, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah
yang meliputi kota Palangkaraya, Sampit , Pangkalambun , dan beberapa kota di
Kalimantan Barat, Sedang kepeng- urusan di tingkat Cabang telah mencapai
Ratusan.
Kepiawaiannya
dalam mengemas thareqat menjadi sesuatu yang menarik dan diminati ini bukan
suatuyang aneh. Dalam dirinya mengalir darah dari sang Ayah, Tokoh Mursyid besar dalam dunia Thareqah di nusantara, Habib Muhsin Bin Ali
Al-Hinduan.
Berbagai
faktor tersebut membuatnya menamakan majelis thareqah yang ia bina dengan nama
"Majelis Thareqah Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah". Maksudnya yang
ia sebarkan adalah Alawiyah, yang ia padukan dengan metode dan nilai-nilai yang
selaras dalam Naqsyabandiyah , Berdasarkan formula ajaran thariqah yang di
warisi Habib Muhsin, Ayahnya.
Haul
Al-Faqih Al-Muqaddam
Disamping lewat thariqah , ia juga
mendirikan pesantren yang oleh Gurunya , Habib Umar Bin Hafidz , di beri nama
"Adh-Dhiya'ul Musthafawy".Pesantren ini merupakan Pesantren pertama yang di dirikan murid Habib Umar,
yaitu saat Habib Umar melepaskan kelulusan santri angkatan pertama Darul
Musthafa pada tahun 1998 .
Pesantrennya
ini menggunakan kurikulum dan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan Darul
Musthafa Tarim, mulai dari materi pelajaran hingga aktivitas sehari-hari,
seperti pada qiyamul lail, khuruj dakwah, hafalan-hafalannya. Ketika baru-baru
ini Darul Musthafa Tarim mengubah kurikulum dan sistem pengajaranya, pesantren
ini pun berusaha mengikuti induknya tersebut, meski tidak seratus persen.
Berkat kerja
sama pengurus pesantren dan para ikhwan thariqah binaannya,pesantren ini
memiliki program beasiswa kepada para santri berprestasi untuk melanjutkan
studi ke Hadhramaut. Ada sekitar tujuh santrinya yang kini sedang belajar di
Tarim, baik di Darul Musthafa ataupun di Rubath Tarim
Beberapa
alumnus hasil didikannya telah menyelesaikan studinya di sejumlah perguruan di
Timur Tengah,diantaranya Alwi Al-Habsyi,
yang telah mendirikan pesantren di Alalak, Banjarmasin, Ibrahim Assegaf dan
,Musthofa Assegaf yang telah berkiprah dengan majelis ta'limnya di kota Kintap,
Kalimantan Selatan, dan Syarif Hamid Al-Qadri, dai muda dan penulis produktif,
kini berdomisili di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.
Selain
aktivitas sehari-hari dipesantren, setiap tahun ini juga mengadakan sejumlah
kegiatan rutin, terutama dengan memanfaatkan momen-momen keagamaan yang ada.
Yang paling menonjol dari kegiatan dakwah tahunan yang ia lakukan adalah
penyelenggaraan haul Faqih Al-Muqaddam, setiap bulan Muharram, yang telah ia
gelar sejak 2001. Pelaksanaannya bisa memakan waktu hampir satu bulan dan
dilaksanakan di sejumlah lokasi pada
beberapa kota. Waktunya ia sesuaikan, agar tak berbenturan dengan kedatangan
Habib Umar Bin Hafidz, yang setiap Muharram datang ke Indonesia.
Saat ditanya
lebih jauh tentang profil pribadi dan perjalanan hidupnya,Habib Haidarah kerap
meng- hindar.Ia tetap lebih suka mem- bicarakan tema-tema dakwah dan tarbiyah.
Berbekal sedikit informasi darinya yang kemudian banyak dilengkapi oleh
sejumlah orang dekatnya, gambaran sosok Habib Haidarah dapat alKisah hidangkan
untuk Anda di sini. Bersambung...
Berjumpa
dengan Habib Ali Al-Jufri
Habib
Haidarah lahir di- Pontianak, dari pasangan Habib Muhsin Bin Ali Al-Hinduan dan
Syarifah Khadijah Al-Mahdali. Ayahnya Wafat saat ia baru berusia 10 tahun .
sejak itu, ia dan adik-adiknya diasuh oleh ibunda- nya,di Situbondo Jawa Timur.
Pendidikan SD dan SLTP-nya
diselesaikan di kota Situ- bondo, lalu ia masuk Pesantren Malang, Asuhan Ustadz Abdullah Abdun Malang, disana, ia
termasuk santri yang menonjol kecerdasannya, sehingga Ustadz Abdullah Abdun pun
sangat menyayanginya.
Usai lulus pesantren, ia melanjutkan
studinya Ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sana ia menjumpai beragam corak
pemikiran dan aliran. Latar belakang keluaraganya, yang akrab dengan dunia
thariqah, cenderung banyak berhubungan dengan para tokoh thariqah sufi yang ada
di mesir, seperti thariqah Burhaniyah, Dasuqiyah, dan sydziliyah.
Ia tidak lama tinggal di Negeri Piramid itu.
Tak sampai setahun, ia memutuskan belajar di syiria.
Selama
belajar di Syria, ia juga menghadiri majelis yang diasuh Dr. M. Sa’id Ramadhan
Al-Buthi
Ternyata di
Syria pun ia tidak lama, hanya sempat tinggal sekitar tiga bulan. Ia memutuskan
kembali lagi ke Mesir.
Sebelum
berangkat ke Mesir, ia beristikharah, mengharap petunjuk dari Allah SWT :
negeri mana yang tepat untuk menjadi tujuan belajarnya setelah itu.
Di tengah
perasaannya yang sedang kalut, hatinya berbisik, “Hadharamaut.” Padahal, saat
itu belum ada pelajar asal Indonesia di Hadharamaut seperti sekarang ini.
Akibat perang sudara di Yaman, situasi negeri itu pun masih belum kondusif.
Namun keinginannya pergi ke Hadharamaut terus menguat. Maka, sebelum kembali ke
Mesir, ia telah mengusahakan visa untuk masuk ke Yaman.
Sesampainya
di Mesir kembali, ia mendengar, seorng dari Hadhramaut tengah datang ber-
dakwah ke Mesir.
Ditemani
beberapa temannya, ia menemui orang itu. Ternyata orang yang ditemuinya itu adalah
Habib Ali Al-Jufri.
Karena
banyak bertanya tentang banyak hal, Habib Ali mengajaknya masuk ke dalam kamar
untuk bicar empat mata. Saat ia mengutarakan keininannya belajar di Hadhramaut,
Habib Ali tampak sangat senang, hingga ia tawari tiket pesawat ka Yaman untuk
berangkat bersama. Ia menolak,karena ia sendiri sebelumnya telah membeli tiket
ke Yaman.
Tak lama
kemudian, ia pun berangkat ke Hadhramaut, negeri yang saat itu benar-benar
asing baginya. Keterangan yang ia dapat dari Habib Ali menjadi petunjuk
satu-satunya yang ia miliki ten- tang Hadramaut.
Mengenal
sosok Habib Umar
Sesampainya
di Aden, Yaman, Habib Ali menjemputnya, lalu mereka melanjutkan perjalanan
bersama menuju Tarim. Saat itu, tengah berlangsung ziarah Nabi yullah Hud As.
Maka, saat masuk Tarim, ia langsung dibawa menuju Bukit Hud.
Sebelum
sampai di Bukit Hud, ia, yang Sebelum sampai di Bukit Hud, ia, yang waktu itu
masih bercelana panjang, panjang, sempat diajak Habib Ali berziarah sempat
diajak Habib Ali berziarah ke ‘Inat.
Usai ziarah
bersama di makam Nabi Hud As, Habib Ali membawanya mendekati Habib umar.
Kepada Habib
Ali, Habib Umar bertanya, “Dari mana kau bawa anak ini, ya Ali ?”
Habib Ali
menjawab,”Dari Mesir.”
Lalu Habib
Umar bertanya kepadanya, “Kau mau belajar kepada kami ?”
“Iya,”
jawabnya.
“Ahlan wa
sahlan bi washiyati rasulillah - Selamat datang, wasiat rasulullah,” habib Umar
menyambut.
Sejak itulah
ia belajar kepada Habib Umar. Saat itu pelajar Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, di Tarim, cuma ia dan dua temannya, Habib Ali Zainal abidin
Al-Hamid, saat ini kandidat doktor di Malaysia, dan seorang sayyid dari
keluarga Al-Habsyi.
Sebuah
pengalaman menarik ia dapati di awal kedatangannya di kota Tarim. Dalam
perjalanan dari Mesir, ia berjumpa Sayyid Ibrahim Ar-Rifa’i, seorang mursyid
Thariqah Rifa’iyah di Mesir, yang juga hendak berziarah ke Tarim. Sepanjang
perjalanan, Sayyid Ibrahim tak henti-hentinya bershalawat.
Usai ziarah
Nabi Hud, malam nya dirumah Habib Umar
ia tidur di samping Sayyid Ibrahim. Tengah malam Sayyid Ibrahim mendadak
terjaga dan mulutnya terus bershalawat .
kejadian itu terjadi berulang kali pada malam itu.
Esoknya ,
usai sholat subuh berjamaah Sayyid Ibrahim selalu mendahulukan orang lain untuk
bersalaman dengan Habib Umar , kecuali Habib Haidarah yang menolak di
dahulukan. Mungkin maksud sayyid Ibrahim , dengan bersalaman paling akhir , ia
dapat langsung berbincang dengan Habib Umar seusai semuanya bersalaman.
Tinggal
Sayyid Ibrahim dan dirinya yang belum bersalaman dengan Habib Umar. Sayyid
Ibrahim lalu bersalaman dengan Habib Umar dan bertanya, dimana kedudukanmu di
hati Rasulullah?”
Dengan
Tersenyum, Habib Umar balik bertanya “apa yang engkau lihat semalam ?”.
“Aku
bermimpi Rasulullah memelukmu dan begitu bangga denganmu.” Jawabnya.
Mendengar jawaban
itu. Habib Umar tidak menghiraukan dan segera memerintahkan Sayyid Ibrahim
melanjutkan bersalaman dengan jamaah yang lain.
Kejadian
tersebut amat membekas di hati Habib Haidarah, yang mendengar langsung dialog
singkat itu . Ia semakin mengenal sosok gurunya . Ia pun merasa betah tinggal
disana dan benar-benar memanfaatkan
waktunya untuk belajar kepada Habib Umar dengan sepenuh hati.
Restu Sang
Guru
Suatu ketika, ia hendak mengunjungi
kerabatnya dari keluaraga Al-Hinduan di kota Aden . Ia pun minta izin Habib
Umar untuk pergi satu bulan.
Habib Umar mengizinkan dan berpesan agar selama di sana ia belajar
kepada Habib Abu Bakar Al-Masyhur, sehingga waktu sebulan disana bermanfaat.
Benar saja. Di Aden, ia rasakan
manfaat amat besar selama berguru kepada Habib Abu Bakar , Selain Alim dan
istiqomah , pandangan-pandangannya amat
cemerlang dan tak sedikit di antaranya
yang belum pernah terlontar oleh para Ulama sebelumnya.
Saat kembali ke Tarim, dengan
tersenyum Habib Umar menyambutnya sambil membaca potongan ayat ke-65 dari surah
Yusuf , “ Hadzihi bidha’atuna ruddat ilaina
ini dia barang milik kami dikembalikan kepada kami.”
Kata-kata itu amat berkesan di hati
nya. Bila ia di ingatkan kepada kejadian itu , sontak matanya berkaca-kaca .
Begitu besar perhatian dan kasih sayang Habib Umar kepada murid-muridnya.
Setalah sembilan bulan di Tarim,
tibalah sekelompok pelajar Indonesia yang tercatat sebagai angkatan pertama
Darul Musthofa , seperti Habib Jindan dan Habib Munzir. Kedatangan mereka
semakin membuatnya betah tinggal disana.
Di Tarim, ia tinggal sekitar dua
tahun. kecendrungan hatinya pada dunia thareqat kaum sufi membuatnya berniat
mencari guru Thariqah Naqsyabandiyah yang waktu itu ia dengar ada di India,
sebelum kepulangannya ke tanah air.
Keinginannya
itu ia utarakan kepada Habib Umar. Namun Habib Umar tak mengizinkannya dan
menyuruhnya tinggal lagi di Tarim selama tiga bulan untuk mempelajari Thariqah
Alawiyah.
Setelah tiga
bulan mendalami Thariqah Alawiyah dari Habib Umar, di hatinya tumbuh rasa kagum
yang luar biasa pada manhaj thariqah keluarganya ini. Sejak saat itu, berbekal
restu dari sang guru , ia pun bertekad untuk kelak menyebarkan nya di tanah
air.
Besarnya
perhatian dan kasih sayang sang guru kembali ia rasakan saat hendak berpamitan
pulang ke kampung halaman. Habib Umar memberikan kitab kepadanya dan berpesan
agar kitab itu tidak dibuka kecuali bila sudah di dalam pesawat. Rasa penasaran
menggalayutdi hatinya. Mungkin ada ilmu yang luar biasa yang terkandung dalam
kitab tersebut.
Di dalam
pesawat , kitab itu segera ia buka . Tiba-tiba, ait matanya pun menetes . Di
dalamnya ada uang sebanyak 300 dolar. Ia merasakan perhatian sang guru ,yang
masih dalam masa-masa awal membangun Darul Musthofa , sampai sedemikian jauh .
Ya, ia benar-benar mendapati “ilmu yang luar biasa”dari teladan sang guru.
Hingga kini
, ia terus menjaga jalinan hubungannya dengan Habib Umar , setiap masalah yang
ia hadapi pun selalu di utarakan kepada gurunya itu. Sampai sekitar dua bulan
silam. Saat berziarah ke Tarim, ia masukan putra sulungnya , Muhamad Amin
Quthbi, usia 13 atau 14 tahun., di Darul
Musthofa . Amin Quthbi tidak di tempatkan di asrama ,tapi di kediaman sang
guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar